Belajar dari Kompas dan Tempo, Peneliti Soroti Pentingnya Media Adaptif di tengah Disrupsi Digital

Ignatius Haryanto Djoewanto menjadikan dua media nasional tersebut sebagai topik kajian untuk disertasinya

Floresa.co – Adaptif sekaligus tetap menjaga agar relevan dengan kepentingan publik menjadi tantangan bagi industri media di tengah era disrupsi digital, kata akademisi sekaligus peneliti media.

Belajar dari Kompas dan Tempo, Ignatius Haryanto Djoewanto, dosen di Universitas Multimedia Nusantara menyatakan kedua media nasional itu yang dulunya hanya media cetak mampu bertahan di tengah disrupsi media, ekses dari masifnya perkembangan teknologi dan informasi.

“Transformasi digital perlu dilakukan untuk menyelamatkan masa depan organisasi dan membuatnya tetap relevan bagi para audiensnya,” katanya.

Ia meneliti dan mengkaji disrupsi keduanya dalam disertasi “Disrupsi Digital, Journalistic Field [Arena Jurnalistik] dan Transformative Capital di Kompas dan Tempo [1995-2020].” 

Disertasi itu untuk menyelesaikan studi doktoral Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia.

Ignatius yang berbicara dalam diskusi di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta pada 20 Juli berkata, ia memilih Kompas dan Tempo karena memiliki sejarah panjang, mengalami represi pada masa Orde Baru dan sesudahnya menjadi media pemimpin pasar pada era media cetak.

Saat disrupsi digital terjadi, keduanya juga dinilai mampu menyesuaikan diri menjadi media digital.

Disertasi itu, kata Ignatius, ingin menyoroti pentingnya media bertahan dan melakukan penyesuaian dengan lingkungan yang baru di era disrupsi, yang ditandai dengan sejumlah gejala, termasuk pendistribusian konten yang memanfaatkan perusahaan platform.

Upaya Adaptasi Kompas dan Tempo 

Dengan menggunakan konsep “arena jurnalistik” yang digagas sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, penelitiannya fokus melihat upaya kedua media mengatasi disrupsi.

Merujuk Bourdieu, Ignatius berkata, arena merupakan suatu tempat di mana semua kekuatan mengambil posisi dan saling memiliki kepentingan merebut kekuasaan, baik yang ingin mempertahankan maupun yang hendak mengubah struktur kekuasaan yang ada. 

Sementara arena jurnalistik menggambarkan praktik tarik-menarik kekuasaan dalam dunia jurnalistik, termasuk melihat otonomi media sebagai tempat jurnalis bekerja.

Dengan merujuk pada empat bentuk modal yang digagas Bourdieu, yaitu modal ekonomi, budaya, sosial dan simbolik, Ignatius kemudian mengembangkan konsep modal transformatif yang menjadi temuan baru penelitiannya. 

Modal transformatif, katanya, mengacu pada potensi atau kemampuan yang dimiliki sebuah organisasi media sebagai syarat pendukung keberhasilan melakukan transformasi dari “era lama sebagai media analog menuju era baru sebagai media digital.”

Ignatius mengatakan arena jurnalistik Kompas dan Tempo pada masa Orde Baru mencakup beberapa pemangku kepentingan media, seperti pemerintah, militer, audiens, partai politik, oposisi dan pengiklan. 

Akan tetapi, partai politik, audiens dan pengiklan tidak menjadi penentu utama karena peran pemerintah dan militer lebih dominan dan media sering mendapat represi.

Berbeda dengan masa Orde Baru, katanya, di era digital, media sosial, media daring dan platform digital raksasa menjadi stakeholder baru yang muncul.

Meski demikian, tetap ada kelompok kepentingan yang bertahan, seperti audiens, pengiklan, oposisi politik dan pemerintah, kendati dengan kekuasaan yang berbeda. 

“Dalam situasi sekarang, platform digital raksasa dan media sosial boleh dikatakan menjadi penentu utama,” katanya.

Transformasi ala Kompas

Ignatius mengatakan Kompas sebenarnya sudah membuat versi daring pada 1995, lalu membuat Kompas Cyber Media tiga tahun kemudian. 

Awalnya Kompas hanya memindahkan konten dari koran ke media daring.

Keberhasilan Kompas sebagai media cetak, katanya, membuatnya terlalu percaya diri sehingga menganggap media daring sebagai jurnalisme kelas dua. 

Pada saat yang sama, media cetak Kompas masih mengalami kejayaan dengan pengiklan yang melimpah dan pelanggan yang banyak. 

Pemilik Kompas, Jakob Oetama juga takut jika “kemunculan media online akan menggerus media cetak.” 

Ignatius mengatakan Kompas baru memiliki media online sendiri,  Kompas.id pada 2017, yang dipelopori Sutta Dharmasaputra. 

Namun, para senior Kompas menganggap gebrakan itu sebagai bentuk “pengkhianatan” terhadap media cetak. 

Oleh karena itu, sejumlah pertemuan digelar secara diam-diam untuk menghindari cercaan dari para senior. 

“Namun, wabah Covid-19 memberikan dampak pada penghasilan Kompas dan memaksa peralihan lebih cepat ke arah digitalisasi,” katanya.

Ignatius mengatakan Kompas.com dan Harian Kompas adalah dua entitas terpisah, berbeda ruang redaksi serta visinya dalam pemberitaan. 

Namun, khalayak umum tak sepenuhnya paham akan pembedaan ini sehingga berita yang muncul di Kompas.com dan mendapat kritik dikira sebagai bagian dari Harian Kompas.

Transformasi Tempo

Ketika dibredel pada Juni 1994, Tempo mencari alternatif dengan  menjadi media daring, lewat  Tempo Interaktif yang dimulai setahun pasca pembredelan.

Akan tetapi, katanya, Tempo menganggap media daring lebih inferior daripada media cetak. 

Ia berkata Tempo diterbitkan kembali pada Oktober 1998 dan Tempo Interaktif dilekatkan pada majalah. 

Kepercayaan diri yang tinggi pada media cetak sampai pada 2013, kata dia, membuat Tempo lambat beradaptasi dengan perkembangan digital. 

“Digitalisasi dilakukan dengan setengah-setengah. Tempo pun awalnya tak memiliki desain yang komprehensif akan jalan digitalisasi yang akan ditempuh,” katanya.

Ignatius mengatakan jurnalis Tempo, Wahyu Dhyatmika, memiliki pengetahuan yang lebih lengkap terkait dengan perkembangan media digital saat mengambil Nieman Fellowship di Universitas Harvard pada 2014-2015.

Ketika Wahyu kembali dari Harvard, kata dia, “barulah pemimpin Tempo menerima usulan melakukan digitalisasi.” 

Ia berkata, Tempo sebenarnya mempunyai kesempatan memulai digitalisasi lebih awal, andai menerima usulan Karaniya Dharmasaputra pada 2007.

Lantaran pada saat itu kondisi media cetak masih kuat, maka usulan itu tidak diterima karena “model bisnis yang belum jelas.” 

“Baru pada 2019 Tempo melakukan rapat kerja dengan fokus pada transformasi digital,” katanya.  

Inovasi 

Ignatius menemukan beberapa inovasi serta tantangan yang dihadapi oleh Kompas maupun Tempo

Kompas melakukan inovasi seperti menggunakan “silo” sebagai sistem manajemen konten untuk mempermudah pengelolaan.

Silo adalah pendekatan dalam struktur dan organisasi konten pada situs web atau blog yang bertujuan untuk meningkatkan Search Engine Optimization atau SEO

Hal ini memudahkan pengguna dan mesin pencari untuk memahami topik yang dibahas di situs tersebut.

Inovasi lain yang dilakukan Kompas adalah penggunaan chartbeat untuk mengukur kinerja suatu berita dan respons audiens.

Kompas, katanya, juga memunculkan sejumlah profesi baru, seperti videographer, video editor, data scientist, data analyst, infographer, spesialis media sosial dan tim teknologi informasi. 

“Teknologi dan informasi menjadi bagian yang melekat dalam penyediaan dan penyebaran konten,” katanya. 

Ignatius mengatakan Kompas juga menyediakan divisi khusus yang menangani audiens, pengembangan jurnalisme data dan investigasi serta pengembangan Non Fungible Token.

Sementara Tempo memperkenalkan penggunaan jurnalisme data yang dimulai dengan menjadi bagian dari International Consortium for Investigative Journalism saat membongkar skandal Panama Papers pada 2016.

Tempo juga menggunakan sejumlah elemen baru dalam liputan jurnalistik, di antaranya infografis statis dan interaktif, board games, peningkatan penggunaan media sosial, kolaborasi liputan dengan sejumlah media dalam dan luar negeri dan penggunaan SEO untuk mengukur keterbacaan suatu konten. 

Tempo, katanya, juga berfokus pada kegiatan yang mengaitkan audiens, penggunaan robot seperti tara atau piano untuk memetakan para penyuka brand Tempo, pembuatan aplikasi untuk membaca majalah, mengganti format PDF yang kerap disalahgunakan karena disebarkan secara gratis kepada berbagai pihak.

Selain itu, Tempo juga memperkenalkan Tempo Witness sebagai kanal jurnalisme warga dan “Tempo Media Lab” untuk menguji produk-produk teknologi baru yang relevan untuk jurnalisme, serta membuat konten cek fakta dan kanal data.

Ignatius Haryanto Djoewanto saat berbicara dalam diskusi yang digelar di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta pada 20 Juli. (Dokumentasi Vansianus Masir)

Tantangan

Kedua media tetap menghadapi tantangan dalam upaya transformasi ini. 

Ignatius menyoroti transformasi keduanya yang telat dimulai, tidak dihasilkan dari suatu upaya sistematis merespons digitalisasi, dan blueprint yang kurang jelas.

Dampaknya, “jurnalis madya dan jurnalis baru terkadang bingung melihat digitalisasi itu.”

Tantangan lain adalah adanya perbedaan kultur antargenerasi jurnalis, yakni jurnalis yang merupakan digital migrant dengan jurnalis yang merupakan digital natives.

Selain itu, produksi konten harus mengikuti rumus yang telah ada yaitu memenuhi standar SEO dan menghasilkan pembaca yang banyak, sehingga pada akhirnya menjadikan pembaca menjadi pelanggan.

Tantangan lain, katanya, redaktur harus menyesuaikan diri dengan sistem manajemen konten yang baru dan sangat bersifat teknis.

Ignatius juga menyoroti persaingan tinggi antarmedia.

“Banyak penyedia konten media lain yang bersaing meraih audiens, misalnya talkshow yang dikelola politisi, mantan jurnalis,” katanya.

Khusus untuk Tempo, tantangan lain adalah jurnalisme sastrawi yang menjadi keunggulannya bisa terhapus dengan rumus SEO dan jurnalisme investigasi kalah dengan berita soal artis.

Di sisi lain, tantangan juga muncul berhadapan dengan perusahaan platform raksasa yang mendominasi pendistribusian konten media, hal yang membuat Koran Tempo akhirnya tutup pada akhir 2020.

Ignatius juga menyinggung model serangan terhadap media itu, yang secara politis berbeda dengan era Orde Baru. 

Sekarang, “bisa dilakukan dengan menyerang server Tempo, mem-bully di media sosial, hingga memberikan rating 0 atau 1 dalam aplikasi yang tersedia dari para penyedia.”

Jaga Kepercayaan Publik

Ignatius mengatakan Kompas dan Tempo memiliki kapital transformatif yang masih akan terus dikembangkan untuk mengejar ketertinggalan, kendati “tidak dilakukan dengan sempurna.”

Kapital transformatif itu tercermin dalam praktik, visi dan ekosistem jurnalistik yang berubah, melakukan pengukuran data.

Kedua media itu, katanya, juga berusaha untuk menyesuaikan diri, termasuk ketika menyodorkan alternatif untuk pembaca yang harus membayar agar bisa membaca berita. 

“Namun, belum saatnya menyebutkan apakah mereka berhasil atau tidak melakukannya,” katanya.

Indikator keberhasilan, jelasnya, pada kemampuan keduanya “meraih audiens yang besar dan jumlah pemasukan yang sama dengan media pradigital.”

Ignatius berkata, disertasinya menunjukkan ada sinyal yang kuat bahwa kualitas jurnalistik terancam akan menurun ketika masuk dalam transformasi digital, karena konten akan dilihat dari sisi jumlah audiensnya.

Kondisi itu, kata dia, lebih menguntungkan media yang mempublikasikan berita yang sensasional, ketimbang jurnalisme investigasi atau gaya penulisan ala jurnalisme sastrawi.

Di sisi lain, Ignatius mengatakan industri media, baik lokal pun nasional harus memanfaatkan kemungkinan untuk menghasilkan informasi yang sedemikian spesifik dan dibutuhkan atau relevan buat publik. 

Media lokal, kata dia, menerima banyak kritik karena mengambil terlalu banyak isu nasional untuk ditampilkan ke publik, sehingga bagi masyarakat lokal tidak relevan.

“Masyarakat ingin tahu yang terjadi di sekitarnya. Kalau mau mengetahui isu nasional, akses saja media nasional, tetapi media lokal perlu lebih banyak mengangkat  isu-isu lokal,” katanya.

Di tengah dinamika ini, ia tetap mengingatkan pentingnya media, baik nasional maupun lokal, menjaga kepercayaan publik.

“Saya tetap percaya bahwa, masyarakat yang demokratis masih membutuhkan media yang bisa dipercaya. Apabila media yang dipercaya habis, apa kabar demokrasi kita nantinya?” 

Vansianus Masir merupakan Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta.

Editor: Ryan Dagur

Artikel ini terbit di halaman khusus KoLiterAksi. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pemerhati pendidikan ataupun masyarakat umum dan tertarik menulis di sini, silahkan kirimi kami artikel. Ketentuannya bisa dicek dengan klik di sini!

Silahkan gabung juga di Grup WhatsApp KoLiterAksi, tempat kami berbagi informasi-informasi terbaru. Kawan-kawan bisa langsung klik di sini.

Artikel Terbaru

Banyak Dibaca

Baca Juga Artikel Lainnya