Kasus DBD Meningkat Drastis, Walhi NTT Desak Pemerintah Perhatikan Tata Kelola Lingkungan

Floresa.co – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia cabang Nusa Tenggara Timur (Walhi NTT) menyatakan tata kelola lingkungan yang buruk menjadi pemicu terjadinya peningkatan drastis kasus demam berdarah (DBD) di sejumlah kabupaten di NTT.

Dalam pernyataan tertulis yang diperoleh Floresa.co, Selasa, 22 Februari 2022, Walhi menyatakan, selama ini pemerintah mengabaikan masalah ini, yang sebetulnya menjadi salah satu faktor kunci melawan penyebaran penyakit seperti DBD.

“Tindakan pencegahan DBD masih jauh dari harapan, diperparah dengan model penanganan yang tidak komprehensif. (Hal ini) mengakibatkan kejadian ini terus berulang dan cenderung meningkat keparahannya,” kata Deddy F. Holo, ketua divisi perubahan iklim dan kebencanaan lembaga tersebut.

DBD merupakan infeksi virus yang ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi oleh kuman penyakit. Jenis nyamuk yang dapat menularkan penyakit ini adalah Aedes aegypti dan Aedes albopictus.

Data yang dirilis Dinas Kesehatan Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi NTT menyebutkan, hingga Senin, 21 Februari, DBD telah menyebar di 14 kabupaten di NTT sejak awal tahun ini.

Sebagaimana dilansir Antara, Erlina R Salmun, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2P) di dinas itu menyatakan, jumlah kasus sudah mencapai 1.364 dan korban meninggal dunia 12 orang. Angka ini sudah hampir dua kali lipat dari periode yang sama tahun lalu, di mana kasus tercatat 661 dan empat kematian.

Erlina menjelaskan, kasus DBD paling banyak terjadi di Kabupaten Manggarai Barat dengan 238 kasus, disusul Kota Kupang 229 kasus dan Kabupaten Sikka 172 kasus DBD.

Fakta terjadinya peningkatan drastis kasus ini, kata Deddy “menjadi indikator bahwa pemerintah NTT di kabupaten/kota tidak serius melakukan pencegahan secara dini.”

Ia menjelaskan, sejak tahun 2019, lembaganya telah memberikan peringatan kepada pemerintah untuk fokus memperbaiki tata kelola lingkungan, di antaranya terkait sistem pengelolaan sampah dan dan sanitasi lingkungan.

Namun, jelasnya, pemerintah masih seperti “keledai yang jatuh di lubang yang sama”.

“Seharusnya pemerintah belajar dari pengalaman, mengevaluasi dan bertindak cepat dengan menetapkan keselamatan rakyat sebagai prinsip tertinggi,” kata Deddy.

Ia menjelaskan, upaya pengendalian DBD mesti dilakukan secara terintegrasi, baik di bidang pengelolaan sampah, sistem sanitasi, daya dukung lingkungan dan implementasi kebijakan anggaran yang baik.

Pemerintah, katanya, perlu meninggalkan pola pencegahan yang hanya terbatas pada urusan menyemprot obat pembasmi nyamuk atau fogging.

Deddy menyatakan pihaknya akan melakukan gugatan hukum kepada pemerintah NTT “bila pengabaian terhadap keselamatan rakyat dan rasa aman dari ancaman DBD berulang pada tahun tahun mendatang.”

Lembaganya pun merekomendasikan pemerintah kabupaten/kota mengedepankan keselamatan rakyat dengan memulihkan daya dukung dan tata kelola lingkungan hidup yang baik dan sehat sesuai UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Selain itu pengelolaan sampah harus berbasis Undang-undang No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pemerintah harus membentuk tim khusus pencegahan ancaman DBD dan penanganan DBD hingga tingkat desa,” kata Deddy, sambil menambahkan bahwa penyediaan obat-obat dan posko di setiap kabupaten/kota harus dilakukan segera.

FLORESA

spot_img

Artikel Terkini