Dari Sopi Bisa Sekolahkan Anak

Menghasilkan minuman tradisional, seperti sopi, terus menjadi salah satu upaya mencari nafkah bagi warga di NTT, termasuk di Manggarai

Floresa.co – Kornelia Lumut (34) duduk di samping tungku api di sudut gubuknya. Sesekali tangannya mendorong kayu bakar di tungku itu, lalu meniup api agar terus menyala. 

Di atas tungku di sudut gubuk berukuran tiga kali tiga meter itu terdapat sebuah panci besar, tempat memasak tuak bakok, nira yang disadap dari batang mayang pohon aren.

“Butuh waktu [sekitar] dua jam untuk memasaknya,” katanya kepada Floresa baru-baru ini saat ditemui di gubuknya yang terletak di tengah kebunnya di Tanggong, Desa Lungar, yang masuk wilayah Poco Leok di Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai.

“Selama itu, nyala api harus stabil,” tambahnya.

Belasan jeriken berukuran jumbo dengan kapasitas 30 liter berisi tuak bakok tampak tersusun rapi di salah satu sisi gubuk itu.

“Satu panci ini menampung dua jeriken jumbo tuak bakok,” kata Kornelia, sembari mengusap peluh di keningnya.

Hasil penyulingan tuak bakok itu adalah minuman beralkohol yang di Manggarai dikenal dengan nama sopi. Di daerah NTT lainnya, ada yang menyebutnya dengan moke atau ciu.

Kornelia bersama suaminya, Thomas Uman, menggunakan peralatan sederhana untuk menghasilkan sopi: panci, bambu betung dan jeriken plastik.

Tutupan panci tampak tersambung dengan bambu betung dengan tinggi sekitar satu meter yang berdiri tegak. Ujung atas bambu itu disambung lagi dengan bambu lainnya berukuran sedang yang panjangnya mencapai belasan meter. Bambu sambungan itu ditekuk ke samping membentuk sudut sekitar 50 derajat melewati dinding hingga ke luar gubuk.

“Ketika mendidih, tuak di dalamnya menguap. Uapnya itu melewati lubang bambu, kemudian menjadi zat cair. Itulah sopi,” jelas Thomas.

Sopi hasil penyulingan ‘tuak bakok’ yang mengalir menuju jeriken. (Foto: John Manasye/Floresa.co)

Thomas sudah menempatkan jeriken berkapasitas lima liter untuk menampung tetesan sopi di ujung bambu.

“Ini sopi dengan kualitas nomor satu. Minumnya sedikit-sedikit, biasa digunakan untuk pengobatan,” tutur pria 37 tahun itu.

Selain bertani, Kornelia dan Thomas sudah bertahun-tahun menjadi produsen minuman tradisional itu.

Mereka berbagi tugas. Thomas menyadap tuak bakok dari mayang aren dan Kornelia menyulingnya.

Tak jarang, mereka juga melakukan penyulingan bersama-sama jika stok tuak bakok cukup banyak, seperti pada hari itu.

Menurut Thomas, tuak bakok sebenarnya sudah bisa menghasilkan uang. Namun minuman dengan cita rasa manis dan agak kecut itu harganya murah dan tidak bisa disimpan lama.

Per jeriken ukuran lima liter, kata dia, dijual 25 ribu rupiah.

Sementara sopi dengan ukuran yang sama, jelasnya, dijual 100 ribu rupiah sampai 150 ribu rupiah.

Ditekuni Banyak Warga

Menyadap aren dan menyuling sopi merupakan usaha yang lazim dilakukan warga di beberapa lokasi di Manggarai, termasuk di Poco Leok — sebutan umum untuk wilayah yang mencakup tiga desa di Kecamatan Satar Mese, yakni Desa Lungar, Desa Mocok dan Desa Golo Muntas.

Selain tanaman perkebunan yang berbuah musiman seperti kopi, vanili, dan cengkeh, hutan aren di wilayah itu menjadi sumber rezeki bagi warga setempat.

“Bahkan mereka yang di kebunnya tidak tumbuh aren, bisa beli aren di kebun orang lain. [Nira dari] aren ini dipanen tiap hari. Kami hanya berhenti sejenak kalau sedang ada angin kencang,” kata Thomas.

Nikolaus Panas [50], asal kampung Ncamar, Desa Lungar juga sudah menggeluti usaha tersebut sejak masa mudanya.

Nikolaus Panas, warga di Kampung Ncamar, Poco Leok, Kabupaten Manggarai sedang memasak ‘tuak bakok’ untuk menghasil sopi, minuman keras tradisional. (Foto: John Manasye/Floresa.co)

Di sekitar kampungnya yang terjal, ayah lima anak ini memiliki lahan yang ditumbuhi aren, yang menurutnya juga berfungsi untuk mencegah erosi dan melindungi tanaman lainnya.

“Saya biasa panen enam jeriken tuak bakok pagi dan empat jeriken sore hari. Jadi setiap hari rata-rata 10 jeriken,” tuturnya, sambil menunjuk jeriken-jeriken kecil berkapasitas lima liter yang berderet di rumahnya.

Ia mengatakan mulai membuat sopi ketika sudah mendapat 12 jeriken atau 60 liter tuak bakok.

Hasilnya, kata dia, adalah mendapat satu jeriken sopi nomor satu dan dua jeriken sopi biasa.

Nikolaus menampung sopi hasil penyulingan hingga mencapai satu jeriken jumbo berkapasitas 30 liter. Sopi tersebut dijual kepada pedagang yang datang dari luar daerah.

Ia biasa menjual 800 ribu per jeriken jumbo.

“Sedangkan untuk sopi kelas satu, lebih mahal lagi. Satu jumbo harganya bisa sampai 1,5 juta rupiah,” ujarnya.

Hendrikus Apot, asal Kampung Tantong, Desa Wewo mengatakan, menyadap aren yang sebelumnya hanya sebagai pekerjaan sampingan kini menjadi pekerjaan utamanya lantaran produktivitas kopi dan cengkeh di kebunnya turun drastis.

Ia mengaitkan hal itu dengan beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi [PLTP] Ulumbu yang berlokasi di sekitar kampungnya.

Hendrikus Apot sedang menyadap aren. (Foto: John Manasye/Floresa.co)

“Sejak beroperasinya Ulumbu, kopi dan cengkeh tidak berbuah lebat seperti dulu lagi, sehingga kami hanya berharap pada tuak,” katanya.

Bernilai Budaya, Jadi Sandaran untuk Pendidikan Anak

Tidak diketahui secara pasti jumlah kandungan alkohol pada sopi.

Pada 2019, Pemerintah Provinsi NTT meluncurkan produk sopi yang diberi label resmi, “Sophia,” yang diklaim memiliki kandungan alkohol 40%.

Untuk masyarakat lokal seperti di Manggarai, sopi, juga tuak bakok, jadi bagian dari minuman wajib dalam setiap upacara adat dan upacara-upacara lainnya. Sopi juga biasa diminum dalam acara maupun kumpul-kumpul keluarga dan sahabat.

Pengemasannya biasanya menggunakan, botol bekas air mineral, maupun botol kaca.

Seperti minuman keras pada umumnya, selain mengakibatkan mabuk berat jika dikonsumsi dalam jumlah banyak, sopi juga bersifat adiktif yang menimbulkan efek candu bagi peminumnya.

Karena dampaknya yang dianggap bisa memicu tindakan kriminalitas, terutama dikaitkan dengan kebiasaan sebagian orang yang mabuk-mabukan setelah mengkonsumsinya, kontrol aparat keamanan terhadap peredaran sopi masih kerap terjadi di NTT lewat berbagai razia.

Terlepas dari kontroversinya, warga seperti Kornelia tetap melakoni usaha mereka untuk bisa membiayai hidup, termasuk menyekolahkan anak.

Ia mengatakan, dalam sehari, mereka mendapat 60 liter tuak bakok yang jika disuling menjadi 10 liter sopi.

Jika dikonversikan ke nilai uang mereka mendapat pemasukan 200-300 ribu rupiah.

“[Itu] lumayan, cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Dan yang paling penting, bisa penuhi permintaan anak-anak yang masih sekolah,” tutur Kornelia.

Kornelia Lumut bersama suaminya, Thomas Uman. (Foto: John Manasye/Floresa.co)

Kornelia dan Thomas memiliki tiga orang anak. Anak sulung mereka sedang menempuh pendidikan ilmu hukum di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta.

Dua anak lainnya sedang berada di bangku kelas 2 SMP dan kelas 5 SD.

“[Ketika] anak mau sekolah, kami sebagai orangtua harus dukung. Tiap hari bikin sopi, supaya bisa dukung cita-cita mereka,” kata Kornelia.

Artikel ini terbit di halaman khusus KoLiterAksi. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pemerhati pendidikan ataupun masyarakat umum dan tertarik menulis di sini, silahkan kirimi kami artikel. Ketentuannya bisa dicek dengan klik di sini!

Artikel Terbaru

Baca Juga Artikel Lainnya