Jelang Hari HAM, Sejumlah Organisasi Unjuk Rasa Tuntut Keadilan di Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Maumere

Mereka mengangkat sejumlah kasus seperti pembunuhan berencana di Wolomarang, perdagangan 17 anak di sejumlah tempat hiburan malam di Maumere, dan korupsi dana Bantuan Tidak Terduga di BPBD Sikka.

Floresa.co – Sejumlah organisasi yang bergabung dalam Kelompok Pejuang Hak Asasi Manusia di Maumere, Kabupaten Sikka, menggelar unjuk rasa di Kantor Kejaksaan dan Pengadilan Negeri setempat menuntut keadilan bagi para korban dalam sejumlah kasus yang mereka sebut sebagai pelanggaran HAM.

Aksi kelompok ini yang terdiri dari Tim Relawan Kemanusiaan – Flores [TRUK-F], JPIC Ledalero, Pusat Penelitian Candraditya Maumere, dan FORKOMA Sikka digelar pada Jumat, 9 Desember 2022, sehari menjelang Hari HAM Internasional.

Pater Otto Gusti Madung SVD dari JPIC Ledalero mengatakan dalam unjuk rasa tersebut mereka menuntut agar jaksa dan hakim melihat secara utuh dan memberikan hukuman yang setimpal terhadap para pelaku kejahatan manusia dalam sejumlah kasus seperti pembunuhan berencana di Wolomarang, kasus perdagangan 17 anak di sejumlah tempat hiburan malam di Maumere, dan kasus korupsi dana Bantuan Tidak Terduga (BTT) di BPBD Sikka.

Pembunuhan berencana, katanya, dilakukan oleh Julius Welung, seorang mantan kepala desa, terhadap Heribertus Erihans Daru pada 10 Mei 2022 di tempat kediaman korban. Kasus tersebut disaksikan oleh istri korban.

“Kejadian pembunuhan ini terjadi dalam hubungan dengan Herlina Nona Wanti, istri yang kesekian yang melarikan diri dan mencari tempat perlindungan di tempat lain akibat kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh pelaku,” kata Pater Otto.

Kelompok Peduli HAM Sikka menuntut agar pelaku dihukum seumur hidup sebagaimana tuntutan JPU dalam dakwaan primair pasal 340 KUHP.

“JPU menuntut terdakwa [hanya] dengan 18 tahun pidana penjara,” kata Pater Otto.

“Tuntutan JPU ini tidak menunjukan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat, apalagi memberikan kepastian hukum.”

Padahal, menurutnya, unsur-unsur dalam Pasal 340 KUHP, yakni unsur barang siapa, dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu, merampas nyawa orang lain terbukti dan terungkap dalam fakta persidangan kasus tersebut.

“Unsur barang siapa yakni Julius Welung yang cakap menurut hukum,” katanya.

Kemudian, unsur “dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu”, kata dia, Julius Welung telah dengan sengaja melakukan perbuatan merampas nyawa korban dengan rencana terlebih dahulu, dan mengancam keluarga korban pada saat mencari Herlina Nona Wanti di rumah korban.

“Dengan menggunakan pisau menikam korban. Julius telah merencanakan dan sengaja melakukan pembunuhan,” ujarnya.

Lalu, unsur “merampas nyawa orang lain”, terbukti karena nyawa korban Heribertus Erihans Daru, saudara kandung dari Herlina Nona Wanti, meninggal dunia akibat pembunuhan tersebut, kata Pater Otto.

“Semua fakta persidangan terungkap dengan jelas tetapi tuntutan dari pihak JPU selaku pembela korban sangat mengecewakan korban, keluarga korban dan masyarakat peduli atas pelanggaran HAM di Sikka,” sebutnya.

“Dampak yang dialami oleh keluarga korban sangat besar; kehilangan anggota keluarga, tinggal dalam ketakutan jika suatu saat pelaku bebas dari tahanan,” tambahnya.

Kasus 27 Anak Pekerja Pub

Kemudian, terkait kasus eksploitasi anak-anak pekerja tempat hiburan atau pub, kata Pater Otto,  putusan PN Maumere maupun Pengadilan Tinggi Kupang yang dijatuhkan kepada pelaku sangat ringan dan tidak memberikan keadilan bagi para korban dan tidak memberikan kepastian hukum bagi masyarakat pencari keadilan, di mana  hanya dijerat dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.

“[Salah satu] pemilik pub saat ini dalam posisi wajib lapor,” ujarnya. “Satu lainnya sedang dalam proses hukum sampai pada tahap pledoi.”

Kasus dugaan perdagangan manusia di empat tempat hiburan malam di Maumere ini terungkap ketika aparat Ditres Polda Nusa Tenggara Timur [NTT] dan Satres Polres Sikka menggelar razia di tempat hiburan malam di kota Maumere pada Senin, 14 Juni 2021. Para korban ini ditemukan di empat tempat hiburan malam. Mereka berusia 14-17 tahun.

TRUK-F bersama jaringan mengadvokasi kasus ini di mana mereka mendapat pengakuan dari para korban bahwa mereka direkrut dari sejumlah daerah di Pulau Jawa untuk bekerja di restoran, namun, ketika tiba di Maumere, dipekerjakan di tempat hiburan malam.

Mereka juga menemukan praktik penjeratan utang, di mana para korban diberi gaji tiga sampai empat juta rupiah, tetapi mereka tidak diizinkan keluar kompleks pub.

Para korban dipaksakan untuk belanja kebutuhan hidup seperti makanan, sabun, dan lainnya di dalam pub dengan harga yang sangat mahal.

“Kami mengharapkan agar kasus ini diungkapkan secara benar dan digali unsur-unsur perdagangan orang,” kata Pater Otto.

“Anak dibawa umur dianggap belum dewasa, sehingga apapun bentuk pengakuannya dianggap belum cakap hukum. Kami minta hakim PN Maumere secara kritis dan berpihak pada kemaslahatan hidup banyak masyarakat.”

Ia mengatakan hakim perlu melakukan inovasi untuk “menggali kebenaran materiil bukan kebenaran menurut yang memiliki uang” dalam kasus ini.

“Untuk itu kami mendesak dan menuntut hakim PN Maumere memutuskan dengan seadil-adilnya menurut UU yang berlaku dan nurani sesuai kebenaran materiil. Kami mendesak agar nian tana Sikka ini bebas dari perdagangan orang dan hak anak-anak dilindungi dan dijamin oleh Negara dan masyarakat sekitar,” katanya.

Kasus Dugaan Korupsi  BTT

Kasus lain yang mereka suarakan dalam unjuk rasa tersebut yakni dugaan korupsi dana Bantuan Tak Terduga [BTT] di Badan Penanggulangan Bencana Daerah [BPBD] Kabupaten Sikka.

Dalam aksi tersebut Kelompok Peduli HAM menanyakan perkembangan penanganan kasus tersebut.

Kasus ini mencuat ketika pihak Kejaksaan Negeri Sikka melakukan penggerebekan dan menyita dokumen di BPPD Sikka pada Mei 2022.

“Mantan Kajari Sikka dr. Fahmi SH, MH dengan penggrebekan dan sita dokumen di BPBD Sikka dan Dinas Keuangan Kabupaten Sikka membuat angin surga buat rakyat Kabupaten Sikka. Bahwa hanya pihak kejaksaanlah yang mampu membongkar kebusukan koruptor di Kabupaten Sikka,” ujarnya.

“Kami ingin bertanya tentang perkembangan proses pemeriksaannya sudah sampai tahap mana?” sebutnya.

“Bagaimana perkembangan kasus BTT ini, kami sangat mendesak agar kasus ini digali sungguh-sungguh agar yang menjadi aktor dari kasus ini juga diperiksa. Semua orang sama di hadapan hukum.”

Tanggapan Kejari Sikka

Merespons aspirasi demonstran, pihak Kejari Sikka menyatakan terkait kasus pembunuhan berencana di Wolomarang, mereka tetap menjerat terdakwa dengan pasal 340 KUHP.

“Tuntutan 18 tahun [penjara],” kata Kasi Intel Kejari Sikka, R. Ibrahim saat dialog dengan pengunjuk rasa.

Ia menyatakan, sidang pleidoi kasus tersebut dijadwalkan akan dilaksanakan pada Sabtu, 10 Desember.

Kemudian, kasus 17 anak pekerja pub, kata Ibrahim, pihaknya menuntut pelaku dengan Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang, tetapi putusan Pengadilan Negeri tingkat pertama menggunakan Undang-Undang Ketenagakerjaan.

“Dan itu kita sudah banding dan bandingnya itu juga sudah ada putusannya, juga [Undang-Undang] Ketenagakerjaan. Dan saat ini kita prosesnya masih kasasi,” katanya.

Sementara, terkait kasus dugaan korupsi dana BTT, saat ini pihak Kejari Sikka masih menunggu hasil perhitungan kerugian negara oleh Inspektorat Provinsi NTT.

“Kita menunggu itu untuk menambah alat bukti. Perhitungan kerugian negara itu dengan bukti surat. Dengan dua alat bukti yang pertama, saksi sudah kita periksa ditambah lagi dengan bukti surat, kita bisa menetapkan tersangka,” ujar Ibrahim.

Sejauh ini, kata dia, Kejaksaan Negeri Sikka sudah memeriksa 20 saksi terkait kasus ini.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini