Di tengah gelombang perlawanan warga, juga kritikan dari berbagai elemen, termasuk para wakil rakyat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berjanji mengevaluasi kebijakan yang dikendalikan oleh PT Flobamor, BUMD milik Provinsi NTT itu.
Skema ini mengancam keutuhan Taman Nasional Komodo sebagai rumah perlindungan aman bagi satwa langka Komodo dari ancaman kepunahan akibat perubahan iklim dan dari desakan aktivitas eksploitatif manusia. Dengan skema itu pula, telah terjadi perubahan drastis paradigma pembangunan pariwisata dari ‘community based-tourism’ menjadi ‘corporate-driven tourism’.
“Taman Nasional Komodo di bawah kepemimpinan Bapak Awang telah digadai. Taman Nasional Komodo, yang merupakan milik negara telah digadaikan kepada perusahaan tertentu,” ujar warga.
“Gereja (seharusnya) bela kami! Gereja (seharusnya) beri suara! Gereja jangan hanya diam! Jangan hanya nyaman bersembunyi di balik tembok!” kata salah seorang orator.
Artikel berjudul "'Tanah itu Ibu Kami’: Cara Perempuan Poco Leok, Flores Pertahankan Tanah dari Ancaman Proyek Geothermal” menjadi juara satu dalam lomba yang digelar oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Indonesiana.id dan Mongabay Indonesia itu.
Dalam acara Hari Kebebasan Pers Sedunia di Labuan Bajo yang digelar Project Multatuli dan Floresa, para jurnalis, warga adat, kaum muda, aktivis dan akademisi bersama-sama mendiskusikan peran pers dalam mengawal proses pembangunan di Flores.
Ketika yang jadi alat ukur hanyalah Produk Domestik Bruto, kekayaan alam dan masyarakat hanya dilihat sebagai faktor produksi, sementara dampak ekologis dan sosial tak jadi pertimbangan. Hukum pun dipakai sebagai alat legitimasi kerusakan melalui pelbagai pelonggaran dan deregulasi.
Penolakan para perempuan Poco Leok didasarkan pada kesadaran bahwa tanah adalah sumber kehidupan, kosmologi adat setempat yang melihat bumi sebagai ibu, penghormatan terhadap warisan leluhur dan kecemasan terhadap potensi bencana alam.