JPIC Keuskupan Ruteng Gelar Ibadat Ekologis dan Edukasi Protokol Perlindungan Anak di SMAS St. Gregorius Reo

‘Safeguarding Policy,’ terkait perlindungan anak sangat penting untuk diterapkan di sekolah, bahkan menjadi sebuah kemendesakan, kata JPIC

Komisi Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) Keuskupan Ruteng mengunjungi SMAS St. Gregorius Reo pada 5 April, bagian dari agenda implementasi program tahun Pastoral Ekologi Integral di tingkat sekolah, khususnya sekolah-sekolah Katolik. 

Dalam kunjungan itu, tim JPIC menggelar ibadat ekologis dan edukasi protokol perlindungan anak.

Ibadat ekologis dimulai pada pukul 10.00 Wita, dilanjutkan dengan penanaman secara simbolis anakan pohon di halaman sekolah.

Usai Ibadat, para guru dan pegawai langsung mengikuti sosialisasi di aula sekolah tentang edukasi perlindungan anak.

Romo Martin Cen, Direktur Pusat Pastoral Keuskupan Ruteng yang juga Ketua Komisi JPIC memimpin Ibadat ekologis, didampingi Kepala Sekolah SMAS St. Gregorius Reo, Romo Oriol Dampuk. 

Ibadat tersebut berlangsung di Gua Maria di halaman tengah sekolah. 

Meskipun diwarnai cuaca yang mendung dan genangan air hujan di lokasi ibadat, acara masih bisa berjalan dengan baik.  Sebagian guru dan siswa yang tergabung dalam kelompok minat Gregorius Pecinta Alam (GREPALA) tenggelam dalam suasana doa.

Para siswa SMAS St. Gregorius Reo mengikuti ibadat ekologis yang dipimpin RD. Martin Chen, Ketua Komisi JPIC Keuskupan Ruteng. (Dokumentasi SMAS St. Gregorius Reo)

Pada awal kegiatan ibadat,  beberapa siswa menampilkan sebuah drama yang menggambarkan pola dan tindakan hidup manusia yang merusak lingkungan hidup.

Diiringi  lagu Manggarai berjudul Ngkiong, para pelakon dramatisasi yang berkolaborasi dengan para penari memberikan pesan menggugat nurani dan pikiran, perihal pola dan gaya hidup manusia sudah terlalu jauh merusak lingkungan.

Dalam khotbahnya, Romo Martin memulainya dengan menegaskan sebuah pesan bahwa Allah menciptakan alam ini baik, indah, dan harmonis adanya.  

“Setiap kali Allah menyelesaikan pekerjaannya baik dari hari pertama sampai dengan hari terakhir (hari ke-6), Ia melihat semuanya itu baik”, katanya mengutip bunyi bacaan dari Kitab Kejadian.

Namun, lanjutnya, sekarang keadaannya terbalik. 

Alam, kata dia, mengalami kerusakan yang luar biasa akibat ulah manusia, sebagaimana yang ditandaskan oleh Paus Fransiskus dalam ensikliknya,  Laudato si tentang bumi sebagai rumah kita bersama.

Ia menambahkan, ada dua bentuk ulah manusia yang menjadi penyebab utama kerusakan tersebut, yakni mental dan gaya hidup konsumtif serta mental membuang.

“Mental dan gaya hidup konsumtif berhubungan dengan cara hidup yang boros, dimana manusia tidak pernah puas dengan sesuatu. Mental ini yang membuat manusia selalu mau mengeruk alam ini sampai habis,” katanya.

Sementara mental membuang, jelasnya, berhubungan dengan cara hidup manusia yang suka mencemari alam.

Kenyataan tersebut, kata Romo Martin, mengajak kita untuk melakukan pertobatan ekologis, sebagaimana yang diserukan oleh Paus Fransiskus. 

“Pertobatan ekologis berarti adanya kemauan untuk mengakui dosa-dosa terhadap lingkungan dan berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan lingkungan alam,” katanya.

Usai ibadat dilanjutkan dengan penyampaian materi edukasi protokol perlindungan anak yang dihadiri para guru dan pegawai, dengan tema Safeguarding Policy. 

Romo Martin berkata Safeguarding Policy sangat penting untuk diterapkan di sekolah, bahkan menjadi sebuah kemendesakan.

“Hal tersebut berangkat dari kenyataan bahwa ada banyak anak yang mengalami kasus kekerasan dalam berbagai bentuk dan dimensinya, khususnya di lingkungan sekolah,” katanya.

Safeguarding Policy, katanya, perlu dibuat oleh sekolah agar anak-anak bisa bebas dari lingkaran kekerasan yang sudah lama mereka alami. 

“Anak-anak adalah pribadi yang paling rentan mengalami kekerasan. Mereka mudah untuk dimanipulasi perasaannya, dilecehkan hak dan fisiknya,” katanya.

“Oleh karena itu, anak-anak mesti menjadi kelompok yang menjadi prioritas utama untuk dilindungi dan dijaga. Sebagaimana orang dewasa, anak-anak juga punya martabat yang harus dihormati dan dihargai,” tambahnya.

Romo Martin juga menjelaskan tentang prinsip-prinsip yang mesti diperhatikan oleh sekolah dalam mewujudkan kebijakan perlindungan anak.

“Sekolah perlu membangun sinergitas dengan semua pihak, yakni orang tua, lembaga gereja, dan pihak pemerintah,” katanya.

Dalam sesi diskusi, Romo Martin juga menegaskan bahwa pendekatan kekerasan sangat tidak dianjurkan dalam proses pendidikan anak.

“Pendekatan kekerasan memang bisa menciptakan ketaatan terhadap anak, tetapi itu bersifat palsu dan sementara,” tegasnya.

Para guru SMAS St. Gregorius Reo berfoto bersama Romo Martin Cen, usai mengikuti sosialisasi protokol perlindungan anak. (Dokumentasi SMAS St. Gregorius Reo)

Sementara itu, Kepala SMAS St.Gregorius Reo, Romo Oriol Dampuk berterima kasih kepada tim JPIC Keuskupan Ruteng beserta guru-guru yang sudah terlibat dalam ibadah ekologis dan  edukasi protokol perlindungan anak. 

“Saya mengajak kita untuk bisa menghidupi semangat mencintai lingkungan hidup dan semangat ramah anak sebagai buah dari dua kegiatan penting yang telah dilaksanakan,” katanya.

Ia juga berterima kasih kepada tim JPIC Keuskupan Ruteng yang menyelenggarakan kegiatan tersebut.

Laporan Febry Nagut, Guru SMAS St. Gregorius Reo

Editor: Herry Kabut

Artikel ini terbit di halaman khusus KoLiterAksi. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pemerhati pendidikan ataupun masyarakat umum dan tertarik menulis di sini, silahkan kirimi kami artikel. Ketentuannya bisa dicek dengan klik di sini!

Artikel Terbaru

Baca Juga Artikel Lainnya