Floresa.co – Sambutan meriah berlangsung di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat awal bulan ini saat Piala Adipura dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] tiba di kota pariwisata super premium itu.
Berdasarkan evaluasi kualitas lingkungan selama setahun, KLHK menetapkan Manggarai Barat sebagai salah satu dari 80 kabupaten/kota penerima penghargaan tahunan itu, karena dinilai berhasil menjaga kebersihan dan mengelola lingkungan perkotaan.
Dibawa dari Jakarta oleh Wakil Bupati Yulianus Weng yang menerimanya langsung dari Menteri KLHK Siti Nurbaya Bakar pada 28 Februari 2023, piala itu kemudian diarak keliling kota Labuan Bajo, mulai dari Bandara Komodo, Puncak Waringin, Kampung Ujung, hingga Kantor Bupati Manggarai Barat.
Rombongan dari jajaran pejabat daerah, beberapa aktivis lingkungan dan sejumlah tokoh masyarakat ikut dalam acara itu. Demikian juga pasukan kuning – sebutan untuk petugas kebersihan kota – yang menggunakan beberapa kendaraan operasional pengangkut sampah.
Di kantor bupati, mereka kemudian disambut Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi.
Dalam kesempatan sambutan di hadapan rombongan itu, bupati mengatakan penghargaan itu merupakan “hasil kerja dari semua pihak.”
“Piala Adipura ini kita dapatkan bukan karena hasil kerja bupati atau wakil bupati. Ini hasil kerja bapak ibu semua, termasuk pasukan kuning,” katanya.
Edi berharap Piala Adipura itu menjadi “motivator untuk kita semua agar Labuan Bajo yang saat ini menjadi spot wisata super prioritas, tetap terjaga kebersihan dan keasriannya.”
Penghargaan versus Kondisi Riil Kebersihan Kota
Meski disambut antusias oleh pemerintah, sejumlah pihak memberi catatan untuk penghargaan itu di tengah situasi masalah lingkungan, termasuk sampah, yang belum terurus dengan baik.
Floresa memang menemukan sampah-sampah yang tidak terurus di sejumlah titik di kota Labuan Bajo, juga sejumlah tempat pembuangan sampah yang bertebaran di mana-mana, disinyalir karena tidak adanya kontrol dari pemerintah.
Di sepanjang jalan lingkar luar Wae Nahi, Kelurahan Wae Kelambu menuju Pelabuhan Multipurpose yang berada di bagian utara Labuan Bajo misalnya, sampah-sampah plastik berserakan di semak-semak sisi kiri-kanan jalan.
Floresa juga menemukan setidaknya 12 titik di sepanjang jalan itu yang dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah oleh masyarakat karena ketiadaan tempat sampah umum.
“Saya lihat orang-orang bawa sampah dan buang di situ,” kata seorang pemuda yang ditemui Floresa di pinggir jalan itu, sambil menunjuk sebuah tempat pembuangan sampah yang berada di pinggir jalan yang bersebelahan dengan tanah milik Keuskupan Ruteng.
Aneka jenis sampah mulai menggunung di lokasi itu hingga bertebaran di pinggir jalan. Bau busuk sisa-sisa makanan dan minuman menyeruak dari sana.
Floresa juga menemukan tumpukan sampah di belakang SMA Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo, tepat di pinggir kali.
Sebagian dari sampah-sampah itu berserakan hingga ke badan jalan.
Ketika Floresa mendatangi beberapa lokasi di Pantai Wae Cicu hingga di belakang Hotel Jayakarta, banyak sampah yang berserakan di pinggir pantai.
Pemandangan yang sama juga ditemukan di Pasar Batu Cermin, Wae Kesambi dan Pasar Baru.
Sampah-sampah tampak menumpuk di got dan menyebabkan aliran air terhambat. Air-air yang tergenang di got-got itu terlihat berwarna hitam dan beraroma busuk.
Sementara itu, sejumlah toilet umum di pasar-pasar dalam kota Labuan Bajo itu juga penuh sampah dan tidak digunakan secara baik.
Di laut, tepat di Pelabuhan Marina, sampah-sampah plastik masih banyak ditemukan mengapung.
Situasi seperti ini membuat Wigbertus Gaut, warga asal Labuan Bajo yang kini menjadi dosen di Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng mengatakan “tidak terlalu antusias” dengan penghargaan itu yang menurutnya terkesan hanya untuk membangun citra yang baik bagi Labuan Bajo sebagai destinasi wisata premium.
“Bagaimanapun [Labuan Bajo] harus dicitrakan sebagai tempat yang nyaman untuk dikunjungi,” jelasnya.
Baginya, penghargaan tersebut hanyalah “kampanye atau media promosi” bagi Labuan Bajo.
“Kita patut apresiasi capaian ini, dengan catatan ini menjadi bahan refleksi bagi kita semua, pemerintah, swasta dan masyarakat, untuk terus membangun kesadaran dalam pengelolaan sampah dan rencana tata ruang,” katanya.
Doni Parera, salah satu aktivis lingkungan juga ikut mempertanyakan penghargaan itu.
“Apakah tim penilai [dari KLHK] juga datang di pantai-pantai dalam kota Labuan Bajo?” katanya.
Ia menyinggung situasi di sejumlah pantai, seperti Pantai Pede, yang penuh dengan sampah.
Sementara itu, Marselinus Jeramun, Wakil Ketua DPRD Manggarai Barat mengatakan, terkait layak atau tidak suatu kabupaten/kota untuk menerima Piala Adipura adalah urusan dari instansi pemberi yaitu KLHK.
Kendati demikian, kata dia, “piala ini jangan kemudian menutup semua persoalan sampah” yang ada di Manggarai Barat, khususnya Labuan Bajo.
“Mudah-mudahan KLHK [memberi penghargaan ini] dari hati,” katanya.
“Naif bahkan terkesan lucu, ketika kita terima Piala Adipura sementara di sisi lain di beberapa titik ibu kota kabupaten [Manggarai Barat], sampah berserakan, pantai dikuasai secara privat di mana-mana,” ujarnya.
Marsel menyatakan, mestinya ada kesesuaian antara kondisi eksisting di lapangan dengan penghargaan ini.
“Jangan sampai ada kesan bahwa ini penghargaan asal-asalan atau bahkan penghargaan karena ada kompensasi tertentu,” tambahnya.
Ia menyoroti salah satu masalah krusial di Labuan Bajo, yaitu ketiadaaan pantai publik setelah wilayah-wilayah lainnya dikuasai oleh sektor privat seperti hotel.
Menurutnya, ada inkonsistensi dari KLHK karena salah satu indikator penilaian dalam Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 14 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Adipura adalah pantai wisata yang terbuka untuk publik, sementara di Labuan Bajo sudah tidak ada pantai seperti itu.
Seharusnya, kata dia, agar layak mendapat penghargaan seperti itu, maka daerah pantai seperti di Pantai Pede dan pantai-pantai lain yang diambil alih oleh sektor-sektor privat harus betul-betul dikembalikan kepada publik.
Ia mengatakan, jangan sampai penghargaan ini “hanya supaya disenangi masyarakat, presiden, karena ini kota super prioritas jadi dengan serta merta diberikan piala.”
“Apakah sampah-sampah berserakan di mana-mana, kemudian, ruang publik pantai dikuasai oleh privat, apakah ini [menjadi] indikator pemberian Piala Adipura kepada sebuah daerah?” katanya.
Apa Kata Pemerintah?
Sementara itu, Sebastianus Wantung, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Manggarai Barat menyebutkan bahwa penghargaan itu diperoleh setelah tim KLHK melakukan penilaian secara independen.
Ia menjelaskan, penilaian oleh tim KLHK itu berlangsung sejak 2022, di mana mereka sering ke Labuan Bajo untuk memantau kondisi kebersihan dan pengolahan sampah di wilayah itu.
“Tapi yang mereka fokus penilaian itu Januari 2023. Terakhir mereka datang bulan Januari 2023 untuk menilai,” katanya kepada Floresa.
Menurutnya, ada 31 item yang dinilai oleh tim dari KLHK sebelum menetapkan sebuah kabupaten/kota layak mendapat Piala Adipura.
“31 space yang mereka lihat, bahkan ada yang mereka nilai diam-diam saja, termasuk dokumentasi, wawancara, dan lihat [secara langsung].”
“Berapa space itu yang mereka minta di kami untuk kasih tunjuk saja. Misalnya, dimana taman kotanya? Di mana hutan kotanya? Di mana pasar? Di mana rumah sakit? Di mana Puskesmas? Di mana jalan umum? Di mana permukiman? Termasuk taman dan pantai. Mereka saja yang melihat. Bisa saja mereka wawancara orang sekitar itu,” katanya.
Sementara data-data teknis, kata dia, sumbernya berasal dari DLH Manggarai Barat.
“Misalnya jenis sampah, jumlah sampah, bagaimana dengan tenaga pasukan kuning, bagaimana me-manage, bagaimana cara kerjanya. Kami di sini yang jelaskan,” ujarnya.
Ia mengatakan, tim KLHK mungkin mengakumulasi, menilai “bagaimana Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat selama tahun 2022 itu sangat konsen dengan penanganan sampah untuk kebersihan.”
Ia juga mengklaim, tim KLHK yang datang di Manggarai Barat juga menilai bagaimana respons terhadap penanganan sampah di Labuan Bajo pada 2022, baik dari pemerintah, masyarakat, pegiat lingkungan, BUMN, BUMD, dan instansi-instansi lainnya.
“Mungkin itu yang mereka lihat, pemerintah, masyarakat ada rasa memiliki soal penanganan sampah ini.”
“Menurut saya piala ini salah satu penghargaan termasuk supaya masyarakat, pemerintah jangan berhenti untuk urus lingkungan ini,” ujarnya.
Upaya Tata Kelola Kebersihan
Berangkat dari fakta lapangan masih tidak terurusnya sampah, Wigbertus Gaut berharap pemerintah bisa mengambil langkah-langkah lebih maju, selain memastikan bahwa tanggung jawab mereka yang sudah diatur regulasi dijalankan dengan baik.
Ia mengatakan, selama ini di Labuan Bajo sudah ada pihak swasta yang sangat konsen dalam pengelolaan sampah secara inovatif.
Ia berharap agar kerja-kerja inovasi demikian diintegrasikan dalam pengelolaan sampah yang dilaksanakan pemerintah.
“Dewasa ini, membuang sampah pada tempatnya sudah mulai ditinggalkan dan beralih ke kurangi aktivitas yang menghasilkan sampah, atau pilahlah sampahmu,” katanya.
Sementara, Marselinus Jeramun berharap Pemda Mabar perlu berbenah diri supaya ada kesesuaian antara penghargaan Piala Adipura ini dengan kondisi di lapangan.
Langkah yang diambil pemerintah juga, kata dia, perlu kerja sama, sinergi dengan otoritas di Labuan Bajo yang bekerja di sektor kelautan seperti Syahbandar, Pelni, ASDP, dan Pelindo.
“Kita memaknai Piala Adipura ini dari dua sisi. Satu sisi betul bentuk penghargaan karena memang betul-betul begitu adanya. Sisi lain, bisa jadi ini bentuk sindiran bagi kita semua karena status kita sebagai kota dengan label super premium, smart city, tetapi justeru sampahnya berserakan di mana-mana,” katanya.