Sejarah umat manusia menunjukkan bahwa agama merupakan salah satu hal fundamental dalam kehidupan. Manusia memeluk suatu ágama – dalam upaya membangun relasinya dengan Tuhan yang diimani – adalah bagian dari eksistensi dirinya sebagai makhluk religius.
Relasi dengan Tuhan membuat manusia semakin menegaskan eksistensinya sebagai makhluk bermartabat dibanding makhluk hidup lainnya.
Komposisi penduduk Indonesia dengan jumlah penganut enam agama besar, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu menunjukan kekayaan kebudayaan dan religiositas.
Konstitusi menetapkan bahwa negara didasarkan pada keyakinan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana yang termaktub dalam Pancasila. Konstitusi juga menjamin kebebasan beragama kepada setiap warga negara.
Semboyan Bhineka Tunggal Ika – berbeda-beda tetap satu – yang telah ada sejak zaman para pendiri bangsa menjadi landasan kuat bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam cara pandang ini, perbedaan dalam memeluk agama merupakan kekayaan bangsa yang perlu disyukuri, bukannya membuat kita harus terpecah belah.
Tidak ada satu agamapun di dunia ini yang mengajarkan kekerasan kepada umatnya. Agama selalu mengajarkan damai, cinta kasih dan keharmonisan. Hal ini senada dengan pandangan humanisme, bahwa manusia adalah makhluk yang perlu dihargai, dicintai dan diterima sebagai pribadi-pribadi istimewa yang bermartabat.
Agama dan Akal Sehat
Namun, fakta juga menunjukan bahwa orang beragama bisa juga berlaku sebaliknya, yang bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam agama.
Atas nama agama orang bisa melakukan berbagai tindak kekerasan. Bahkan, kekerasan terhadap umat agama lain dianggap sebagai salah satu wujud nyata dari ajaran agama.
Mengapa kekerasan atas nama agama masih saja terjadi? Salah satu pemicunya adalah kurangnya memberi tempat pada akal sehat dalam beragama.
Agama dan akal sehat tidak bertentangan. Akal sehat justru mengesahkan primatnya sebagai bagian esensial dalam keputusan sebagai manusia beriman dan aplikasi iman itu dalam kehidupan praktis.
Anselmus dari Canterbury mengatakan “iman mencari pengertian” (Fides querens intellectum). Artinya, iman yang benar selalu terus mencari pengertian yang lebih dalam dari apa yang diterima sebagai sebuah kepercayaan.
Dalam hal ini, umat beragama tidak hanya dituntut percaya kepada Tuhan, tetapi juga mengedepankan akal sehat, nalar atau ratio untuk bisa memilah, membedakan dan menentukan sikap dan perilaku mana yang baik dan benar secara hukum dan moral.
Untuk itu, dalam menerjemahkan ajaran agama, manusia tidak hanya membutuhkan iman, tetapi juga akal sehat.
Logika atau akal sehat selalu diandaikan lahir dari pengetahuan yang luas dan benar. Beragama secara rasional mensyaratkan bahwa iman dan intelektual harus berkembang secara seimbang dan sehat.
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, seharusnya mengantar manusia pada pemahaman yang luas, untuk mempertanyakan dan bahkan berani mengkritisi klaim-klaim dalam agama yang bertentangan dengan kemanusiaan.
Alasanya adalah hidup beragama tidak berhenti pada relasi dengan Tuhan semata, namun juga relasi dengan sesama dan alam sekitar.
Kepercayaan pada ajaran agama tanpa menggunakan akal sehat justru akan mengaburkan kebenaran yang hakiki.
Makin Bergama, Makin Manusiawi
Karena itulah, idealnya, orang yang semakin taat beragama akan semakin manusiawi. Manusiawi karena memiliki akal budi yang memampukannya memilah dan membedakan antara yang baik dan yang jahat.
Agama menjadi tempat orang dapat membangun kesadaran sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang mulia dan bermartabat.
Dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan yang kaya akan keanekaragaman suku, bahasa, ras, agama, dan budaya, membangun kesadaran akan keragaman adalah suatu keniscayaan.
Setiap warga negara pun harus memiliki pengetahuan dan wawasan seluas dan sekaya pluralitas yang ada.
Hanya dengan cara demikian, orang akan dapat saling menerima, saling mengerti dan mau bekerja sama membangun negara ini.
Florensia Imelda Seran adalah mahasiswi STIPAS Santo Sirilus Ruteng
Editor: Ryan Dagur