Pro dan Kontra Proyek Geothermal Poco Leok, Sesama Warga Ajak untuk Pikirkan Keselamatan Bersama

Sebagian besar dari warga yang pro dan menyerahkan lahannya untuk proyek geothermal adalah mereka yang tinggal jauh dari titik yang telah ditetapkan sebagai lokasi pengeboran (wellpad).

Floresa.co – Di tengah perbedaan sikap antara yang pro dan kontra dengan proyek geothermal di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, sesama warga mengingatkan untuk tidak egois dan memikirkan keselamatan bersama.

Proyek yang dikerjakan Perusahaan Listrik Negara [PLN] itu adalah perluasan dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi [PLTP] Ulumbu dalam rangka memenuhi target menaikkan kapasitas dari 7,5 MW saat ini menjadi 40 MW.

Wilayah Poco Leok mencakup 13 kampung di tiga desa di Kecamatan Satar Mese, yakni Desa Lungar, Desa Mocok, dan Desa Golo Muntas. Lokasi pengeboran (wellpad) yang ditargetkan berjumlah 60 titik dan menyebar di kampung-kampung itu.

Sikap warga di kampung-kampung itu terbelah antara yang pro dan kontra.

Informasi yang dihimpun Floresa.co, sebagian besar dari warga yang pro dan menyerahkan lahannya adalah mereka yang tinggal jauh dari titik yang telah ditetapkan sebagai wellpad.

Di wilayah tanah ulayat Lingko Tanggong, lokasi wellpad D misalnya, warga yang dengan mudah memberikan tanahnya adalah mereka yang tinggal di Wae Koe di pesisir pantai Laut Sawu – kampung pemekaran dari Gendang Lungar – , yang jaraknya 7-10 kilometer dengan Lingko Tanggong.

Hal itu menimbulkan keresahan bagi warga yang tinggal dekat dengan wellpad D itu.

Ponsianus Nogol, 49, tua adat Kampung Tere yang hanya berjarak satu kilometer dari Lingko Tanggong mengatakan, seharusnya sebelum mengambil keputusan warga yang pro perlu memikirkan sesama.

“Kalau di Lingko Tanggong diizinkan [untuk pemboran], maka yang rusak adalah kami. Seharusnya jangan egois, pikir juga dengan keadaan kami,” katanya.

“Ketika penambangan panas bumi itu berdampak buruk, maka [dampak buruk] itu tidak pergi ke Wae Koe, pergi mencari pemilik lahan, tetapi akan menghajar wilayah terdekat. Jadi, jangan mengambil keputusan yang merusak orang lain,” tambahnya.

Selain Kampung Tere, ada dua kampung lain yang dekat dengan Lingko Tanggong yakni Kampung Racang dan Mbau Puni, yang berjarak sekitar dua kilometer

Simon Wajong, salah satu pemilik tanah di Lingko Tanggong dan selama ini tinggal di Ruteng mengatakan, Lingko Tanggong adalah tanah ulayat dan tidak bisa dijual secara personal.

Ia mengatakan, seharusnya ada perundingan bersama pemilik lingko terlebih dahulu sebelum menyerahkannya kepada pihak lain.

Simon mendatangi lokasi itu pada 26 Oktober 2022 bertepatan dengan aktivitas PT PLN yang mengidentifikasi wellpad D.

Erasmus Cahyadi, Deputi Politik Hukum Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan berasal dari Kampung Tere mengatakan, tanah ulayat Manggarai adalah milik nenek moyang.

“Jadi, kita hari ini hanya mengerjakan sementara dan akan diwariskan pada anak cucu kita, lalu ketika kita mati itu baru kita memiliki tanah tersebut. Inilah yang disebut dengan goet Manggarai ‘Tanah mbate dise ame, tanah ledong dise empo,” ujarnya.

“Kata ‘mbate’ itu bermakna kepemilikan, asal usul, dan semacamnya. Jadi agak heran kalau kita yang hidup memberikan dan menjual tanah ke orang lain, apalagi ke pihak industrik ekstraktif dengan mudah,” tuturnya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.