Diskusi Mahasiswa di Yogyakarta Soroti Sulitnya Wujudkan Kemandirian Desa, Buruknya Tata Kelola Pemerintahan dan Dominasi Pemerintah Supradesa Dinilai Jadi Penghambat  

Para kepala desa diharapkan punya beragam kapasitas untuk mengatasi berbagai hambatan ini

Floresa.co – Kemandirian desa belum sepenuhnya tercapai karena tata kelola pemerintahan yang buruk dan dominasi pemerintah supradesa, kata pembicara dalam diskusi mahasiswa di Yogyakarta baru-baru ini.

Karena itu pemerintah desa diharapkan memiliki kapasitas politik, birokrasi, dan sosial.

Berlangsung di halaman Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa [STPMD] “APMD”, diskusi yang diinisiasi Dewan Pimpinan Komisariat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia [DPK GMNI] pada 4 April itu menyoroti praktik pemerintahan desa.

Dipandu Raviki dan dipantik Verlin Waruwu, diskusi diikuti calon anggota, anggota dan kader GMNI Komisariat STPMD “APMD.”

Verlin mengatakan persoalan di desa sangat kompleks, biasanya berawal dari fragmentasi politik saat pemilihan kepala desa. 

Ketika kepala desa terpilih sulit mengelola fragmentasi itu, kata dia, konflik horizontal akan terus terjadi. 

“Konflik yang berlanjut membuat kepala desa susah menjalankan program dan akan terus ‘diancam dan diganggu’ oleh masyarakat, Badan Permusyawaratan Desa, bahkan oleh aparatnya sendiri,” katanya.

Verlin mengatakan tata kelola menjadi amburadul karena pemerintah desa terjebak pada hal-hal administratif, alih-alih hadir untuk mengurus kepentingan orang banyak.

Pelayanan publik, kata dia, hanya sekadar “pelayanan administrasi.” 

“Lihat saja, kalau warga tidak mengurus KTP dan dokumen lain, kantor desa akan sepi,” katanya.

Ia memberi contoh tata kelola pemerintahan di desa di kampung halamannya, Desa Hilihati, Kecamatan Lahewa, Kabupaten Nias Utara, Provinsi Nias Utara. 

Desa itu juga menjadi lokasi penelitiannya untuk tesis Program Magister Ilmu Pemerintahan di kampus STPMD “APMD.”

Verlin berkata tata kelola Desa Hilihati menjadi buruk karena kepala desa tidak memiliki niat dan pengetahuan serta tidak mau belajar tentang desa dan tata kelola pemerintahan.

Selain itu, katanya, buruknya tata kelola pemerintahan desa terjadi karena “tidak ada jenjang karir” bagi perangkat desa. 

“Misalnya, seseorang yang menjadi Kepala Seksi Pelayanan, dari mulai bekerja sampai pensiun tetap menempati posisi yang sama dan tidak pernah dimutasi atau diganti,” katanya.

Ia menambahkan, buruknya tata kelola pemerintahan juga terjadi karena pemerintah desa tidak punya jaminan pensiun seperti halnya pemerintah kabupaten. 

Karena itu, kata dia, di desa juga muncul “pemalak” yang melakukan “suap untuk memuluskan agenda tertentu.” 

Verlin juga menyoroti pemerintah desa yang  tidak transparan dalam menyajikan informasi terkait pembangunan kepada warga.

Kepala desa, kata dia, mengklaim diri sebagai pengelola tunggal dana desa sehingga informasi terkait anggaran tidak pernah dibuka kepada masyarakat. 

“Paling hanya spanduk besar, tapi tidak serinci-rincinya. Jadi, administrasi hanya sebagai formalitas saja,” ungkapnya.

Situasi di desanya, kata Verlin, berkebalikan dengan tata kelola Desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul, lokasi penelitiannya saat mengerjakan skripsi untuk gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan. 

Desa Panggungharjo menjadi salah satu desa maju karena “yang pertama-tama diubah dalam tata kelola pemerintahan terutama pola relasi dengan warga.”  

Di desa itu,  katanya, hanya ada dua hal yang tidak boleh diminta kepada pemerintah desa, yaitu “data kekayaan dan Nomor Induk Kependudukan kepala desa dan perangkatnya.” 

“Selain itu bisa dibuka dan masyarakat bisa mengakses di website desa,” katanya.

Verlin mengatakan keterbukaan informasi dan keberadaan Lembaga Kemasyarakatan Desa [LKD] merupakan penentu agar sebuah desa masuk kategori maju atau tidak. 

Desa Panggungharjo, kata dia, memiliki 14 LKD dan keberadaannya merupakan bagian dari “upaya menyedot berbagai energi” untuk menyalurkan potensi yang ada di desa. 

Pemerintah desa, katanya, tidak bisa mengerjakan semua tugas sendiri, tetapi juga membutuhkan bantuan LKD.

“Bayangkan, menurut Undang-Undang Desa, kalau dirinci terdapat 120 kewenangan desa. Paling yang bisa dikerjakan pemerintah desa hanya 40 kewenangan saja. Sisanya harus dibagi rata dengan LKD untuk dikerjakan. Kalau tidak dibagi rata, maka akan melahirkan masalah,” ungkapnya.

Verlin mengatakan carut-marut pemerintahan desa tidak serta merta dipicu rendahnya sumber daya manusia sebagaimana stigma selama ini. 

Sebaliknya, kata dia, carut-marut itu terjadi karena pemerintah kabupaten “tidak pernah memperkuat dan memberdayakan kepala desa” agar memiliki pengetahuan yang cukup dalam mengelola desa. 

Alih-alih memperkuat dan memberdayakan pemerintah desa, katanya, pemerintah kabupaten mengintervensi kewenangan desa.

“Kita harus mengakui, hegemoni pemerintah kabupaten terhadap desa sangat kuat,” katanya.

Para peserta berfoto bersama usai menyelenggarakan diskusi. (Vansianus Masir)

Desa Harus Punya Kapasitas

Verlin mengatakan agar tata kelola pemerintahan menjadi baik, maka desa harus mempunyai kapasitas politik, birokrasi dan sosial. 

Kapasitas politik dan kepemimpinan, kata dia, harus dimiliki kepala desa. 

Kapasitas politik, katanya, akan berjalan dengan baik jika kepala desa dipilih melalui proses politik yang baik. 

“Tanpa itu, kepala desa tidak memiliki legitimasi yang kuat dari masyarakat dalam menjalankan kepemimpinannya dan rawan konflik,” katanya.

Verlin mengatakan kapasitas politik harus didukung beberapa kapasitas dasar.

Pertama, kata dia, adalah kapasitas regulasi, yakni kemampuan memahami dan membuat aturan.  

Kedua, kapasitas ekstraktif, terkait kemampuan kepala desa mencari dan menemukan potensi desa agar dikelola dan didistribusikan kepada warga, katanya.

Ketiga, katanya, kapasitas responsif, yaitu kemampuan kepala desa dalam menanggapi secara cepat persoalan-persoalan yang ada di desa. 

Keempat, kapasitas jaringan, yaitu kemampuan kepala desa untuk mencari pengetahuan dan kekuatan-kekuatan di luar. 

Sementara kelima adalah kapasitas distributif, yaitu kemampuan kepala desa untuk “membagi tugas ke bawah dan membagi peran ke samping.” 

“Kewenangan desa tidak semata-mata menjadi urusan kepala desa dan perangkatnya tetapi mesti didistribusikan kepada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada di desa,” ungkapnya.

Sementara itu, menurut Verlin, kapasitas birokrasi kemampuan perangkat desa dalam menjalankan kewenangannya, terutama pemberdayaan masyarakat, pelaksanaan pembangunan, penyelenggaraan pemerintahan dan pembinaan kemasyarakatan. 

“Kapasitas birokrasi menekankan bahwa perangkat harus paham tugas pokok dan fungsinya,” katanya. 

Verlin mengatakan kapasitas sosial merupakan kapasitas yang paling besar dan harus dimiliki warga desa.

“Kapasitas sosial warga desa bisa dipetakan misalnya berapa banyak warga yang menempuh pendidikan sampai perguruan tinggi dan berapa jumlah pengusaha atau pedagang yang ada di desa,” katanya.

Vansianus Masir adalah Wakil Komisaris Bidang Pengembangan Kapasitas Kader DPK GMNI STPMD ‘APMD’ Yogyakarta.

Artikel ini terbit di halaman khusus KoLiterAksi. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pemerhati pendidikan ataupun masyarakat umum dan tertarik menulis di sini, silahkan kirimi kami artikel. Ketentuannya bisa dicek dengan klik di sini!

Artikel Terbaru

Baca Juga Artikel Lainnya