Floresa.co – Keluhan seorang wisatawan perempuan di media sosial pada akhir September 2023 tentang tindakan polisi di Polres Manggarai Barat yang menghentikan proses hukum atas kasus dugaan pemerkosaan terhadap dirinya saat berwisata ke Labuan Bajo membuka mata kita semua akan setidaknya dua hal.
Pertama, bahwa kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya semakin sering terjadi di kota pariwisata ini. Kedua, bahwa sekali lagi ada keluhan tentang kinerja pihak kepolisian.
Dua hal ini layak membuat publik khawatir. Sebagaimana diungkap oleh Suster Frederika Tanggu Hana, SSpS, Koordinator Rumah Singgah St. Theresia yang mendampingi perempuan dan anak korban kekerasan di Labuan Bajo, kasus-kasus kekerasan seksual meningkat tajam selama beberapa tahun terakhir.
Pada tahun ini saja, para biarawati di rumah singgah ini menangani 27 kasus kekerasan seksual dan tujuh kasus pemerkosaan.
Suster ini juga bersaksi bahwa proses penanganan kasus pemerkosaan di kepolisian seringkali terbelit-belit sehingga korban menjadi putus asa. “Korban merasa percuma lapor polisi kalau pada akhirnya tidak diproses. Sementara pelakunya dibiarkan berkeliaran di mana-mana,” katanya.
Apa yang diungkap Suster Rita juga dialami oleh korban dugaan pemerkosaan yang akhirnya berbicara di media sosial Twitter [X] dengan harapan mendapat solidaritas publik untuk membuka mata terhadap apa yang terjadi di Labuan Bajo.
Dia mengaku sudah tiga tahun berjuang mendapatkan keadilan sejak peristiwa yang terjadi pada 12 Juni 2020 itu. Namun, usahanya buntu karena Polres Manggarai Barat menghentikan proses hukum.
Korban meyakini bahwa ia adalah korban pemerkosaan. Ia mengaku kehilangan kesadaran saat malam kejadian setelah ikut mengkonsumsi minuman jenis Soju yang dibawa oleh dua pelaku bersama empat orang teman mereka. Keesokan harinya, ketika sadar, korban yang menemukan tanda-tanda kekerasan pada tubuhnya melapor polisi.
Namun, korban mengaku menemukan berbagai kejanggalan sejak awal penanganan kasus ini.
Salah satu misteri yang hendak dicari jawaban oleh korban adalah penyebab ia kehilangan kesadaran saat kejadian. Padahal, ia hanya mengkonsumsi minuman dalam jumlah sedikit. Karena itu, saat menjalani visum et repertum, korban bersikukuh meminta dilakukan tes urin untuk mengetahui kandungan minuman itu.
Namun, polisi yang bertugas menemaninya melakukan visum di Rumah Sakit Umum Daerah Komodo menghalang-halangi tes itu. Tes kemudian dilakukan setelah korban terus memaksa dan membayar sendiri.
Keanehan berlanjut karena pihak rumah sakit tidak menyerahkan hasil tes urin kepada korban. Lebih dari tiga tahun kemudian, yaitu pada Oktober 2023, pihak rumah sakit baru mengirim salinannya kepada korban dengan hasil negatif, setelah korban terus menuntut.
Pihak rumah sakit mengaku telah memberikan hasil tes urin itu kepada polisi dan lupa memberi hasil tes itu kepada korban. Di sisi lain, polisi mengklaim tidak pernah menerima hasil tes tersebut dan menyebut tes urin di luar tanggung jawab mereka. Sayangnya, rumah sakit tidak mau memberi informasi terkait polisi yang menerima hasil itu.
Korban juga tidak melihat keseriusan polisi untuk mencari alat bukti, misalnya polisi tidak melakukan olah tempat kejadian perkara. Korban malah mengumpulkan sendiri botol bekas minuman dan menyerahkannya kepada polisi.
Kejanggalan lain adalah ia baru dapat melihat hasil visum setelah menolak permintaan terduga pelaku melakukan mediasi.
Di sisi lain, polisi kemudian menghentikan kasus ini setelah menyimak keterangan dua terduga pelaku dan empat orang teman mereka yang oleh polisi disebut sebagai saksi. Polisi menyimpulkan bahwa “justru korban yang memaksa pelaku.”
Hal ini membuat korban mengadukan masalah ini kepada Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan [Komnas Perempuan] dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban [LPSK].
Setelah mempertimbangkan aduan korban, Komnas Perempuan telah dua kali mengirim surat kepada Polres Manggarai Barat. Dalam sebuah surat yang dikirim pada Oktober 2020, lembaga negara itu mengatakan kasus ini merupakan pemerkosaan yang dilakukan secara terencana, tidak seperti klaim pelaku dan kesimpulan polisi bahwa hubungan seksual dengan korban atas dasar suka sama suka.
Pemerkosaan, kata Komnas Perempuan, memanfaatkan kondisi korban yang tidak sadarkan diri dan karena itu tidak ada alasan yang meringankan terduga pelaku.
Sementara itu LPSK yang telah melakukan asesmen terhadap kondisi psikologis korban menyatakan bahwa korban masih mengalami trauma berat. Karena itu, dalam sebuah surat pada September 2023, lembaga itu menyatakan pendampingan kepada korban akan dilakukan selama enam bulan.
Kami telah berusaha menelusuri kasus ini. Kami menyimak testimoni korban dan pendapat pengacaranya, meminta keterangan Polres Manggarai Barat serta pihak RSUD Komodo. Kami juga mencermati dokumen-dokumen yang dikeluarkan Komnas Perempuan dan LPSK.
Kami menemukan bahwa kasus yang mandek selama tiga tahun ini menyimpan sejumlah soal krusial yang menjadi ujian bagi profesionalisme Polri dan bagi citra pariwisata di Flores, khususnya Labuan Bajo.
Pertama, dalam penyelidikan awal kasus kekerasan seksual, tugas polisi seharusnya adalah menelusuri keterangan korban dan bersama korban menghimpun alat bukti, bukan mempersulit korban dan membuat kesimpulan hanya berdasarkan informasi pelaku. Seharusnya, polisi mencari alat bukti, seperti mengumpulkan botol minuman, mendukung upaya korban melakukan tes urin sebagai bagian dari upaya melengkapi alat bukti.
Kedua, kesimpulan polisi bahwa “tidak ada pemerkosaan” dan “korban yang memaksa pelaku” adalah prematur karena hanya berdasarkan klaim terduga pelaku. Klaim tersebut seharusnya diuji, bukan diterima begitu saja.
Ketiga, penanganan kasus seperti ini memperlihatkan polisi yang tidak profesional. Korban malah dipersulit, kesaksiannya diabaikan. Hal ini berseberangan dengan kesadaran yang sebetulnya sudah mulai berkembang tentang betapa pentingnya penanganan serius bagi kekerasan seksual, yang tidak bisa disamakan saja dengan penanganan tindak pidana lainnya.
Kelahiran Undang-undang No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah buah dari kesadaran semacam itu. Sayangnya, di level implementasi, Polri justeru melakukan yang sebaliknya.
Keempat, penanganan yang buruk seperti ini hanya akan melanggengkan impunitas bagi para pelaku. Dan di sisi lain, korban kasus ini maupun korban kekerasan seksual lainnya akan semakin terpuruk karena upaya mereka untuk berani bersuara tidak disambut dengan upaya serius aparat penegak hukum untuk menindaklanjutinya.
Penanganan yang buruk hanya akan memberi pesan kepada korban bahwa tidak ada jaminan mendapat keadilan ketika mereka berjuang untuk berani bersuara dan berusaha mengatasi pengalaman traumatik.
Kelima, selain keadilan bagi korban, ada hal lain yang dipertaruhkan di sini, yaitu citra Labuan Bajo sebagai destinasi pariwisata super premium dan peran Polri dalam mempertahankan citra itu. Apakah Labuan Bajo adalah tempat yang aman bagi wisatawan dari kekerasan seksual? Sudahkah polisi bertindak profesional dalam membangun citra itu?
Peran Polri dalam memastikan keamanan bagi wisatawan dari tindak kejahatan seksual harus menjadi prioritas dalam membangun kota Labuan Bajo. Apalagi, kasus wisatawan yang menjadi korban tindakan kejahatan seksual bukan merupakan peristiwa yang pertama kali terjadi. Tahun 2018, kasus pemerkosaan juga dialami oleh seorang turis asing.
Usaha korban untuk mendapat keadilan kini telah menuai perhatian publik. Kinerja kepolisian juga sudah dalam sorotan publik, selain pemantauan lembaga negara lainnya, seperti Komnas Perempuan dan LPSK.
Perhatian dan solidaritas publik penting demi mendesak pihak kepolisian bekerja benar dan profesional serta memberi pesan kepada para pelaku kekerasan seksual bahwa tidak ada toleransi bagi tindakan mereka. Kita tunggu langkah Polri.