Polemik Laiskodat dan Tokoh Adat di Sumba Timur Contoh Peliknya Konflik Agraria di NTT

“Dalam catatan Walhi NTT, jumlah konflik agraria terus meningkat setiap tahun. Peningkatan itu terutama konflik yang bersifat vertikal, antara pemerintah dan rakyat, maupun perusahan dan rakyat,” kata Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, Direktur Eksekutif Walhi NTT

Floresa.co – Perdebatan antara Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat dengan tokoh adat di Pulau Sumba yang ramai dibicarakan beberapa hari terakhir, hanya merupakan salah satu contoh dari peliknya persoalan agraria di NTT, demikian menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Video yang memperlihatkan Laiskodat yang adu mulut, disertai ancaman terhadap Umbu Maramba Hau, tokoh adat di Sumba Timur telah viral di media sosial dan ramai dibicarakan publik.

Dalam video kejadian pada 27 November itu, Laiskodat mengancam memenjarakan warga yang ia anggap menentang proyek pengembangan sapi oleh pemerintah provinsi. Bahkan, ia sempat mengeluarkan kata “monyet” kepada rakyatnya.

Perdebatan itu terkait masalah tanah 500 hektar yang diklaim milik pemerintah provinsi sejak 2001, namun Umbu Maramba Hau mempertanyakan alas hak pihak provinsi, termasuk siapa dan kapan tanah itu diserahkan. Ia juga mengatakan, mereka siap mati untuk mempertahankan tanah itu.

Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, Direktur Eksekutif Walhi NTT mengatakan, polemik lahan semacam itu bukan kasus tunggal, tetapi potret dari konflik agraria di NTT yang terus-menerus terjadi, tanpa adanya solusi yang memadai.

“Dalam catatan Walhi NTT, jumlah konflik agraria terus meningkat setiap tahun. Peningkatan itu terutama konflik yang bersifat vertikal, antara pemerintah dan rakyat, maupun perusahan dan rakyat,” kata Umbu, Jumat, 3 Desember 2021.

“Peningkatan ini berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah investasi yang masuk ke NTT dan eskalasi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah,” tambah Umbu.

Ia mengungkap beberapa kasus yang cukup menyita perhatian publik selama tiga tahun terakhir, seperti  kasus agraria di Kabupaten Manggarai Timur bersamaan dengan hadirnya perusahan tambang batu gamping dan pabrik semen. Dalam kasus ini, warga di Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda mempersoalkan langkah perusahan tambang yang akan mengeksploitasi lahan di sekitar kampung mereka.

Kedua, kata dia, adalah kasus konflik agraria dan hutan adat di Besipae, Timor Tengah Selatan bersamaan dengan rencana pemerintah provinsi untuk mengembangkan perkebunan kelor dan peternakan skala besar.

Ketiga, jelas Umbu, adalah kasus agraria dan tempat peribadatan Marapu di Sumba Timu bersamaan dengan investasi PT. MSM untuk pabrik gula dan perkebunan tebu.

“Konflik ini telah mengakibatkan 3 orang masyarakat adat di Umalulu dijebloskan ke penjara selama 6 bulan di tahun 2020,” katanya.

Ia menjelaskan,  beberapa konflik ini adalah fenomena gunung es yang menjelaskan betapa buruknya penanganan masalah agraria di NTT  baik oleh eksekutif, legislatif, yudikatif hingga distorsinya kelembagaan adat dalam konteks agraria.

“Dalam catatan Walhi NTT, kejadian konflik yang terus berulang antara gubernur dan rakyat akibat buruknya sistem tata kelola pemerintahan di Provinsi NTT,” tegasnya.

Walhi secara juga secara khusus menyoroti lemahnya peran DPRD dalam pengawasan dan penyerapan aspirasi konstituen, tindak tanduk birokrasi eksekutif dan yudikatif dalam konteks masalah agraria.

Dari kajian lembaga advokasi itu, berbagai kasus agraria yang terus berulang dari tahun ke tahun di NTT ini tidak pernah disikapi secara serius oleh DPRD di ruang ruang persidangan dan selama masa reses.

“Dari tahun 2018 hingga kini DPRD tidak pernah memanggil gubernur untuk memberikan penjelasan atau klarifikasi tentang berbagai kasus agraria yang melibatkan gubernur di dalamnya atau menyampaikan ke publik hasil persidangan DPRD dalam konteks agraria di NTT,” tegas Umbu.

“Karena itu wajar, kalau kasus kasus agraria di NTT yang menyita perhatian publik menguap begitu saja tanpa penyelesaian yang berarti. DPRD NTT mengabaikan perannya sebagai penyuara aspirasi rakyat dan mitra yang setara dengan gubernur dalam penyelesaian konflik konflik agraria di NTT,” katanya.

Walhi pun berharap DPRD proaktif untuk ikut menyelesaikan masalah-masalah rakyat yang berkaitan dengan ruang penghidupan mereka sebagaimana mandat konstitusi dan peraturan perundangan lainnya.

“Walhi NTT memprediksi ke depan konflik agraria akan meluas bila tidak diselesaikan secara komprehensif dan makro dalam skala NTT,” katanya.

Selain itu, dengan karakter Gubernur Laiskodat yang temperamental, Umbu berpesan, sebaiknya ia jangan dilibatkan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan teknis agraria di tingkat tapak.

“Walhi NTT menyarankan gubernur untuk mengkonsolidasikan dinas-dinas terkait dan teknis untuk menyelesaikan persoalan-persoalan teknis dan substansi di tingkat tapak,” katanya.

FLORESA

spot_img

Artikel Terkini