Dari PPDB ke SPMB: Apakah Perubahan Regulasi Mampu Jadi Solusi Pendidikan?

Perubahan regulasi terkait penerimaan murid baru tidak mengatasi masalah utama disparitas mutu pendidikan

Pada setiap awal tahun pelajaran, selalu terjadi kisruh dalam penerimaan siswa baru pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Pendaftaran siswa baru tidak pernah sepi dari polemik.

Setelah menjabat sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah [Mendikdasmen], Abdul Mu’ti melempar wacana untuk mengoreksi kebijakan pendidikan sebelumnya yang menimbulkan polemik. Salah satunya adalah sistem Penerimaan Peserta Didik Baru [PPDB] yang baru-baru ini resmi berubah menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru [SPMB].

Dasarnya adalah proses seleksi pendaftaran siswa baru selalu menelan korban. Ada anak yang tersingkir karena terganjal aturan, ada juga yang sengaja disingkirkan karena permainan terhadap aturan penerimaan siswa baru itu.

Baik mereka yang tersingkir maupun yang sengaja disingkirkan sama-sama merasakan ketidakadilan. Ketika orang mengalami ketidakadilan, suara protes pasti akan bermunculan.

Problem PPBD

Pangkal soal ribut-ribut peneriman siswa baru adalah, pertama, daya tampung sekolah negeri tidak mencukupi. Kuota penerimaan siswa baru tidak sebanding dengan jumlah siswa yang mendaftar. Animo siswa yang mendaftar selalu melebihi kapasitas kursi sekolah yang tersedia.

Secara nasional, daya tampung sekolah negeri untuk jenjang SD baru sekitar 70 persen, SMP sekitar 60 persen, SMA berkisar 60 persen, dan SMK sekitar 40 persen [Kompas.id, 25/05/2021]. Daya tampung sekolah yang tidak mencukupi dengan jumlah siswa yang mendaftar membuat tidak semua anak diterima di sekolah negeri.

Kedua, perburuan sekolah berkualitas. Orang tua siswa tentu memiliki pertimbangan tertentu dalam memilih sekolah, salah satunya adalah mutu sekolah. Sekolah bermutu adalah sekolah dengan sarana prasarana yang memadai dengan tenaga guru yang profesional. Setiap awal tahun pelajaran, jamak terjadi orang tua dan siswa mengincar sekolah berlabel favorit.

Ketiga, di tengah persaingan merebut kursi sekolah berkualitas, kerap terjadi manipulasi data kependudukan oleh orang tua siswa. Data Kartu Keluarga [KK] dimanipulasi untuk mengakali aturan penerimaan siswa baru. Modusnya, anak dititipkan dalam KK kerabat, atau dengan mengontrak di sekitar sekolah. Ada juga yang membuat dokumen KK digital palsu [Kompas.id, 25/06/2024].

Keempat, sekolah juga seringkali menghadapi intervensi dari pejabat atau politisi dalam proses penerimaan siswa baru. Investigasi tim Kompas menemukan fenomena siswa titipan lewat ”jalur siluman” di sejumlah SMA negeri di Banten, Bali, dan Kepulaun Riau. Jalur siluman adalah istilah masuk sekolah negeri lewat desakan permintaan orang yang memiliki kuasa tertentu, seperti anggota legislatif, aparat, pejabat daerah, aktivis LSM hingga wartawan [Kompas.id, 23/06/2024].

Menghadapi intervensi pejabat atau politisi ini, sekolah tidak berdaya. Raja-raja kecil ini menggunakan jabatan dan kekuasaannya untuk mengintervensi penerimaan siswa baru yang menitip anak atau keluarga mereka. Guru yang menolak tunduk pada intervensi raja-raja kecil ini akan menerima konsekuensi serius. Bisa saja jabatannya dicopot atau ”dibuang” ke sekolah terpencil.

Jalur-jalur PPDB

Mengatasi kisruh pada setiap awal tahun pelajaran, pemerintah mengeluarkan regulasi yang menjadi panduan pendaftaran siswa baru. Harapannya agar prosesnya dilakukan secara objektif, akuntabel, transparan, tidak diskriminatif dan memenuhi rasa keadilan. 

Aturan yang menjadi acuan penerimaan siswa baru diatur dalam Permendikbud tentang PPDB yang sudah berlaku sejak 2017. Dengan itu pendaftaran siswa baru dilakukan melalui empat jalur, yaitu zonasi, afirmasi, perpindahan tugas orang tua dan prestasi.

Berdasarkan Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021, jalur pendaftaran ditetapkan berdasarkan daya tampung sekolah dengan pembagian sebagai berikut: jalur zonasi pada jenjang SD sebesar 70 persen, SMP dan SMA sebesar 50 persen. Sementara jalur afirmasi sebesar 15 persen dan jalur perpindahan tugas orang tua sebesar lima persen. Apabila masih terdapat sisa kuota, maka dapat dibuka jalur prestasi.

Jalur zonasi dihitung berdasarkan jarak tempat tinggal siswa, yang penetapannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan prinsip mendekatkan tempat tinggal peserta didik dengan sekolah. Domisili peserta didik dilihat berdasarkan alamat yang tertera pada Kartu Keluarga selama satu tahun terakhir. 

Sementara itu, jalur afirmasi diperuntukkan bagi murid dari keluarga kurang mampu. Jalur perpindahan tugas orang tua diperuntukkan bagi anak yang mengikuti orang tua yang pindah tempat tugas. Jalur prestasi diperuntukkan bagi siswa yang mempunyai prestasi akademik maupun non-akademik. 

Pembagian jalur PPDB ini dimaksud memberikan kesempatan yang adil bagi semua anak untuk mendapatkan layanan pendidikan yang merata dan berkualitas. Lebih dari itu, pembagian persentase lebih besar untuk jalur zonasi ini merupakan upaya pemerintah dalam hal pemerataan kualitas pendidikan di tanah air.

Tujuan lainnya adalah agar para calon siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata dalam hal akademik akan menyebar atau tidak terkumpul di beberapa sekolah yang sering disebut masyarakat sebagai sekolah-sekolah unggulan. Anak yang kurang mampu secara ekonomi maupun secara akademik tetap dapat mengakses sekolah favorit yang selama ini diperebutkan [Majalah Jendela Pendidikan dan Kebudayaan, Edisi XII, Juli 2017].

Pergantian Regulasi Tak Atasi Masalah 

Meski memiliki tujuan luhur, implementasi PPDB masih jauh dari ideal ketika menghadapi problem dalam realitas pembumiannya. Persoalan inilah yang ingin diatasi Mendikdasmen, Abdul Mu’ti lewat perubahan regulasi yaitu Sistem Penerimaan Murid Baru [SPMB].

Hal yang tampak paling berubah dalam regulasi baru ini adalah perubahan jalur zonasi dengan jalur domisili. Pergantian istilah ini membuat kita bingung. Apa yang dimaksud dengan domisili? Bila domisili adalah tempat tinggal siswa, bukankah hal ini sama saja dengan zonasi?

Perubahan lain adalah kata ‘peserta didik’ diganti dengan ‘murid’. Menurut staf ahli Mendikdasmen, Briyanto, kata ‘murid’ lebih familiar dibandingkan dengan ‘peserta didik.’ Pertanyaannya, apakah pergantian regulasi ini mampu mengurai kekisruhan PPDB selama ini? Dengan mengutak-atik istilah teknis seperti ini, apakah persoalan pendaftaran siswa baru akan teratasi? Sebelum semuanya terjawab, kita perlu bersikap skeptis.

Kisruh PPDB bukan karena istilah teknis yang membuat masyarakat atau orang tua bingung. Karena itu perbaikan seharusnya menyasar inti permasalahan yang dihadapi setiap awal tahun pelajaran.

Untuk menjawab skeptisisme publik, pemerintah harus memastikan tidak boleh ada pihak manapun yang memanfaatkan jabatan dan kekuasaan untuk mengintervensi proses seleksi murid baru. Juga sanksi yang tegas terhadap siapa saja yang memanipulasi data diri demi mengakali aturan penerimaan murid baru. 

Isu krusial lain yang harus serius dibenahi adalah pemerataan pelayanan pendidikan, baik dari sisi akses maupun kualitas lembaga sekolah. Pemerintah memang sudah mendekatkan layanan pendidikan dengan membuka sekolah negeri hingga ke desa-desa. Sayangnya, hal ini tidak disertai dengan penyediaan fasilitas dan sarana prasarana yang memadai. 

Kasarnya, pemerintah hanya membuka sekolah baru tetapi tidak mampu membangun gedung sekolah yang layak, menyediakan tenaga guru yang profesional dan membiayai operasional sekolah secara memadai. Banyak sekolah negeri bagai hidup enggan mati pun tidak mau.

Alih-alih menciptakan pemerataan, kondisi ini menyebabkan disparitas mutu antarsekolah dan  antarwilayah. Kewajiban pemerintah adalah menjembatani jurang disparitas mutu ini. Dengan demikian, ide pemerintahan Prabowo membangun sekolah unggulan garuda dan sekolah rakyat patut dipertanyakan.

Pembangunan sekolah seperti ini hanya menciptakan eksklusivitas bagi kelompok atau golongan tertentu. Sebaiknya pemerintah fokus membenahi sekolah negeri yang sudah ada dan memperkuat sekolah swasta demi menghadirkan pendidikan yang inklusif. Dengan kata lain, sekolah yang bisa dijangkau semua lapisan masyarakat. 

Tanpa mengatasi substansi persoalan PPDB, perubahan regulasi hanya sekedar pergantian nomenklatur dan istilah teknis, menunjukkan kesan Mendikdasmen sibuk bekerja tetapi sesungguhnya tidak melakukan apa-apa. 

Itu artinya kita terus berkubang pada masalah yang sama di setiap awal tahun pelajaran. Orang tua siswa akan terus melakukan protes menuntut keadilan dalam pemenuhan haknya akan pendidikan yang baik dan bermutu sebagaimana diamanatkan undang-undang.

Gerardus Kuma merupakan guru di SMPN 3 Wulanggitang, Hewa, Flores Timur

Editor: Anno Susabun

Artikel ini terbit di halaman khusus KoLiterAksi. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pemerhati pendidikan ataupun masyarakat umum dan tertarik menulis di sini, silahkan kirimi kami artikel. Ketentuannya bisa dicek dengan klik di sini!

Silahkan gabung juga di Grup WhatsApp KoLiterAksi, tempat kami berbagi informasi-informasi terbaru. Kawan-kawan bisa langsung klik di sini.

Artikel Terbaru

Banyak Dibaca

Baca Juga Artikel Lainnya