Pengadilan di Flores Penjarakan 8 Masyarakat Adat terkait Perusakan Papan Nama Perusahaan Milik Gereja Katolik

Vonis 10 bulan penjara lebih tinggi dari tuntutan jaksa, hal yang memicu protes dari pengacara masyarakat adat

Floresa.co – Pengadilan di Kabupaten Sikka, NTT memvonis bersalah delapan masyarakat adat dalam kasus perusakan papan nama korporasi milik Gereja Katolik di lahan yang berada dalam sengketa selama berdekade.

Dalam putusan yang dibacakan pada 17 Maret, Pengadilan Negeri Maumere memvonis 10 bulan penjara delapan warga adat-dua di antaranya perempuan-yang merusak papan nama milik PT Krisrama, perusahan milik Keuskupan Maumere.

“Berdasarkan pertimbangan hakim, beserta semua bukti yang tertera,” kata hakim ketua Rokhi Maghfur, “pada persidangan ini hakim memutuskan untuk menjatuhkan hukuman 10 bulan penjara terhadap delapan terdakwa.”

Vonis terhadap delapan warga dari Suku Soge Natarmage dan Goban Runut ini lebih tinggi dari tuntutan jaksa tujuh bulan penjara.

Kedelapan warga ditahan sejak Oktober tahun lalu setelah mereka dituding merusak papan nama milik PT Krisrama pada 29 Juli 2024. Aksi perusakan itu direkam oleh Pastor Robertus Yan Faroka, direktur pelaksana perusahaan itu, yang kemudian menjadikannya sebagai barang bukti ke polisi.

Yosep Joni, salah satu terpidana berkata, “saya terima keputusan ini sebagai konsekuensi dari perjuangan.” 

Maria Magdalena Leny, terdakwa lain, ibu tiga anak yang hadir di persidangan sambil menggendong anak bungsunya berkata, “saya tetap kuat dengan keputusan ini.”

Warga keluar dari ruang sidang di Pengadilan Negeri Maumere pada 17 Maret 2025. (Dokumentasi Floresa)

Syamsul Alam Agus, Ketua Perhimpunan Pengacara Masyarakat Adat Nusantara [PPMAN] yang juga merupakan advokat para terdakwa berkata, putusan ini yang melebihi tuntutan jaksa atau ultra petita “telah menimbulkan keprihatinan mendalam bagi kami.”

“Keputusan ini bukan hanya merugikan para terdakwa, tetapi juga mencederai prinsip keadilan dan perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak-hak masyarakat adat yang telah diakui secara konstitusional, instrumen hukum nasional maupun internasional,” katanya.

“Kami menilai bahwa putusan ultra petita ini mencerminkan adanya penyimpangan dari asas hukum yang berlaku, serta berpotensi memperburuk ketimpangan akses keadilan bagi masyarakat adat yang sering kali menjadi korban konflik dengan korporasi,” tambahnya.

Ia memberi catatan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana [KUHAP] Pasal 181 menyatakan, “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana yang lebih berat daripada yang dituntut oleh penuntut umum.”

Putusan ini, kata dia, juga mengabaikan fakta-fakta hukum yang menunjukkan bahwa masyarakat adat dalam perkara ini hanya berusaha mempertahankan tanah leluhur mereka dari perampasan dan eksploitasi yang dilakukan oleh pihak perusahaan.

Karena itu, kata dia, mereka berencana melakukan upaya hukum banding dan kasasi “karena putusan bertentangan dengan prinsip hukum dalam KUHAP.”

Terpidana lain yang meninggalkan ruang sidang di Pengadilan Negeri Maumere pada 17 Maret 2025. (Dokumentasi Floresa)

John Bala, kuasa hukumnya lainnya menyebut perusakan papan nama itu merupakan reaksi warga setelah pihak perusahaan merusak tanaman mereka pada hari yang sama.

Karena itu, kata dia, seharusnya kasus ini dilihat secara objektif bawa tindakan warga merupakan respons untuk melindungi hak dan milik mereka.

“Harus dilihat secara kronologis, apa yang melatarbelakangi tindakan warga,” katanya.

John menjelaskan, sebelum peristiwa pada 29 Juli 2024, juga terjadi perusakan tanaman warga oleh PT Krisrama, termasuk pada 18 Desember 2023. Pengrusakan itu, kata dia, selalu dilaporkan ke polisi, namun dihentikan karena dianggap tidak memenuhi unsur pidana.

Dalam pernyataan bersama, PPMAN mendesak Mahkamah Agung atau lembaga peradilan terkait “untuk meninjau kembali putusan yang bersifat ultra petita ini guna memastikan keadilan ditegakkan sesuai dengan hukum yang berlaku.”

Mereka juga meminta pemerintah dan aparat penegak hukum “harus lebih serius dalam melindungi hak-hak masyarakat adat sesuai dengan UUD 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.”

Selain itu, mereka “menyerukan adanya evaluasi independen terhadap proses peradilan dalam kasus ini untuk memastikan tidak adanya intervensi dari pihak berkepentingan serta menjamin peradilan yang bebas, jujur, dan tidak memihak.”

“Kami [juga] menuntut pertanggungjawaban perusahaan atas tindakan mereka yang telah menyebabkan konflik dengan masyarakat adat, termasuk penguasaan tanah tanpa persetujuan, perusakan lingkungan, dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat,” kata mereka.

Pantauan Floresa, pembacaan putusan ini diikuti sekitar 100 warga adat Nangahale di luar gedung pengadilan.

Mereka, baik orang tua maupun anak-anak, menggunakan dua mobil pikap, satu truk dan beberapa sepeda motor.

Usai mendengar putusan ini, Anastsya Dua, warga Nangahale dari Suku Soge Natarmage berkata, “mereka rusak kami punya rumah dan tanaman yang nilainya lebih besar dari kerusakan plang, kenapa tidak bisa dihukum?”

“Kenapa kami saja yang dihukum,” katanya.

Warga Nangahale menunggu di luar kantor Pengadilan Negeri Maumere pada 17 Maret 2025. (Dokumentasi Floresa)

Konflik antara warga adat dengan PT Krisrama terkait lahan 868.730 hektare yang menurut mereka diambil secara paksa pada zaman penjajahan Belanda. Setelah kemerdekaan, lahan tersebut beralih ke Keuskupan Agung Ende melalui PT. Perkebunan Kelapa Diag untuk masa kontrak selama 25 tahun, hingga 2013.

Keuskupan Maumere mulai menguasainya setelah keuskupan itu didirikan pada 2005, yang lalu membentuk PT Krisrama.

Setelah izin pengelolaan perusahaan keuskupan berakhir, masyarakat adat  berupaya untuk mengklaimnya kembali. Namun, pada 2023, PT Krisrama memperoleh perpanjangan izin Hak Guna Usaha [HGU] atas tanah itu.

Dari total luas lahan 868,703 hektare, 325 hektare yang diberi hak oleh negara untuk dikelola PT Krisrama. Sisanya, 543 hektare dikembalikan kepada negara, yang sebagiannya untuk warga adat.

Namun, sengketa terus berlanjut karena menurut John Bala, wilayah HGU PT Krisrama mencakup lahan yang sudah ditempati warga adat sejak 2014, bagian dari pelaksanaan reforma agraria.

Sementara lahan seluas 543 hektare, katanya, “adalah bagian yang tidak produktif, yang dibiarkan, yang sebelumnya disebut sebagai tanah terlantar ketika dikelola oleh PT Diag.” 

“Mereka mengusulkan lahan yang tidak produktif itu sebagai bagian untuk warga, padahal tanah itu tidak ditempati warga saat ini,” katanya.

Ia juga berkata, lahan 543 hektare di luar HGU PT Krisrama juga “tidak secara gelondongan” diberikan kepada warga, tetapi sebagian diberikan kepada Pemerintah Kabupaten Sikka.

Di tengah proses hukum kedelapan warga, pada 22 Januari, PT Krisrama melakukan penggusuran terhadap 120 rumah warga dan tanaman mereka, hal yang memicu perhatian luas.

Dalam putusan terhadap delapan terdakwa, majelis hakim menyatakan setuju dengan keterangan saksi ahli dari pihak terdakwa, Widodo Dwi Putro, bahwa ada asas pemisahan horizontal atas kepemilikan lahan. 

Azas itu berdasarkan Yurisprudensi Putusan MA No. 249 K/Pid/2009, yang pada intinya menegaskan bahwa kepemilikan tanah tidak serta merta juga memiliki benda yang berada di atasnya. Karena itu, tindakan pengrusakan barang, seperti yang dilakukan PT Krisrama atas aset warga, tidak bisa hanya mengandalkan SK HGU. Prinsip pemisahan horizontal ini juga diakui dalam Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960, yang mengatur bahwa hak atas tanah dan hak atas bangunan di atasnya bisa dimiliki oleh pihak yang berbeda.

Merujuk pada pertimbangan itu, menurut John Bala, sepatutnya penegak hukum seperti Polres Sikka menindaklanjuti laporan warga yang rumahnya dibongkar dan tanamannya dihancurkan oleh PT Krisrama dalam beberapa peristiwa, termasuk pada 22 Januari.

PT Krisrama juga berencana melakukan aktivitas lagi di lahan itu 18 Maret dengan mengerahkan umat dari paroki-paroki di keuskupan.

Lewat pengumuman di gereja-gereja pada Misa Hari Minggu 16 Maret, perusahaan itu meminta setiap paroki mengirim 30 orang.

Aksi itu membuat warga adat mengajukan permohonan perlindungan kepada polisi.

Ignasius Nasi, Kepala Suku Soge Natarmage, berkata “kami tetap dengan pendirian kami, kami tidak akan tinggalkan tanah kami.”

Ignasius Nasi, Kepala Suku Soge Natarmage sedang berbicara dalam rapat bersama warga Nangahale pada 16 Maret 2025. (Dokumentasi Floresa)

“Sebelumnya, mereka kerahkan aparat dan para preman untuk menggusur kami,” kata Ignasius merujuk pada peristiwa pada 22 Januari, “sekarang pakai umat, apakah itu bijak?”

Floresa menghubungi Romo Robertus Yan Faroka pada 17 Maret soal putusan ini, juga rencana aksi pada 18 Maret. Namun, ia tidak merespons hingga berita ini dipublikasi.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

spot_img

BACA JUGA

BANYAK DIBACA