Floresa.co – Konflik lahan di Sikka antara warga adat dan korporasi milik Gereja Katolik tak kunjung usai.
Selepas penggusuran sekitar 120 rumah warga adat pada Januari dan delapan warga adat dibui lantaran merusak plang perusahaan, belasan orang kini menghadapi ancaman penjara setelah dilapor ke Polda NTT oleh petinggi perusahaan.
Konflik itu terkait lahan yang diklaim masyarakat adat sebagai milik mereka, namun kemudian diambil oleh Belanda pada masa kolonial sebelum beralih ke Gereja Katolik.
Setelah SK Hak Guna Usaha (HGU) selama 25 tahun berakhir pada 2013, sengketa terus memanas antara Gereja Katolik dan warga Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut-Tana Ai.
Kendati warga terus berjuang mendapat kembali tanah itu, pada 2023, PT Krisrama milik Keuskupan Maumere telah mengantongi SK perpanjangan HGU. Hal itu kemudian menjadi landasan upaya penggusuran rumah dan pemenjaraan warga.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika mengungkapkan pendapatnya terkait status HGU PT Krisrama, minimnya keterbukaan informasi ATR/BPN serta pentingnya kembali ke tujuan awal reforma agraria.
Dominiko Djaga dari Floresa mewawancarai Dewi pada 13 Mei di Maumere.
Berikut petikannya.
PT Krisrama mengklaim telah mengantongi SK pembaruan HGU untuk lahan di Nangahale dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Provinsi NTT pada 28 Agustus 2023. Apa pendapat Anda tentang penerbitan SK tersebut?
Pembaruan HGU atas nama PT Krisrama sebenarnya melanggar hak konstitusional warga Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai.
Kedua suku tersebut sudah lama menempati wilayah tersebut. Tanah itu merupakan wilayah adat kedua suku.
Artinya, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah mengabaikan fakta yuridis dan fakta lapangan.
Dari sisi yuridis, PT Krisrama sudah tidak berhak mendapatkan konsesi HGU. Mengapa? Karena kalau kita mau lihat dari perspektif hukum agraria, mereka sudah menelantarkan tanah.
Penelantaran merupakan indikator bahwa suatu perusahaan tak mampu menjalankan operasi perkebunan mereka.
Kalaupun PT Krisrama punya alas hak, dari perspektif hukum agraria juga tidak memenuhi hak untuk mendapatkan kembali pembaruan HGU.
Harusnya justru proses itu disetop dan kembali menjadi tanah negara. Ketika kembali menjadi tanah negara, artinya tanah itu tak lagi dilekati hak apapun.
Lebih kelirunya lagi, tanah yang HGU-nya diperbarui itu berada di atas wilayah adat.
Berpedoman pada hukum agraria, mestinya ATR/BPN mencabut SK HGU PT Krisrama.
Sementara dari sisi fakta lapangan, ATR/BPN tampak bermuka dua.
Di depan rakyat, mereka kerap beralasan status suatu tanah tidak clear and clean dan masih berkonflik, yang membuatnya tak bisa diberikan ke rakyat.
Bila dalihnya begitu, bagaimana bisa tanah itu tumpang tindih (overlap) antara PT Krisrama dan warga adat?
Langkah ATR/BPN menerbitkan pembaruan HGU menunjukkan adanya pengabaian hak masyarakat adat.
Harusnya sama dong, BPN bilang, ‘eh PT Krisrama ini tidak bisa saya proses, karena tidak clear and clean.’
Ini tidak, malah bermuka dua.
Kepada rakyat bilang tidak clear and clean, tapi kepada PT Krisrama diterbitkan begitu saja.
Apa yang seharusnya dilakukan BPN/ATR?
BPN/ATR harus segera mencabut SK HGU PT Krisrama karena tidak memenuhi aspek yuridis maupun aspek lapangan.
Seharusnya menterinya lihat ke lapangan. HGU yang diberikan oleh BPN/ATR dengan serampangan telah menyebabkan perusahaan seperti PT Krisrama itu melakukan tindak kekerasan, kriminalisasi serta intimidasi kepada masyarakat adat.
Dengan mencabut HGU, wilayah adat kedua suku sangat layak menjadi objek reforma agraria.
Apa maksudnya sangat layak? Hukum telah mengatur demikian. Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria, negara mengakui masyarakat adat sebagai subjek hukum reforma agraria.
Reforma agraria untuk komunitas adat, bukan untuk siapa-siapa. Itu yang selama selama ini dituntut oleh komunitas adat.
Bila pembaruan HGU tak juga dibatalkan, artinya hak konstitusional yang melekat pada warga adat di sana telah hilang.
Ada ritus, pemukiman adat, ada tanah garapan, ada tanah adat yang secara keseluruhan hilang. Di sini, terjadi pelanggaran konstitusional.
Dengan alas hak HGU itu, PT Krisrama menggusur rumah warga pada 22 Januari. Bagaimana Anda melihat hal ini, yang dalam bahasa perusahaan adalah upaya legal untuk “pembersihan” lahan?
Itu artinya reforma agraria tidak dijalankan di Sikka.
Kalau reforma agraria berjalan, seharusnya tidak ada sejengkal pun tanah milik rakyat yang digusur. Reformasi agraria berjalan ketika Pemerintah Daerah bekerja sama dengan Kantor Pertanahan mengidentifikasi objek tanah yang jadi prioritas untuk reforma agraria, mana subjeknya-apakah petani atau masyarakat adat. Mereka yang berhak menjadi subjek reforma agraria.
Seharusnya hal itu berjalan di Nangahale. Bahwa, oh ini ada wilayah adat Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut-Tana Ai. Ada masyarakat adatnya. Maka, lahan mereka layak menjadi objek dan mereka sebagai subjek reforma agraria.
Reforma agraria di Sikka tidak berjalan karena Pemerintah Kabupaten dan BPN masih memprioritaskan tanah itu kepada kelompok-kelompok pemodal atau elit kekuasaan yang punya modal dan relasi politik.
Kalau reforma agraria beralan, seharusnya bupati tidak memberikan rekomendasi (pembaruan HGU PT Krisrama). BPN juga tidak menerbitkan sertifikat pembaharuan HGU.
Kenapa? Karena yang layak untuk mendapat manfaat dari reforma agraria adalah komunitas adat.
PT Krisrama beralasan tidak semua lahan itu menjadi wilayah pembaruan HGU-nya. Ada yang dialokasikan kepada masyarakat adat. Namun, masyarakat adat menyatakan bahwa wilayah yang hendak dialokasikan kepada mereka merupakan bagian yang tidak produktif. Bagaimana pandangan Anda terkait hal ini? Apakah ini adil?
Terlepas dari lokasi tepatnya serta kepada siapa tanah itu diberikan, menurut saya redistribusi lahan di Nangahale jelas tidak tepat.
Tidak tepat lantaran tanah itu bukan berada di wilayah adat yang selama ini dituntut anggota kedua suku.
Pengabaian terhadap desakan warga adat menunjukkan pemerintah belum menjadikan komunitas tersebut dan lahan komunal mereka sebagai prioritas reforma agraria. Maka, relokasi bukanlah jawaban.
Masyarakat adat telah menempati tanah mereka, bermukim di sana, menjalankan nilai-nilai adat di sana. Kok direlokasi?
Seharusnya PT Krisrama itu yang direlokasi. Karena dia berada di tempat yang tidak semestinya. PT Krisrama itu berdiri di atas wilayah adat. Jadi, ada ketidakadilan di sini.
Reforma agraria itu kan ingin mencapai keadilan. Kalau ada yang dimarjinalkan, dipinggirkan dan itu adalah orang-orang kecil, yang tidak punya kekuasaan, tidak punya relasi politik tidak punya bekingan, maka itu bukan reforma agraria.
PT Krisrama berulang kali menyebut warga adat sebagai “penyerobot tanah.” Berlandaskan pernyataan tersebut, perusahaan melaporkan 18 warga adat dan perwakilan lembaga advokasi ke polisi. Setujukah Anda dengan pernyataan dan pelaporan tersebut?
PT Krisrama itu yang penyerobot. Merekalah penjarahnya.
Sebaiknya PT Krisrama belajar sejarah tata kuasa tanah. Bila kita tarik “garis silsilah” dalam konflik tanah menahun di Nangahale, mereka boleh dikatakan turunan langsung penjajah.
Lahan itu awalnya diklaim sebagai kepunyaan Amsterdam Soenda Compagni, perusahaan perkebunan zaman kolonial Belanda.
Bila dirunut dari sejarahnya, perusahaan tersebut telah merampas wilayah adat.
PT Krisrama telah meneruskan praktik-praktik penguasaan tanah yang pernah dilakukan korporasi Belanda tersebut ketika lahan adat itu dikonversi dan diklaim sebagai milik mereka.
Kesesatan ini harusnya diluruskan, bahwa lahan itu kembali kepada yang paling berhak. Kalau menurut hak asal-usul, anggota kedua suku yang paling berhak atas tanah itu.
Perusahaan sebelumnya pada zaman penjajahan Belanda itu sama sekali tidak punya hak. Mereka pendatang di sana.
Jadi, harus ditarik asal-usulnya juga. PT Krisrama maupun Keuskupan Maumere tidak menelusuri hak asal-usul.
Harusnya ketika sudah merdeka, juga ketika Reformasi 1998, salah satu agendanya adalah menyelesaikan konflik agraria dan menjalankan reforma agraria.
Kalau reformasi itu dijalankan, seharusnya konsesi-konsesi HGU milik siapapun dipulihkan. Dipulihkan agar hak-hak rakyat yang dirampas kembali lagi. Ini tidak, malah penguasaan dilanjutkan hingga PT Krisrama yang sekarang.
Sementara intimidasi melalui kriminalisasi merupakan bagian dari upaya melemahkan perjuangan rakyat. Cara-cara semacam itu dilakukan guna membuat masyarakat terdistraksi, tidak fokus lagi pada muasal kasusnya.
Kepada masyarakat adat yang dikriminalisasi, mereka seolah hendak bilang: “Kalau kalian melawan atau berkukuh memperjuangkan tanah, kami akan tangkap.”
Kriminalisasi turut menunjukkan bagaimana hukum kita masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Ada banyak pasal karet dalam sejumlah UU yang kerap digunakan perusahaan untuk mengkriminalisasi warga yang terlibat konflik tanah dengan mereka. Mulai dari UU Perkebunan, UU Kehutanan, UU PPh maupun KUHP.
Aparat hukum dan pemerintah daerah sudah semestinya memiliki pemahaman tentang hukum agraria.
Hukum agraria tak semata-mata menyangkut hukum positif. Hak asal-usul, hak konstitusional dan sejarah penguasaan tanah menjadi penting untuk membuktikan bahwa masyarakat menjadi prioritas di atas tanah yang mereka diami.
ATR/BPN Kabupaten Sikka mengatakan lahan di Nangahale masuk dalam rekomendasi penerbitan sertifikat tanah ulayat. Namun, penerbitan itu disebut ditunda sementara lantaran masih ada konflik. Bagaimana menurut Anda soal ini?
ATR/BPN kerap tak membuka informasi. Keterbukaan informasi sangat penting dalam kasus ini supaya semua hal menjadi terang benderang.
ATR/BPN juga mesti kembali pada tujuan reforma agraria.
Dalam advokasi konflik tanah seperti di Nangahale, saya selalu kembali ke Perpres Nomor 62 Tahun 2023. Perpres tersebut menopang hak warga adat lewat posisi hukum (legal standing) yang kuat.
Perpres bertujuan, antara lain, menyelesaikan konflik agraria, memulihkan hak warga yang tanahnya dirampas, mengalami represi dan atau intimidasi.
Perpres tersebut memiliki implikasi hukum yang berbeda dari peraturan serupa lainnya. Misalnya soal warga adat, mereka tidak harus membuktikan diri bahwa mereka adalah komunitas adat atau non-adat.
Perpres itu juga mengatur soal hak individu dan hak milik bersama.
Bagi warga adat setempat, yang paling tepat adalah memilih hak milik bersama yang dimufakati melalui musyawarah komunitas mereka.
Editor: Anastasia Ika