Floresa.co – Puluhan remaja dan kaum muda bergabung bersama sebuah komunitas biara di Ruteng baru-baru ini dalam sebuah acara nobar dan diskusi film The Two Popes.
Film garapan Anthony McCarten yang telah tayang di platform streaming film Netflix pada 2019 itu terinspirasi dari kisah nyata berupa pergulatan dua pemimpin Gereja Katolik – Paus Benediktus XVI dan Paus Fransiskus. Fokusnya adalah pada serangkaian pertemuan keduanya sebelum pengunduran diri Paus Benediktus XVI pada 2013.
Acara itu bagian dari Montfort Cinema, program tahunan komunitas Remaja Montfort dan Orang Muda Montfort lewat nonton film bersama, lalu berdiskusi tentang kehidupan iman.
Digelar di Biara Novisiat Serikat Maria Montfortan [SMM] Ruteng pada 30 November, acara itu dihadiri 77 peserta.
Selain beberapa pastor dan frater SMM, peserta lain adalah anggota Montfort Youth Ruteng dan Mando, Orang Muda Montfort, perwakilan Orang Muda Katolik [OMK] Paroki Katedral Ruteng, perwakilan OMK Stasi Carep serta beberapa warga sekitar.
Inspirasi Soal Makna Doa
Dalam sesi diskusi usai nobar, Pater Edy Suhartono, SMM menyoroti film tersebut sebagai sarana untuk mengingatkan umat, khususnya kaum muda, terkait pentingnya relasi dengan Tuhan saat berhadapan dengan momen untuk mengambil keputusan dalam hidup.
Ia menyampaikan hal itu menanggapi pertanyaan Fanny Pangkus, alumna Unika St. Paulus Ruteng bahwa seringkali manusia berdoa dan menuntut tanda serta jawaban dari Tuhan.
Saat Tuhan tidak menjawab, kata Fanny, manusia merasa putus asa, bahkan menganggap berdoa tidak lagi ada gunanya. Ia kemudian bertanya, lantas, “apakah harus tetap berdoa?”
Pater Edy berkata, seringkali kehadiran Tuhan tidak bisa dirasakan, bahkan merasa doa tidak pernah dijawab.
Hal itu, kata dia, sama seperti pengalaman Paus Benediktus XVI dalam The Two Popes yang membutuhkan “alat bantu dengar rohani” karena merasa sulit mendengarkan suara Tuhan, meskipun telah menjadi seorang paus.
Kadang, kata Pater Edy, kita melihat doa secara matematis.
“Artinya kalau saya berdoa soal ini, harus dijawab oleh Tuhan,” katanya.
Ia menekankan bahwa “doa itu soal relasi.”
“Pesan paus yang utama adalah apapun tantangannya, meskipun doa kita tampaknya tidak dijawab dan harapan tidak dipenuhi, komunikasi dengan Tuhan tidak boleh dihentikan,” katanya.
Ia pun menganalogikan doa seperti payung, yang “tidak berfungsi untuk menghentikan hujan, tapi untuk melindungi kamu di tengah hujan.”
Dengan mengenakan payung, “meskipun hujan itu turun, kamu tetap bisa berjalan.”
“Itulah fungsi doa yang terus menguatkan kamu, walaupun menghadapi hujan keputusasaan, hujan kehampaan, hujan hidup yang merasa tidak ada jalan terbuka.” katanya.
Doa, “membuat kamu bisa melewati itu,” kata Pater Edy.
Jika memahami doa dalam perspektif itu, “kamu tidak akan mengambil keputusan keliru seperti bunuh diri, membunuh orang dan lain-lain.”
“Doa seperti payung membuat kamu tetap berjalan dan merasa terlindungi.”
Masa Lalu Bukan Akhir dari Segalanya
Pendamping para frater atau calon imam SMM itu juga mengingatkan tentang kisah masa lalu Paus Fransiskus dalam The Two Popes, yaitu soal sikap diamnya saat terjadi kekejaman di negeri asalnya, Argentina di bawah junta militer. Hal itu menjadi salah satu kritikan banyak pihak saat ia terpilih jadi paus.
Pater Edy berkata, film itu memberikan pelajaran berharga bahwa setiap orang, bahkan seorang paus, punya pengalaman masa lalu yang membuatnya merasa tidak layak dipanggil Tuhan untuk menjadi pemimpin tertinggi Gereja Katolik.
Paus, kata dia, juga memiliki kesalahan dan dosa layaknya umat biasa.
Namun, katanya, karena hidup selalu dinamis, maka perubahan menjadi salah satu kunci untuk menjalani hidup yang baru dalam Tuhan.
“Pesan Paus Fransiskus adalah setiap orang bisa berubah. Masa lalu tidak berarti kita akan selamanya terjebak di dalamnya dan tidak bisa berbuat apa-apa. Justru, masa lalu menjadi jembatan kita belajar memperbaiki diri,” kata Pater Edy.
Ia menekankan “setiap kita punya pengalaman masa lalu yang berat.”
“Jangan berpikir hanya dirimu yang memiliki masalah. Semua orang punya masalah dan pernah melakukan kesalahan. Maka, jangan pernah mengambil keputusan yang merusak diri, bahkan hidup kamu. Bangkit dari masalah dan mencoba memperbaiki diri akan membuka jalan bagi Tuhan memperbarui hidupmu,” tambahnya.
‘Gereja Sebagai Jembatan Belas Kasih’
Dalam diskusi itu, Yolanda Juntung, mahasiswi Program Studi Kebidanan Unika St. Paulus Ruteng juga mengajukan pertanyaan terkait tanggapan Gereja Katolik terhadap kelompok minoritas seksual, seperti transgender, gay, lesbian dan lain-lain.
Ia mempertanyakan alasan gereja masih memberikan komuni atau Sakramen Ekaristi kepada mereka.
Pater Edy menanggapi pertanyaan Yolanda dengan menceritakan kembali respons Paus Fransiskus pada 2013 kepada wartawan yang bertanya soal adanya pastor yang diduga menyukai sesama.
Paus Fransiskus, kata dia, menjawabnya dengan pernyataan, “Who am I to judge” atau ‘Siapakah saya sampai menghakimi mereka.’
Jawaban itu, kata Pater Edy, mengandung makna tersembunyi bahwa paus tidak membenarkan atau menyalahkan mereka yang terlahir demikian.
Dia memberikan jawaban yang membuat setiap orang merefleksikan kembali kalimat itu dalam diri sendiri, katanya.
Tindakan itu, kata Pater Edy, persis dilakukan Yesus dalam Injil Yohanes 8:2-11 tentang Perempuan Berzinah yang dihakimi oleh Ahli-ahli Taurat dan Orang Farisi.
Dalam teks itu, Yesus berkata: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melempar batu kepada perempuan itu”.
Yesus sendiri mengajarkan kita tentang kesadaran akan dosa dan kesalahan kita sebelum menghakimi orang lain, kata Pater Edy.
Menurutnya, gereja sama sekali tidak menyingkirkan atau membuang kelompok minoritas seksual.
“Gereja tidak membangun dinding atau tembok, melainkan membangun jembatan supaya orang-orang ini bisa dirangkul, bisa diterima dalam kehidupan kita sebagai umat kristiani,” katanya.
Ia menegaskan, hal yang dilarang oleh Gereja adalah perkawinan sesama jenis, namun tetap memberkati mereka secara pribadi merupakan bagian dari wujud belas kasih.
Kalau saja makhluk lainnya, seperti hewan peliharaan bisa diberkati di gereja, kata dia, “apalagi manusia.”
Ia menjelaskan, memberi mereka komuni merupakan inspirasi dari spiritualitas Santo Fransiskus Assisi yang penuh kerahiman atau belas kasih.
‘Dosa adalah Luka yang Harus Diobati’
Salah satu adegan dalam The Two Popes adalah saat Paus Benediktus XVI memberitahu Paus Fransiskus bahwa ia ingin mengundurkan diri dari jabatannya.
Paus Fransiskus berusaha hal itu tidak terjadi dengan berkata, “Kelemahan kita yang memanggil anugerah Tuhan. Tunjukkan kelemahanmu, maka Dia akan memberikan kekuatan.”
Selain itu, Paus Fransiskus juga berkata, dosa adalah luka yang harus diobati agar menjadi pribadi yang sembuh dan tidak lagi terjebak pada rasa sakitnya.
Berangkat dari adegan ini, Frater Jack, salah satu postulan SMM memberikan dua pertanyaan berdasarkan pengalamannya.
Ia mengaku sering merasakan perlakuan istimewa dan disegani oleh masyarakat karena statusnya, sehingga ia terlena dan lupa diri. Ia pun mengaitkannya dengan kehidupan membiara yang tidak luput dari kesalahan.
Jack lantas bertanya, apa yang harus dilakukan untuk memperoleh kerendahan hati dan bagaimana memperbaiki kesalahan dalam hidup membiara?
Pater Edy menanggapi pertanyaan Jack dengan berkata bahwa jika ingin memperoleh kerendahan hati, “kamu harus berani mengakui kesalahan di depan orang lain.”
“Kadang, kita cenderung melihat kekurangan pada orang lain dan melupakan kekurangan diri,” katanya.
Ia pun mengutip pernyataan Paus Fransiskus bahwa kita dipanggil untuk menjadi balsem bagi orang lain.
“Balsem berfungsi untuk mengobati sakit atau kesalahan sesama. Pertanyaannya, apakah kamu mau disembuhkan atau tidak? Balsem itu juga hadir melalui koreksi dari formator, teguran dari orang lain yang membuat kamu sembuh,” kata Pater Edy.
‘Kesederhanaan dan Kerendahan Hati’
Cica Adhon, anggota OMM Mando yang hadir dalam acara itu mengaku belajar dari kerendahan hati dan kesederhanaan Paus Fransiskus, hal yang patut menjadi contoh dalam kehidupan setiap umat zaman sekarang.
“Kerendahan hati Paus Fransiskus memberikan kesan mendalam dalam Montfort Cinema kali ini. Beliau menjalankan kehidupan dengan sangat sederhana dan selalu merasa tidak pantas untuk menjadi seorang paus, mengingat kesalahannya di masa lalu,” katanya.
Sikap itu, katanya, tidak membuat paus rendah di mata Tuhan.
“Karena kerendahan hatinya itu, dia dipilih Tuhan untuk menjadi pemimpin Gereja.”
Ia menjelaskan, lewat diskusi bersama Pater Edy dalam acara itu “kami mendapat banyak pelajaran dan penjelasan tentang pandangan Gereja yang selalu terbuka dan penuh belas kasih pada umat.”
Editor: Ryan Dagur