Floresa.co – Organisasi mahasiswa di Kupang, NTT menanam puluhan bibit mangrove dan membersihkan pantai, bagian dari upaya menjaga kelestarian lingkungan pesisir dan membangun kesadaran ekologis masyarakat.
Diinisiasi Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, penanaman 50 bibit mangrove dan pembersihan pantai di Kelurahan Oesapa Barat dilaksanakan pada 27 Juni.
Dalam kegiatan itu, puluhan kader GMKI menanam bibit mangrove di area yang mulai terdegradasi serta memungut sampah anorganik di sepanjang garis pantai.
Ketua GMKI, Andraviani F.U. Laiya berkata, kegiatan tersebut merupakan bentuk tanggung jawab iman dan sosial mahasiswa terhadap lingkungan yang semakin terancam oleh pencemaran dan perubahan iklim.
Menanam mangrove, kata dia, “bukan hanya soal menanam pohon, tetapi menanam harapan dan perlindungan bagi ekosistem pesisir.”
Ia berkata, akar mangrove mampu menahan abrasi, menjadi tempat hidup biota laut serta menyerap emisi karbon.
Sementara pembersihan pantai, kata dia, adalah “langkah nyata agar laut kita terbebas dari sampah dan tetap menjadi sumber kehidupan.”
“Kegiatan ini merupakan bagian dari komitmen GMKI memitigasi perubahan iklim,” katanya dalam keterangan yang diperoleh Floresa.
“Kami mengajak seluruh warga Kota Kupang untuk bersama-sama menjaga lingkungan. Mulailah memilah sampah dan jangan membuang sampah sembarangan, terutama di wilayah pesisir laut,” tambahnya.

Andraviani berkata, sampah plastik yang kita buang hari ini bisa mencemari lingkungan selama ratusan tahun dan membahayakan makhluk hidup.
Karena itu, “mari kita ciptakan Kota Kupang yang bersih, sehat dan ramah lingkungan.”
“Kalau bukan kita yang jaga, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?”, katanya.
GMKI mendesak Pemerintah Kota Kupang agar lebih serius dan konsisten menangani persoalan sampah, khususnya di kawasan pesisir yang merupakan wilayah ekowisata, termasuk di Oesapa Barat.
Ekowisata merupakan bentuk wisata di mana alam dijadikan sebagai tujuan utama dalam rekreasi.
Menurut GMKI, ekowisata seharusnya menekankan tiga hal penting, yakni pelestarian lingkungan, pemberdayaan masyarakat lokal, dan pembelajaran ekologis bagi wisatawan.
Namun, penumpukan sampah menjadi penghambat utama dalam pengembangan potensi tersebut.
GMKI menilai sampah masih menjadi persoalan serius yang menghambat berbagai aspek, mulai dari daya tarik wisata, kesehatan lingkungan, hingga pemberdayaan masyarakat lokal.
Karena itu, “pemerintah perlu lebih konsen dan hadir dengan kebijakan serta aksi yang terukur.”

Andraviani F.U. Laiya berkata, GMKI percaya bahwa “iman yang hidup harus diwujudkan dalam tindakan yang nyata, termasuk dalam hal menjaga ciptaan Tuhan.”
Ia menegaskan pihaknya berkomitmen untuk terus menyelenggarakan aksi-aksi serupa secara berkala dan mendorong sinergi antara komunitas, lembaga keumatan, perguruan tinggi, pemerintah, dan masyarakat dalam menjaga lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Ia juga berharap agar momentum tersebut menjadi pengingat bersama bahwa menjaga lingkungan bukan hanya tugas komunitas atau LSM, tetapi juga tanggung jawab kolektif antara masyarakat dan pemerintah.
Editor: Herry Kabut