BerandaREPORTASEPERISTIWAJalur Lintas Luar di...

Jalur Lintas Luar di Borong: Mangrove Sudah Dibabat, Jalannya Belum Bisa Dimanfaatkan

Dibangun sejak 2019 dengan dana lebih dari tiga miliar rupiah, jalan yang menggusur mangrove itu belum bisa dilalui kendaraan. Pemerintah sudah menganggarkan dana lagi untuk melanjutkan pengerjaannya.

Floresa.co – Enam ekor sapi terlihat diikat di sejumlah titik sepanjang jalan yang mengitari hutan mangrove di pantai sebelah selatan Borong, ibukota Kabupaten Manggarai Timur.

Saat Floresa.co mendatangi lokasi itu pada Senin siang, 12 Desember 2022, tampak badan jalan yang berada di Kelurahan Kota Ndora, Kecamatan Borong itu penuh dengan rumput liar. Mereka tumbuh subur di sela-sela material batu dan pasir yang berserakan di badan jalan.

Jalan dengan lebar 15 meter dan panjang 1.200 meter yang disebut-sebut sebagai jalur lintas luar Borong itu dibangun sejak 2019.

Pengerjaannya oleh CV Chavi Mitra menelan anggaran Rp 3.017.082.000 dari Dana Alokasi Umum (DAU).

Mulai dari penggusuran mangrove, pembuatan deker, tembok penahan tanah, hingga urukan setebal 30 centimeter dikerjakan CV yang sama.

Vitus Dola, direktur CV Chavi Mitra mengatakan volume pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya sudah selesai.

Ia membantah informasi yang sempat dimuat beberapa media sebelumnya bahwa ada pengembalian dana proyek itu karena kualitas pengerjaan jalan yang tidak sesuai perencanaan.

Tiga tahun berlalu, jalan itu belum bisa dilalui kendaraan.

Rumput liar bertumbuh subur di celah-celah batu dan pasir yang berserakan di ruas jalan yang mengitari hutan mangrove di Kelurahan Kota Ndora Manggarai Timur. (Foto: Rosis Adir/Floresa.co)

Kini, pemerintah menganggarkan kembali dana untuk melanjutkan pengerjaannya, dengan fokus menimbun tanah di bagian jalan yang belum rata.

Yosep Marto, Kepala Dinas PUPR Manggarai Timur mengatakan, mereka menganggarkan 300 juta rupiah dengan target pengerjaan selesai bulan ini.

Pengerjaannya, kata dia, swakelola oleh dinas sendiri.

“Kami rencananya lembur supaya bisa selesai sebelum akhir Desember,” katanya kepada Floresa.co.

Sementara itu pantauan di lokasi pada Senin siang, lokasi yang sudah diuruk belum sampai 10 meter dan tidak terlihat ada aktivitas pekerja.

Klaim demi Rehabilitasi Mangrove

Ketika pada 2019 jalan itu mulai digarap, Marto mengklaim pembangunannya untuk mendukung proyek rehabilitasi hutan mangrove. Dengan membangun jalan di daerah itu, kata dia, akan menghindari kemungkinan ekspansi masyarakat pesisir untuk mengklaim wilayah mangrove tersebut.

Ia juga menyebut hal itu dalam rangka membangun pariwisata di Manggarai Timur, khususnya di area pantai dan mangrove.

Yoseph Sunardi Dani, Plt. Lurah Kota Ndora saat itu juga mengatakan, apabila semua infrastruktur pendukung pariwisata di hutan mangrove itu sudah selesai dikerjakan, masyarakat sekitar diharapkan terlibat aktif dalam mengelolanya.

“[Dengan demikian] konsep pemberdayaan ekonomi masyarakat lewat pariwisata bisa dikembangkan di Kota Ndora,” kata Nardi.

Pengerjaan jalan itu dilakukan kala itu meski muncul protes keras dari kelompok peduli lingkungan yang mempersoalkan penggusuran mengrove.

Aksi protes mereka berujung pada langkah melapor pembabatan mangrove ke Polsek Borong.

Beberapa pihak, baik pemerintah kabupaten, pemerintah kelurahan hingga kontraktor pelaksana proyek telah diperiksa.

Tim Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [Gakkum LHK] wilayah Bali Nusa Tenggara bahkan sempat mendatangi lokasi itu mengecek situasi mangrove.

Pada 2021, kasus ini kemudian diambil alih oleh Polres Manggarai Timur. Namun, hingga kini perkembangan proses penanganannya belum diketahui.

Pemerintah sempat menanggapi kritikan para aktivis lingkungan dengan menanam anakan mangrove baru. Namun, nyaris tak satupun yang bertahan hidup.

Anakan mangrove yang ditanam kelompok peduli lingkungan di Borong, nyaris tak ada yang bertahan hidup. (Foto: Rosis Adir/Floresa.co)

Kecewa

Yuvensius Stefanus Nonga, Kepala Divisi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kampanye  Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTT menyayangkan ketidakjelasan proses hukum kasus ini, apalagi dengan melihat perkembangan proyek jalan itu saat ini.

Ia mengatakan, sejak awal pihaknya menilai bahwa narasi pemerintah untuk menyelamatkan mangrove dengan membabat mangrove untuk pembuatan jalan adalah “sangat tidak masuk akal.”

“Fungsi mangrove sebagai ‘sabuk hijau’ harus dijaga. Kenapa harus ada [pembangunan] infrastruktur di sabuk hijau,” katanya kepada Floresa.co pada 13 Desember.

Nonga mengatakan, merujuk UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,  UU Nomor 27 Tahun 2017 tentang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, penggusuran mangrove itu sudah masuk dalam ranah pidana lingkungan.

Ia menyayangkan langkah penegakkan hukum yang tidak jelas, yang mengindikasikan bahwa penegak hukum tidak memiliki pemahaman tentang keberlanjutan lingkungan.

Dalam area-area konservasi terutama di daerah di mana orang berpotensi melakukan pidana lingkungan, termasuk oleh pemerintah sendiri, salah satu yang memastikan bahwa wilayah itu dapat terjaga atau tidak dirusak adalah proses penegakkan hukum,” katanya.

“Kalau misalnya penegak hukum hari ini sengaja atau membiarkan kasus ini menguap, sangat disayangkan,” tambahnya.

Kritikan terhadap pengrusakan mangrove itu juga sempat disuarakan oleh Yovie Jehabut, aktivis lingkungan peneliti burung asal Manggarai Timur.

Pengrusakan mangrove dengan dalih pembangunan pariwisata alam, kata dia, adalah “bagian yang paling menggelikan.”

Aneka sampah tampak menumpuk di bawah salah satu pohon mangrove di Kelurahan Kota Ndora. (Foto: Rosis Adir/Floresa.co)

Hutan mangrove sebagai salah satu atraksi wisata keanekaragaman hayati yang sedang mengalami pertumbuhan pesat di dunia, kata dia, mestinya dilindungi, bukan dirusak.

“Anehnya, pengrusakan ini masih juga disebut sebagai upaya pemerintah membangun pariwisata,” katanya.

Di tengah pembangunan jalan yang lamban dan proses hukum atas kerusakan mengrove yang tidak pasti, kondisi mangrove di Kelurahan Kota Ndora itu semakin kritis.

Sebagaimana disaksikan Floresa.co, beberapa pohon tumbuhan penjaga abrasi pantai itu terlihat meranggas. Di bawah pohon-pohon itu, aneka sampah plastik hingga puing-puing perahu rusak berserakan.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga