Melestarikan Tari Vera, Menjaga Warisan Peradaban Etnik Rongga di Manggarai Timur

SDK Wae Poang menjadikan upaya pelestarian tari ini sebagai materi Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila

Di Kabupaten Manggarai Timur terdapat etnik Rongga. Mereka tinggal berdampingan dengan etnik Kolor atau Wae Rana. Sebaran etnik Rongga meliputi beberapa kampung di Kelurahan Tana Rata, Kelurahan Watu Nggene, Desa Bamo dan Desa Komba.

Etnik Rongga memiliki salah satu warisan leluhur di bidang seni, yakni Tari Vera.

Dalam Bahasa Rongga, vera berasal dari kata pera, artinya mempertunjukkan, memperlihatkan atau memberitahukan. Istilah vera berarti menampilkan dengan cara menari, sembari bernyanyi dengan menggunakan Bahasa Rongga.

Di dalam buku Jendela Bahasa, Sastra, dan Budaya Etnik Rongga (2016:28), Ni Wayan Sumitri menulis, bila sesuai dengan konteksnya, Tari Vera dibagi menjadi dua, yaitu vera sara jawa dan vera haimelo.

Vera Sara Jawa

Vera sara jawa disebut vera sedih. Tari ini hanya dapat dipentaskan saat kematian orang-orang tertentu, seperti kepala suku.

Ketika para penari beraksi, yang dikisahkan lewat tarian adalah tentang kebajikan, kebaikan dan keberhasilan yang dicapai selama masa hidup almarhum.

Tari vera sara jawa hanya dapat dilakukan di halaman rumah adat selama empat hari (putu lelu) dan di kuburan. Pementasan selama empat hari ini dikenal dengan sebutan vera maki polo atau vera nggili rate.

Pertunjukan vera sara jawa dilakukan dengan gerakan kaki ke arah kiri sebanyak tujuh kali. Tujuannya agar setan tidak mengganggu keluarga yang ditinggalkan.

Selain itu, tarian ini juga bertujuan agar semua dosa dan kesalahan yang dibuat almarhum semasa hidup tak terwarisi secara turun-temurun kepada semua anggota keluarga yang ditinggalkan.

Selaras dengan tujuannya, vera maki polo disebut sebagai vera pemurnian diri bagi semua anggota keluarga yang ditinggalkan oleh almarhum.

Dalam praktiknya, tari vera sara jawa juga dapat dipentaskan untuk orang biasa dalam etnik Rongga. Namun hanya dapat dilaksanakan untuk orang yang meninggal saat berumur 100 tahun atau lebih. Itupun tergantung kesepakatan keluarga besar dari almarhum.

Vera Haimelo

Sementara vera haimelo, yang juga disebut vera gembira, dilaksanakan dengan tujuan menyampaikan ucapan syukur kepada Tuhan dan roh leluhur atas semua penyelenggaraan dalam kehidupan warga setempat.

Vera haimelo juga dibagi dalam beberapa jenis, yakni vera saju, vera dheke ra’a, vera dheke sa’o, vera gha’u gha’a dan vera mbuku sa’o.

Dari lima jenis ini, tidak semuanya dapat ditampilkan di tempat sembarangan, apalagi dengan tujuan untuk bersenang-senang.

Pementasannya tetap mempertimbangkan maksud dan tujuannya.

Hanya vera gha’u gha’a  yang bisa ditonton secara bebas oleh masyarakat umum.  Bentuk syair yang digunakan juga tidak bersifat sakral.

Pertunjukkan vera gha’u gha’a lazimnya diadakan untuk penyambutan tamu, pelantikan pejabat atau peresmian gedung baru.

Tari vera gha’u gha’a tidak terikat pada urutan tindakan upacara adat tertentu, seperti halnya tari vera sara jawa.

Terancam Punah, Sekolah Bergerak Melestarikannya

Tari Vera kini terancam punah ketika transfer pengetahuan kepada generasi muda tidak terjadi.

Hal inilah yang mendorong satuan pendidikan SDK Wae Poang, yang berada di tengah etnik Rongga, untuk bergerak.

Semangat Merdeka Belajar lewat Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila [P5] menjadi ruang yang memberi kesempatan kepada lembaga untuk bergerak menanamkan rasa cinta terhadap warisan leluhur dalam diri peserta didik.

Di sini, lembaga mengambil peran untuk tak menjadi menara gading, menjaga jarak dengan masyarakat. Sebaliknya, mengambil posisi untuk dekat dengan lingkungan sosial.

SDK Wae Poang mengambil jalan untuk peka dengan situasi  sosial.

Karena itu, pada semester ganjil tahun pelajaran 2022/2023 lalu, SDK Wae Poang memilih P5  tema kearifan lokal, dengan topik tentang Pelestarian Tari Vera.

Pertimbangannya bahwa lembaga punya tanggung jawab moral untuk melestarikan warisan budaya tak benda tersebut. Apalagi Tari Vera tidak sembarangan ditampilkan dalam komunitas kampung, hanya menunggu acara-acara sakral dalam rumah adat. 

Pihak sekolah mulai bergerak dengan melakukan rapat internal melaksanakan proyek, menyusun modul dan menentukan jadwal pelaksanaan.

Selanjutnya, sekolah mengadakan rapat bersama orang tua murid, dengan agenda membahas rencana proyek, hingga pertimbangan dan analisis sesuai konteks budaya dalam kehidupan etnik Rongga.

Saat rapat dengan orang tua murid pada 13 Agustus 2022, mereka menyambutnya dengan antusias. Mereka mengaku memiliki kerisauan yang sama dengan lembaga pendidikan karena tarian vera terancam punah.

Karena itu, semuanya sepakat bahwa  sekolah dan masyarakat harus bergerak bersama. Kesepakatan bersama ini menjadi titik awal bagi satuan pendidikan untuk melaksanakan P5.

Hasil rapat dengan orangtua disepakati bila Tari Vera yang dapat dipentaskan di sekolah adalah jenis vera haimelo, khususnya vera gha’u gha’a.

Pelaksanaan projek diputuskan untuk diadakan setiap akhir pekan sepanjang September- November 2022.

Penentuan narasumber juga berdasarkan hasil rapat dengan orang tua. Nama Fransiskus Fua dan Agnes Ndakis yang dipilih. Pasangan suami isteri ini berasal dari garis keturunan Suku Motu, salah satu klan dalam etnik Rongga.

Sebelum berbagi praktik baik di sekolah, mereka mengundang pihak sekolah untuk melakukan ritual di tempat tinggal mereka. Ritual ini dilaksanakan pada Jumat, 9 September 2022, sebelum keesokan harinya melaksanakan proyek di sekolah. 

Dalam penuturan Fransiskus Fua, ritual adat yang dinamakan beti tuak ini adalah bentuk pemberitahuan secara adat pada arwah nenek moyang bahwa ia dan isterinya hendak melatih Tari Vera untuk siswa-siswi SDK Wae Poang.

“Tujuannya supaya tidak ada kendala selama melaksanakan kegiatan di sekolah,” jelasnya pada saat itu.

Keesokan harinya, 10 September 2022, saat pelaksanaan proyek di sekolah, kepala sekolah membuka kegiatan dengan menandaskan bahwa sekolah mempunyai tanggung jawab untuk melestarikan warisan leluhur etnik Rongga.

“Harapannya proyek ini berdampak baik untuk kita ke depannya,” jelasnya.

Kegiatan dimulai dengan penjelasan narasumber tentang Tari Vera dan jenis-jenisnya.  

Kegiatan pekan kedua dilaksanakan pada 17 September 2022. Pada awal kegiatan, narasumber terlebih dahulu menggali sejarah sekolah.

Salah satu narasumber kemudian menulis syair vera sesuai sejarah pendirian SDK Wae Poang. Anak-anak kemudian diminta membaca  bersama syair itu, sebagai berikut:

Syair 1

Bhisa rzhi’a embu…….kita o…embu kita…. (kebaikan hati pemilik tanah)

Na’a tana maki ana…..e….. (menyerahkan tanah)

Tei tere gedung merzhe……(untuk membangun sekolah)

Syair 2 :

Bhisa rzhi’a Fonsiak…..a…..a… Fonsiak  (atas jasa Pater Fonsiak)

Rzhele hiwa enam lima…. (ditahun 1965)

Wae Poang manga sekolah… (didirikan SDK Wae Poang)

Syair 3:

One hiwa enam……. lima a…a… enam lima  (Di tahun 1965)

Wae Poang manga sekolah e….e….. (Didirikan sekolah di Wae Poang)

Guru ata……puu u… ata puu ……. (Guru pertama yang mengajar)

Nda’u Ema Alo Mbiru le…… (Bapak Alo Mbiru)

Syair 4 :

Ine ema guru…… ema guru…..(Bapak ibu guru)

Mboja ndawi rzhele olo….. (setiap hari berdiri di depan kelas)

Ramba po ana woso……(untuk mengajar dan mendidik anak-anak)

Setelah menuntaskan penulisan syair, agenda kegiatan pada pekan selanjutnya sampai sebelum pelaksanaan gelar karya adalah melatih Tari Vera.

Seluruh peserta didik, Kelas I  sampai Kelas IV dibagi ke dalam empat kelompok. Mereka diarahkan oleh narasumber untuk melatih gerak dasar Tari Vera.

Setelah dua bulan melaksanakan proyek, pihak sekolah, didukung oleh orang tua murid melaksanakan gelar karya. Agenda puncak dilaksanakan pada 13 Januari 2023.

Tema gelar karya adalah melestarikan Seni Budaya Rongga melalui Tarian Vera. Subtemanya adalah Pera Vera Ramba Pia one Embu Ana, Nunu Vera Ramba Welu One Ana Embu (Melatih Vera kepada Anak Cucu, supaya Tetap Lestari Sampai pada Anak Cucu).

Perhelatan gelar karya turut dihadiri oleh orang tua murid. Mereka memberikan dukungan moril kepada buah hati mereka.

Dukungan Orang Tua

Respons orang tua murid begitu antusias karena ada di antara mereka yang belum pernah menyaksikan tari tersebut.

Usai sekolah melaksanakan rangkaian agenda proyek ini, sekolah melihat dampaknya yang sangat positif. Anak-anak mulai lancar membawakan Tari Vera.

Setiap akhir pekan pasca acara gelar karya itu, siswa-siswi SDK Wae Poang diberi kesempatan untuk memeragakan Tari Vera. Mereka begitu lincah memeragakannya, sambil menyanyikan syair-syairnya.

Pelaksanaan gelar karya Tari Vera pada 13 Januari 2023 di SDK Wae Poang.

Murid Kelas IV menjadi narasumber untuk berbagi praktik baik dengan siswa dari kelas lain. Metode pengimbasannya dilakukan dengan pola tutor sebaya, yaitu anak-anak Kelas IV yang memimpin Tari Vera, diikuti oleh siswa yang lain.

Pola ini cukup efektif. Anak-anak mulai bisa memeragakan tariannya dengan cukup baik. 

Orang tua mengaku haru dengan proyek ini. Mereka merasa kekayaan budayanya dihargai oleh sekolah.

Pada akhirnya, pengakuan ini memberi harapan bagi lembaga bahwa jalan yang telah dirintis ini sudah benar.

Semoga sekolah-sekolah lain yang ada di wilayah etnik Rongga turut melestarikan Tari Vera, tidak hanya SDK Wae Poang.

Aleksius Frederikus Jumpar adalah guru di SDI Muku Jawa, Manggarai Timur, aktif di Komunitas Tabeite yang fokus pada gerakan literasi akar rumput. Program komunitas ini selain mengelola website komunitas Tabeite.com adalah berbagi praktik menulis lewat gerakan Tabeite Goes To School.

Artikel ini terbit di halaman khusus KoLiterAksi. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pemerhati pendidikan ataupun masyarakat umum dan tertarik menulis di sini, silahkan kirimi kami artikel. Ketentuannya bisa dicek dengan klik di sini!

Artikel Terbaru

Baca Juga Artikel Lainnya