Pilkada sebagai pesta demokrasi lima tahunan idealnya diikuti oleh dua atau bahkan lebih pasangan calon yang didukung oleh partai politik pengusung.
Makin banyak pasangan calon yang ikut menjadi salah satu indikator tingginya antusiasme masyarakat dalam mengikuti kontestasi politik ini.
Namun, akhir-akhir ini, kontestasi politik di tanah air diwarnai dengan pencalonan kepala daerah tunggal.
Hal ini tentu memprihatinkan dan secara tidak langsung memberikan gambaran tentang kemunduran demokrasi.
Berdasarkan laporan dari Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu, pada Pilkada 2020, tercatat ada 25 pasangan calon tunggal.
Untuk pilkada tahun ini, jumlahnya dikawatirkan akan terus meningkat.
Pencalonan tunggal ini terjadi karena beberapa faktor. Namun, yang paling dominan adalah karena mekanisme borong partai politik oleh salah satu bakal calon.
Dengan mekanisme ini, ia mencegat bakal calon lain untuk memiliki partai politik pengusung.
Tentu, partai politik pengusung diiming-imingi kompensasi politik maupun ekonomi yang menjanjikan.
Hal ini membuat calon tersebut kemungkinan besar akan melawan kotak kosong atau calon boneka.
Istilah calon boneka untuk menyebut calon independen yang dipaksa maju, kendati tidak punya kapasitas, hanya supaya calon tunggal tidak melawan kotak kosong.
Mekanisme Pemilihan Kotak Kosong
Merujuk pada UU Pilkada Nomor 10 tahun 2016, mekanisme pemilihan kotak kosong dilakukan dengan menyandingkan foto pasangan calon tunggal dengan kolom kosong tak bergambar.
Hal ini cukup menguntungkan bagi pasangan calon karena tidak memiliki saingan. Namun, untuk memenangkan pilkada, perolehan suara sah dari calon tunggal harus mencapai 50%.
Selanjutnya, dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum [PKPU] Nomor 13 Tahun 2018, dijelaskan bahwa jika kotak kosong menang, maka KPU menetapkan penyelenggaraan pemilihan kembali pada pemilihan serentak periode berikutnya, sesuai dengan jadwal yang ditetapkan undang-undang.
Artinya, pasangan calon tunggal yang kalah harus menunggu lima tahun lagi untuk kembali berkontestasi dalam pilkada.
Penyelenggara pemerintahan sementara pun dijalankan oleh pejabat pelaksana yang ditunjuk Kementerian Dalam Negeri.
Apa Bahaya Pilkada Lawan Kotak Kosong?
Hasil dari pilkada yang diwarnai dengan skenario kotak kosong tentu merugikan masyarakat selaku konstituen.
Hal ini dapat terjadi karena kepala daerah terpilih akan lebih memprioritaskan kepentingan partai yang telah mengusungnya.
Ada semacam politik balas budi di mana pejabat terpilih harus memberi kompensasi politik yang telah dijanjikan kepada partai politik pengusung.
Akibatnya kebijakan dan program-program yang dicanangkan lebih berorientasi untuk memelihara kepentingan politik selanjutnya.
Dampak secara tidak langsung lainnya adalah menurunnya minat masyarakat untuk berpartisipasi dalam kontestasi pilkada.
Hal ini terjadi karena sulitnya mendapat partai pengusung bagi para bakal calon yang ingin berkontestasi maupun turunnya minat masyarakat sebagai pemilih karena mekanisme elektoral yang tidak adil.
Di sisi lain, pilkada lawan kotak kosong merupakan salah satu upaya pengekangan demokrasi yang dilakukan dengan sadar dan sistematis.
Upaya Mencegahnya
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk melawan determinasi calon tunggal yang terindikasi melakukan praktik penyelewengan dengan mencegat pasangan calon lain adalah memenangkan suara kotak kosong.
Kotak kosong setidaknya 50% dari jumlah suara sah. Dengan demikian, pasangan calon tunggal bisa dikalahkan.
Dengan demikian penyelenggaraan pilkada selanjutnya mampu menciptakan persaingan politik yang sehat dan kompetitif.
Pilkada seharusnya benar-benar menjadi kontestasi demokrasi yang bermartabat sehingga menghasilkan pemimpin yang berkualitas serta bertanggung jawab kepada masyarakat, bukan kepada kepentingan sesaat.
Fransiskus Allianus Grasele adalah mahasiswa Universitas Nusa Cendana Kupang
Editor: Ryan Dagur