Mahasiswa Unika St. Paulus Ruteng Ikut Pelatihan untuk Tingkatkan Kemampuan Menulis Kritis

Peserta menyebut pelatihan ini sangat relevan karena menulis merupakan keterampilan penting dalam dunia akademik dan profesional

Lebih dari seratus mahasiswa Universitas Katolik Indonesia (Unika) St. Paulus Ruteng mengikuti pelatihan menulis untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan membangun gagasan kritis.

Berlangsung selama setengah hari pada 31 Mei di Aula Missio, pelatihan itu diinisiasi kelompok mahasiswa yang tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Focus Group Discussion (FGD)

Selain dari FGD, mahasiswa dari unit lain juga turut serta dalam pelatihan bertema “Membangun Kesadaran Menulis bagi Mahasiswa” itu.

Fasilitator pelatihan adalah Martin Dennise Silaban, peneliti dari Sheep Indonesia Institute yang tengah menempuh studi pascasarjana di Jurusan Studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Ketua Panitia sekaligus Ketua FGD Trisno Arkadeus menjelaskan, pelatihan itu berangkat dari kebutuhan mahasiswa dari berbagai fakultas dan program studi untuk mengembangkan kemampuan menulis kritis dan produktif.

Pemicu lainnya adalah “minimnya semangat menulis di kalangan mahasiswa.”

Frasa “membangun kesadaran” dalam tema itu, kata dia, relevan sebagai “langkah awal yang penting” untuk mulai menulis.

Pelatihan berlangsung dalam dua sesi, masing-masing materi umum terkait kesadaran dan keterampilan menulis dan praktik menulis esai sederhana.

Pada sesi pertama, Martin Dennise Silaban menjelaskan bahwa kemampuan menulis kritis tidak hanya sebagai kewajiban akademik mahasiswa, tetapi juga sarana ekspresi diri dan kontribusi sosial.

“Manusia bisa hidup dua kali, yaitu sekali di dunia dan sekali lewat tulisan,” katanya.

Ia berkata menulis bukan sekadar aktivitas teknis, melainkan proses reflektif dan kreatif yang membutuhkan kesungguhan dan konsistensi. 

Ia mengajak peserta  memahami struktur tulisan yang baik, mempraktikkan gaya bahasa yang efektif serta menjaga integritas dan orisinalitas karya tulis. 

“Menulis adalah alat untuk membangun kesadaran kritis dan membuka ruang dialog di tengah masyarakat. Di dunia yang sering meminggirkan suara mahasiswa, perempuan dan suara dari daerah, dengan menulis kamu bisa melawan,” katanya.

Martin juga mendorong mahasiswa untuk tidak “takut salah, merasa tidak berbakat dan menulis hanya karena tugas kuliah.” 

Ia mengingatkan bahwa “tulisan bisa menjadi ekspresi diri, protes, harapan bahkan media penyembuhan diri.”

Pada sesi kedua, para mahasiswa mengikuti praktik menulis esai singkat bertema masalah sosial di wilayah Manggarai. 

Praktik dimulai dengan merumuskan judul yang menarik, membangun argumen yang kuat berbasis data dan pernyataan penutup yang menggugah dan mudah diingat pembaca.

Dalam menulis, jelas Martin, terdapat tiga elemen penting yang harus tampak, yakni ethos atau karakter penulisan, logos atau logika dan argumentasi yang kuat dan pathos, yakni emosi, perasaan atau sikap penulis yang menyentuh pembaca.

“Tulis saja walau sedikit atau masih takut dan belum yakin. Tulisan pertamamu mungkin tidak mengubah dunia, tetapi bisa mengubah hubunganmu dengan dirimu sendiri,” katanya.

Maria Afrentina Luju, mahasiswi dari Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia mengaku terbantu dan termotivasi setelah mengikuti kegiatan ini.

Pelatihan ini membuatnya terdorong untuk “memahami topik-topik sosial, mencatat fakta-fakta lapangan serta sedapat mungkin menyediakan solusi bagi pembaca.”

Sementara Marto Supardi dari Program Studi Pendidikan Teologi berkata “pelatihan ini sangat relevan karena menulis merupakan keterampilan penting dalam dunia akademik dan profesional.”

“Kemampuan menulis yang baik adalah kunci kesuksesan bagi mahasiswa, meskipun tidak semua memiliki minat atau kemampuan optimal dalam praktiknya,” katanya.

Marto berharap pelatihan tersebut mendorong mahasiswa Unika St. Paulus menciptakan media pembelajaran yang inovatif serta menjadi pendidik yang profesional dan kreatif. 

“Saya merasa lebih percaya diri untuk menulis dan berharap bisa terus mengembangkan kemampuan ini,” katanya.

Koordinator FGD Pastor Geovanny Calvin de Flores Pala, SVD berkata, lebih dari sekedar sebuah program, pelatihan ini adalah langkah strategis membangun budaya menulis yang berkelanjutan di lingkungan kampus. 

“Kami berharap kesadaran menulis yang tumbuh dari pelatihan ini dapat menjadi fondasi kuat bagi mahasiswa untuk berkarya secara akademik maupun sosial,” katanya.

Ia menambahkan, FGD akan terus mengadakan pelatihan serupa, terutama untuk mendorong mahasiswa peka pada realitas sosial di sekitar.

Editor: Anno Susabun

Artikel ini terbit di halaman khusus KoLiterAksi. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pemerhati pendidikan ataupun masyarakat umum dan tertarik menulis di sini, silahkan kirimi kami artikel. Ketentuannya bisa dicek dengan klik di sini!

Silahkan gabung juga di Grup WhatsApp KoLiterAksi, tempat kami berbagi informasi-informasi terbaru. Kawan-kawan bisa langsung klik di sini.

Artikel Terbaru

Banyak Dibaca

Baca Juga Artikel Lainnya