Labuan Bajo, permata eksotis di ujung barat Pulau Flores, menyuguhkan panorama alam yang luar biasa indah dengan gugusan pulau menawan, laut biru sebening kristal, serta habitat alami satwa langka Komodo, reptil purba yang hanya bisa ditemukan di wilayah ini.
Kawasan ini telah ditetapkan pemerintah sebagai salah satu destinasi pariwisata super prioritas, dengan harapan mampu menjadi penggerak ekonomi nasional lewat sektor pariwisata.
Namun, di balik gegap gempita pembangunan dan derasnya aliran modal, muncul jeritan yang makin keras, kerusakan ekologi yang meluas, terpinggirkannya masyarakat adat, dan kekhawatiran generasi muda akan punahnya identitas serta warisan alam mereka.
Pola pembangunan yang berlangsung saat ini menuai banyak kritik karena terlalu fokus pada pertumbuhan ekonomi, sementara dimensi keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial nyaris terabaikan.
Proyek pembangunan hotel mewah, pelabuhan, hingga reklamasi kawasan pesisir kerap mengorbankan hutan bakau, terumbu karang, dan ruang hidup masyarakat pesisir.
Komunitas adat yang sejak lama hidup selaras dengan alam justru diposisikan sebagai penghalang investasi. Padahal, merekalah penjaga sejati kelestarian kawasan jauh sebelum bisnis pariwisata merambah masuk.
Fenomena ini bukan hal baru dalam lanskap pembangunan nasional, namun menjadi sangat tragis ketika terjadi di Labuan Bajo, wilayah yang menjadikan alam sebagai daya tarik utama.
Mendorong pariwisata sambil menghancurkan lingkungan sama saja dengan menghilangkan nilai jual utamanya.
Ketika lanskap alami digantikan dengan bangunan beton dan infrastruktur komersial, maka jiwa dari pariwisata Labuan Bajo itu sendiri perlahan mati.
Sayangnya, pendekatan pembangunan yang cenderung teknokratis dan mengutamakan keuntungan jangka pendek masih mendominasi pengambilan kebijakan di wilayah ini.
Sudah saatnya kita mengadopsi paradigma pembangunan baru yang memandang alam bukan sekadar objek eksploitasi, tetapi sebagai entitas yang perlu dihormati dan dilindungi.
Dalam semangat ini, ajakan untuk melakukan pertobatan ekologis seperti yang disampaikan Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus dalam Surat Gembala Paskah 2025 menjadi sangat relevan.
Pertobatan ekologis bukan sekadar seruan spiritual, tetapi refleksi mendalam tentang cara kita memperlakukan bumi.
Ini merupakan seruan moral dan tindakan nyata untuk berhenti mengeksploitasi, dan mulai merawat bumi dengan kesadaran bahwa pembangunan sejati hanya mungkin jika berjalan seiring dengan pelestarian alam dan keadilan sosial.
Keberhasilan pembangunan seharusnya tidak hanya diukur dari lonjakan jumlah wisatawan atau besarnya nilai investasi, tetapi juga dari sejauh mana masyarakat lokal mengalami peningkatan kesejahteraan, ekosistem tetap terjaga, dan generasi mendatang masih memiliki akses terhadap lingkungan yang sehat dan lestari.
Labuan Bajo tak boleh menjadi catatan kelam dari pembangunan yang abai terhadap masa depan.
Sebaliknya, ia harus menjadi teladan bagaimana investasi dapat beriringan dengan konservasi dan pemberdayaan masyarakat lokal.
Langkah konkret sangat dibutuhkan sebagai evaluasi terhadap proyek-proyek besar yang berpotensi merusak lingkungan, penegakan aturan lingkungan secara tegas, serta pelibatan aktif masyarakat lokal dalam seluruh proses pembangunan.
Hanya dengan cara inilah kita bisa menjaga Labuan Bajo agar tetap menjadi kebanggaan bangsa dan warisan yang lestari bagi anak cucu kita.
Ketika alam berteriak, diam bukanlah pilihan.
Jeritan Labuan Bajo adalah panggilan bagi seluruh bangsa untuk bertobat sehingga mengubah cara berpikir, bertindak dan mulai membangun pariwisata yang berkelanjutan.
Semua ini menjadi jalan agar kita tidak kehilangan yang paling berharga yaitu alam yang lestari dan masyarakat yang hidup selaras dengannya.
Yohanes Brilian Jemadur adalah kader Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Surabaya dan aktif sebagai pengurus Pemuda Katolik Jawa Timur
Editor: Ryan Dagur