‘Dungu’ ala Rocky Gerung; Pantaskah Diucapkan dalam Forum Diskusi Formal?

Kata “dungu” yang sering dipakai Rocky Gerung tidak dapat ditinjau melulu dari kebenaran logis konseptual karena pemaknaan bersifat dinamis

Wikipedia, salah satu situs ensiklopedia digital yang dikenal luas di dunia akademik memperkenalkan Rocky Gerung, pria kelahiran 20 Januari 1959, sebagai pengamat politik, filsuf, akademisi dan intelektual publik karena banyak pemikiran kritisnya yang berpengaruh pada lagam atau cara interpretasi dan penyelesaian masalah sosial maupun normatif.

Memang, perlu diakui bahwa ciri khas berdiskusi pemikir ini sangat filosofis, sehingga pernyataannya acapkali “menggelitik” nalar dan merangsang kuriositas atau rasa penasaran masyarakat.

Salah satu yang membuat “heboh” masyarakat luas adalah penggunaan kata “dungu” dalam fórum diskusi formal. 

Tak sedikit yang mempertanyakan tentang ketepatan penggunaan kata tersebut pada ruang diskusi yang dapat ditonton oleh khalayak umum.

Menjawab hal tersebut, sang pengamat politik sempat berargumen menggunakan landas-pijak kebenaran logis dengan mengatakan bahwa kata “dungu” itu sendiri memiliki arti “gagal berpikir atau menalar.”

Memang, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “dungu” berarti “sangat tumpul otaknya”. Pemahaman analogis “tumpul” sendiri adalah “tidak mudah mengerti.”

Jika ditautkan pada term “otak” yang bermakna “pikiran atau benak,” maka arti dari ekspresi “sangat tumpul otaknya” adalah “pikiran atau benaknya sangat susah memahami.”

Dan, jika dicerna lebih dalam dengan silogisme kondisional maka “gagal berpikir” dapat menjadi salah satu konsekuensi logis dari “pikiran, atau benak sangat susah memahami,” namun masih bersifat kemungkinan karena harus dibuktikan kebenaran premis-premis yang mendasari konsekuensi termaksud. 

Mengapa? Karena kebenaran logis-konseptual hanya berlaku pada tataran silogisme deduktif. 

Dalam diskusi, apalagi mengenai tema-tema etis-sosial yang didasarkan pada klaim akan pengalaman atau fakta, silogisme yang sering digunakan lebih bersifat induktif – penarikan kesimpulan dari hal yang bersifat khusus menjadi hal yang bersifat umum.

Di sini, kebenaran logis-konseptual perlu diuji, atau dihubungkan dengan perspektif-perspektif lainnya semisal kebenaran gnoseologis – dikenal juga dengan epostemologis – dan etis.

Apabila ditilik dari kebenaran gnoseologis, yakni mengenai keterkaitan antara penilaian dengan kenyataan [tingkat kesesuaian], pemakaian kata “dungu” dapat disorot dengan dua hipotesis sebagai berikut.

Pertama, apakah pernyataan Rocky membuka peluang untuk penafsiran lain? Jadi sebelum mengafirmasi “kedunguan” dalam perdebatan, yang harus dilihat adalah apakah argumen-argumen yang dipaparkan dapat membuka interpretasi lain dari pihak lawan. 

Hal ini berkaitan dengan kesesuaian antara kata “dungu” dengan kenyataan pemikiran lawan. 

Jadi, jika berpeluang membuka interpretasi lain maka tidak ada “kedunguan” karena tidak ada pembuktian akurat mengenai kondisi benak, atau pikiran seseorang.

Kedua, bagaimana korespondensi pemaknaan kata “dungu” itu sendiri dengan pemahaman etis-sosial? 

Di sini, hal yang perlu diperhatikan adalah persetujuan intelek masyarakat akan makna termaksud. Bisa jadi, masyarakat memiliki penilaian yang lebih “sarkastik” tentang kata tersebut.

Kemungkinan kedua ini juga berkaitan dengan kebenaran etis yakni tentang bagaimana iklim etis suatu masyarakat memahami kata “dungu.”

Sebagai contoh, jika kata “dungu” dalam masyarakat umum hanya digunakan dalam percakapan yang tidak serius atau candaan dan tidak digunakan dalam percakapan formal atau diskusi publik, maka bisa dikatakan bahwa dari sisi etis-sosial kata “dungu” dipandang sebagai hal yang tidak patut digunakan pada perbincangan formal.

Setidaknya terdapat tiga catatan penutup artikel ini.

Pertama, kata “dungu” tidak dapat ditinjau melulu dari kebenaran logis konseptual karena pemaknaan seringkali bersifat dinamis dan bergantung pada persetujuan rasio sosial.

Kedua, dalam diskusi mengenai landas-pijak kebenaran mana yang paling tepat untuk dipakai dalam penilaian, ada kemungkinan berlakunya teori prinsip dominan, yang mendesak kebenaran logis untuk diuji kembali dan berpotensi untuk tunduk pada kebenaran gnoseologis dan etis ataupun landas-pijak kebenaran lainnya.

Ketiga, artikel ini bertujuan untuk membuka sebuah diskusi yang lebih mendalam guna memperkaya penafsiran normatif.  Karena itu, alangkah baiknya jika ada yang kontra dengan pendapat saya ini, hal itu dapat dituangkan dalam artikel tanggapan demi memperkaya diskusi.

João Manuel da Costa Sarmento adalah alumnus Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero [sebelumnya Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero], kini pengajar Pengantar Filsafat dan Logika pada Fakultas Hukum Universitas Negeri Timor Lorosae di Díli, Timor Leste.

Editor: Ryan Dagur

Artikel ini terbit di halaman khusus KoLiterAksi. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pemerhati pendidikan ataupun masyarakat umum dan tertarik menulis di sini, silahkan kirimi kami artikel. Ketentuannya bisa dicek dengan klik di sini!

Silahkan gabung juga di Grup WhatsApp KoLiterAksi, tempat kami berbagi informasi-informasi terbaru. Kawan-kawan bisa langsung klik di sini.

Artikel Terbaru

Baca Juga Artikel Lainnya