Aktivitas Vulkanis Picu Ketidakpastian Pendapatan Pemandu, Pemkab Lembata Klaim Festival di Ile Lewotolok Berkontribusi bagi Pelaku Usaha Wisata

Dinas Pariwisata menyebut kondisi terbaru gunung api itu tak memengaruhi kalender festival

Floresa.co – Handrianus Belutowe tampak sibuk melayani calon pembeli aksesoris yang ditawarkannya di tepi Pantai Wulen Luo, Pulau Lembata.

Di pesisir sebelah timur laut Lembata itu, lapaknya menyempil di antara tenda-tenda ekshibisi jajaran kantor dinas setempat yang didirikan sejak sebulan silam.

“Seperti biasanya dalam gelaran festival di Lembata,” kata Andre, sapaannya, “di sini pun lebih banyak tenda pemerintah ketimbang pelaku usaha kecil dan menengah.” 

Ekshibisi merupakan bagian dari festival “Taan Tou, Lembata Maju Berkelanjutan” yang diinisiasi Dinas Pemuda, Olahraga, dan Kebudayaan Lembata guna menyambut 25 tahun Otonomi Daerah Kabupaten Lembata.

Pada 28 September malam itu, Andre menjajakan gelang, kalung dan hiasan gantung ponsel, yang sebagian besar berbahan baku tali Prusik [Prusik knot].

Tali Prusik lekat dengan para pegiat kegiatan alam bebas, termasuk Andre. 

Ia fasih membuat pelbagai simpul berbahan Prusik, yang turut membantunya mendaki gunung-gunung di Lembata, tak terkecuali Ile Lewotolok. 

Andre tak ingat telah berapa kali ia menjejak jalur pendakian hingga puncak Ile Lewotolok. 

Yang pasti, lelaki yang kini berusia 37 tahun itu mulai aktif mendaki semenjak bergabung dengan Gema Putra-Putri Lembata [Gempita], kelompok pencinta alam di pulau kecil sebelah timur Flores itu. 

Selain itu, ia acapkali memandu pendaki dari luar Pulau Lembata, pekerjaan yang membuatnya “merasa dekat” dengan sang gunung api. 

Kedekatan Andre dengan Ile Lewotolok membuatnya mengerti ketika terjadi perubahan kontur pada sang gunung api. 

Ia kian menyadari perubahannya dalam setidaknya setahun belakangan, atau ketika Ile Lewotolok tercatat lebih dari 200 kali erupsi. 

Hanya dalam sepekan saja menjelang akhir April 2024, gunung api setinggi 1.455 meter di atas permukaan laut itu mencatatkan 173 kali erupsi.  

Selain mengubah ketinggian, rangkaian erupsi juga “meningkatkan volume lava di kawah Ile Lewotolok,” kata Andre. 

Ia merekam kenaikan volume lava Ile Lewotolok secara tahunan sejak 2020 melalui kolase foto yang ia unggah pada laman Facebook pribadinya pada 23 September.

Unggahannya disukai 103 akun, dibagikan sebanyak 9 kali dan dikomentari 30 lainnya.

Meski banyak yang memuji fotonya, tetapi bagi Andre, penumpukan lava adalah soal lain bagi pemandu pendaki seperti dirinya.

Pendapatan pemandu pendaki “yang sudah musiman ini semakin tak pasti.”

Andre tak sekalipun menyalahkan alam. Bertahun-tahun terlibat dalam kegiatan Gempita, ia menyadari “alam tak bisa dilawan.”

Namun, “setidaknya pemerintah daerah berbuat sesuatu bagi kami,” permintaan yang tetap ia gaungkan meski “saya tahu jawabannya pasti nol.”

Jalur pendakian Ile Lewotolok di Pulau Lembata berhadap-hadapan dengan Laut Sawu dan Pulau Adonara di seberangnya. Foto diambil pada 17 Oktober 2019. (Anastasia Ika)

Kalender Festival Tetap Jalan

Berhadap-hadapan dengan Laut Banda di sebelah utara, Laut Sawu di barat dan Teluk Hadakewa di bagian timur, Ile Lewotolok menawarkan pengalaman dan pemandangan yang “tak biasa di gunung api,” kata Andre. 

Pengalaman dan pemandangan itu pula yang menjadikan Ile Lewotolok sebagai salah satu titik lokasi festival garapan pemerintah kabupaten [Pemkab].

Selagi Andre mempertanyakan upaya Pemkab bagi para pekerja musiman seperti dirinya, “aktivitas vulkanis Ile Lewotolok tak mengusik kalender festival di Lembata,” kata Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kabupaten Lembata, Yakobus Andreas Wuwur.

“Setiap festival yang digelar Pemkab di lereng Ile Lewotolok berkontribusi langsung bagi warga, pelaku usaha wisata dan ekonomi kreatif,” kata Yakobus.

Menurut data kantor Yakobus, sebanyak 672 turis asing dari keseluruhan 12.288 wisatawan berkunjung ke Lembata selama Januari-Agustus 2024. 

Jumlah wisatawan asing pada periode tersebut, katanya, “melampaui 346 turis asing pada periode yang sama setahun sebelumnya.”

Gelaran festival terakhir di lereng Ile Lewotolok digelar pada 27-29 September, dengan “pesta kacang” sebagai agenda utamanya. “Pesta kacang” menandai permulaan musim tanam di perladangan pada lereng gunung api itu. 

Yakobus mengklaim setiap gelaran festival di lereng Ile Lewotolok mendatangkan “minat banyak wisatawan, terlebih bagi yang menyukai kegiatan mendaki gunung.”

“Mereka dapat melihat secara dekat aktivitas vulkanis Ile Lewotolok, tentu dengan mewaspadai risikonya,” kata Yakobus.

Namun, seorang ahli geologi berpandangan sebaliknya.

“Jangan mendekati kawah [Ile Lewotolok] lantaran belum aman,” kata Surono, ahli geologi yang pernah menjabat kepala Badan Geologi dan kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.

Tempat Asal Leluhur 

Ile Lewotolok diyakini sebagai tempat asal leluhur Lembata, selain Pegunungan Kedang di utara pulau itu.

Ditemui pada Oktober 2019, Andreas Koli, seorang warga adat di Lamagute, suatu desa di kaki Ile Lewotolok sempat bercerita tentang riwayat leluhur Pulau Lembata. 

Dahulu di puncak Ile—“gunung” dalam bahasa setempat—Lewotolok, katanya, “tiga suku hidup berdampingan.” Masing-masing adalah suku Lemani, Holeba dan Goleker. 

Ketiganya hidup nomad. “Mereka tak pernah bermusuhan,” katanya.

Suatu hari, anggota ketiga suku memutuskan berjalan ke timur. Di sana tinggal suatu suku lain. Suku ini menghuni sebuah gua di dekat kawah Ile Lewotolok.

Ile Lewotolok dilihat dari Pelabuhan Waijarang, Lewoleba di Pulau Lembata. Foto diambil pada 19 Oktober 2019. (Anastasia Ika)

Ahli etnografi Jerman Ernst Vatter dalam Ata Kiwan, buku yang diterbitkan pada 1984 menuliskan, “menurut folklor, ketiga suku itu turun dari gua-gua di dekat puncak Lewotolok.” 

Mereka kemudian berpencar. Sebagian mulai membangun hunian di pesisir. Sebagian lagi tinggal di sekitar Lewotolok.

“Dari puncak Lewotolok dan Kedang—wilayah pegunungan di utara Lembata—itulah, tulis Vatter, “masyarakat Lembata pelan-pelan terbentuk hingga hari ini.”

Ile Lewotolok berjenis strato, atau kerap pula disebut stratovolcano. Bagian puncaknya membentuk kerucut. Ile Lewotolok juga tercakup dalam gunung api tipe A. Gunung dalam daftar ini mengalami erupsi magmatis, paling tidak sekali selepas tahun 1600.

“Siklus magmatis bisa diprediksi,” kata Surono. Saat desakan semacam ini terjadi, “perut Bumi yang sudah penuh secara spontan meluapkan isinya. Menyembur berkali-kali, tanpa kenal waktu, pada suatu periode.”

Letusan pertama Ile Lewotolok tercatat pada 1660. Letusannya termasuk dalam tipe eksplosif. Model eksplosif menandai kenaikan tekanan magma yang begitu kuat dalam perut Bumi, sehingga menyebabkan ledakan besar saat meletus. Erupsi eksplosif berdampak pada pembentukan kawah yang luas.

Gunung api itu kembali erupsi secara eksplosif pada Oktober 1849. Letusan memunculkan kepundan baru berukuran 800×900 meter. Gunung yang berhadap-hadapan dengan Ile Boleng—satu-satunya gunung di Pulau Adonara—itu terakhir kali erupsi besar pada 1920.

Sesudah 97 tahun tak menggeliat, Ile Lewotolok tercatat kembali aktif erupsi pada Oktober 2017.

PVMBG merespons peningkatan aktivitas vulkanis itu dengan menaikkan status Lewotolok menjadi “Waspada” atau Level II.

Erupsi besar pertama Lewotolok sesudah penetapan status itu terjadi pada November 2020, atau di tengah-tengah pandemi Covid-19. 

Status Lewotolok beberapa kali naik dan turun sesudahnya, sebelum kembali pada Level II pada pertengahan Juni.

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA