Floresa.co – Sebuah organisasi mahasiswa di Yogyakarta menggelar diskusi yang menekankan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam ruang publik.
Mereka menilai dominasi laki-laki dalam ruang publik terjadi karena perempuan belum memiliki keberanian yang cukup untuk bersuara.
Merespons situasi tersebut, Kelompok Studi Tentang Desa [KESA], organisasi mahasiswa yang berbasis di Yogyakarta menggelar diskusi bertajuk “Prahara Partisipasi Perempuan dalam Ruang Diskusi” pada 27 Maret.
Diskusi yang berlangsung di teras Perpustakaan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa [STPMD] “APMD” dipandu Anastasya Vedruna W. Ngole, Kepala Urusan Pemberdayaan Perempuan KESA, dengan pemantik Apriana H. Mayu dari Friend Peace Team.
Apriana mengatakan bahwa saat ini ruang publik sudah tersedia bagi perempuan, bukan hanya untuk laki-laki.
Dulu, kata dia, peran perempuan dalam ruang publik dibatasi dan tidak beri kesempatan untuk menyampaikan pendapat.
Kendati demikian, katanya, perempuan belum memanfaatkan ruang publik dengan baik.
“Ketika kesempatan itu sudah terbuka lebar, perempuan masih takut untuk bersuara,” ungkapnya.
Apriana mengatakan rendahnya keterlibatan perempuan dalam mendiskusikan masalah-masalah publik terjadi mereka masih mengalami “penindasan.”
Penindasan tersebut, kata dia, tidak lagi disebabkan oleh laki-laki, tetapi oleh ketakutan dan kecemasan perempuan itu sendiri.
Masalah yang dihadapi perempuan, katanya, adalah “ketidakmampuan untuk melihat ruang” serta “rendahnya kesadaran untuk terlibat aktif” dalam setiap kesempatan diskusi.
“Setiap kali datang diskusi kita mesti bertanya, mengapa saya berada di sini? Kita hadir untuk terlibat dan bersuara bukan diam membatu,” katanya.
Ariana mengatakan agar bisa terlibat dalam diskusi, perempuan harus melepaskan berbagai persoalan yang dialami di kos maupun di tempat lain.
Perempuan, kata dia, juga harus melepaskan kecemasan akan hari esok sehingga bisa lebih fokus saat mengikuti diskusi.
“Kita sepenuhnya harus sadar ada di sini, saat ini, sekarang,” ungkapnya.
Apriana mengatakan pada dasarnya laki-laki dan perempuan setara serta memiliki harkat dan martabat yang sama.
Pandangan laki-laki tidak boleh menangis atau perempuan harus kerja di dapur, kata dia, bukan sesuatu yang terjadi secara alamiah, melainkan hasil konstruksi sosial.
Karena itu, kata Apriana, “kita tidak boleh hidup berdasarkan penilaian orang lain karena kita akan kehilangan jati diri.”
“Sampai kapan pun, konstruksi sosial itu tidak pernah selesai dan pendapat orang lain terhadap kita berbeda-beda,” katanya.
Apriana mengatakan agar tidak ditindas, perempuan mesti menjemput dan memanfaatkan setiap kesempatan diskusi dan ruang publik dengan maksimal.
Ruang publik, kata dia bukan hanya milik laki-laki, tetapi juga perempuan.
Karena itu, katanya, perempuan perlu diberi ruang yang sama dengan laki-laki.
Angelica P. Gunawan, seorang anggota KESA mengatakan partisipasi perempuan dalam ruang diskusi bertujuan meningkatkan kepercayaan diri, memperluas pengetahuan, menambah relasi dan pengalaman serta melatih kemampuan public speaking.
Partisipasi perempuan dalam ruang-ruang diskusi, kata dia, memiliki makna bahwa pada dasarnya, “laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk berbicara dan mengutarakan pendapat.”
Vansianus Masir adalah anggota Kelompok Studi Tentang Desa [KESA] Yogyakarta.
Editor: Herry Kabut