Salah satu pesan utama dalam Laudato Si [2015], ensiklik Paus Fransiskus tentang bumi sebagai rumah kita bersama adalah ”setiap krisis tertentu merupakan bagian dari satu krisis sosial-ekologis yang kompleks yang menuntut pertobatan ekologis yang sesungguhnya.”
Pernyataan itu, sebagaimana dikutip dari rangkuman isi ensiklik itu oleh Isabela Piro – diterjemahkan oleh Pastor Martin Harun, OFM dalam “Dokumen Vatikan tentang Ekologi Integral: Menjaga Alam Ciptaan adalah Tanggung Jawab Setiap Orang” – mengingatkan kita tentang pentingnya mengambil langkah demi merespons krisis sosial-ekologis.
Kita memang sedang hidup di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, pada saat yang sama keberpihakan pada peningkatan kualitas ekologi justru merosot. Hal itu tampak dalam berbagai persoalan lingkungan saat ini, di berbagai wilayah, yang salah satunya memicu perubahan iklim.
Dampak buruk dari situasi ini menimpa semua orang, terlebih lagi kelompok masyarakat kecil. Mereka menjadi bagian dari elemen yang paling rentan.
Pertobatan ekologis bisa diwujudkan dalam berbagai cara dan dalam berbagai bidang kehidupan.
Salah satu tempat untuk menghidupi hal ini adalah dalam dunia pendidikan.
Hal ini kiranya sejalan dengan konsep pendidikan yang berkelanjutan [Education for Sustainable Development]. Dalam konsep ini, pendidikan tidak sekedar proses diskusi tentang ilmu pengetahuan.
Lebih dari itu, pendidikan adalah upaya mencapai perubahan dalam ilmu pengetahuan [kognitif], nilai-nilai kehidupan, sikap sosial [afektif], dan keterampilan [psikomotorik] untuk mewujudkan kehidupan yang berkelanjutan dan merata/adil untuk semua [education for all].
Dalam konteks mewujudkan hal ini, menurut saya, sekolah-sekolah perlu menjadi ”tempat sentral baru” mengembangkan pertobatan ekologis, sebuah perubahan cara pikir dan perilaku terhadap lingkungan. Sekolah menjadi tempat memelihara dan menghidupi pemikiran kritis dan tindakan yang bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Dengan demikian, melalui pendidikan yang berkelanjutan setiap warga sekolah menyadari pentingnya hubungan antara manusia dengan dunia sebagai ciptaan.
Kurikulum Merdeka dan Pertobatan Ekologis di Sekolah
Agar pendidikan mencapai tujuan tersebut maka diperlukan kurikulum. Kurikulum menjaga agar pendidikan tetap berada pada relnya, yaitu mencapai mutu yang lebih baik. Mutu pendidikan yang baik tergambar pada lahirnya pribadi-pribadi yang berimbang antara laku dan ilmu pengetahuan sesuai jenjang pendidikannya.
Dalam Kurikulum Merdeka saat ini terdapat Profil Pelajar Pancasila, merujuk pada ciri karakter dan kompetensi yang diharapkan diraih peserta didik berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila.
Salah satu elemen dalam Profil Pelajar Pancasila menekankan aspek beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Poin ini diwujudkan dalam akhlak yang baik pada diri sendiri, sesama manusia, alam, dan menumbuhkan jiwa nasionalisme.
Upaya mewujudkan keberimbangan akhlak tidak bisa hanya dengan memberikan pengajaran-pengajaran di rumah dan di sekolah. Perlu ada aksi nyata atas pengajaran di sekolah dan rumah.
Hemat saya konsep terbaik dalam model ini adalah belajar sembari melakukan sesuatu [learning by doing] yang dipopulerkan oleh John Dewey. Salah satu bentuk belajar melalui tindakan sebagai upaya mencapai Profil Pelajar Pancasila adalah menanam pohon.
Dengan demikian, kita tidak lagi sebatas melakukan aksi-aksi seperti reduce, reuse, dan recycle, tetapi dibarengi dengan upaya penghijauan di sekolah-sekolah.
Tamat dengan Tanam Pohon, Bukan Coret Baju
Di sekolah kami, Sekolah Dasar Inpres Momang Mese [SDI Momang Mese], Desa Compang Ndejing, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur, salah satu langkah konkret mewujudkan pertobatan ekologis ini adalah dengan mengintervensi secara positif perayaan kelulusan peserta didik.
Kami memilih menamakannya dengan aksi ‘Tamat dengan Tanam Pohon.” Lewat program ini kami ingin mengganti perayaan kelulusan yang biasa dilakukan dengan aksi corat-coret baju dengan hal yang lebih penting, substansial.
Program ini kami mulai pada 2021. Tahun ini programnya kami adakan pada 10 Juni, bertepatan dengan pengumuman kelulusan.
Program ini sesuai dengan tujuan sekolah kami menjadi sekolah adiwiyata pada 2026.
Dalam aksi ini setiap anak yang lulus menyumbang masing-masing satu pohon untuk ditanam di sekolah dan di Kampung Purang Mese.
Mengapa kami memperkenalkan program ini?
Tentu kita tidak ingin aksi-aksi baik di sekolah selama enam tahun pudar sesaat dengan perayaan kelulusan yang tidak berfaedah, seperti corat-coret baju. Landasannya jelas, prinsip pendidikan adalah berkelanjutan.
Selain dalam rangka menuju sekolah adiwiyata, tanam pohon merupakan cara sekolah menjawab tantangan kerusakan ekologis, sebagaimana yang kini menjadi kekhawatiran kita semua, termasuk yang termaktub dalam ensiklik Laudato Si pada pembuka artikel ini.
Kepala SDI Momang Mese, Marselus Marung mengingatkan kepada kami pada aksi 10 Juni bahwa “kita tahu banyak pemberitaan tentang kerusakan lingkungan.”
Karena itu, katanya, SDI Momang Mese mencoba untuk menanamkan kebiasaan baik pada peserta didik untuk menjaga lingkungan sekitar.
Bukan Aksi Sesaat, Pentingnya Kolaborasi
Tentu saja, implementasi peduli lingkungan ini tidak sebatas aksi sesat. Sekolah kami juga memiliki program lain, seperti sekolah bebas sampah plastik, penggunaan pupuk kompos pada tanaman di taman kelas dan aksi tanam pohon di luar wilayah sekolah dalam kolaborasi dengan elemen lain, baik pemerintah maupun lembaga keagamaan seperti Gereja Katolik.
Dalam kerja sama dengan Gereja Katolik adalah menjalankan aksi tanam pohon bagi peserta didik yang akan menerima Komuni Pertama. Hal ini sudah dimulai pada 2019.
Aksi ini juga tidak tidak hanya dilakukan bagi peserta didik yang akan tamat sekolah. Untuk peserta didik yang masih mengenyam pendidikan, implementasinya dilakukan lewat ekstrakurikuler Pramuka.
Hal penting lain dalam aksi seperti ini adalah kolaborasi sekolah dengan masyarakat.
Aksi pada 10 Juni dihadiri orang tua murid, komite sekolah dan pemerintah desa.
Sekretaris desa, Siprianus Jono yang hadir saat itu menyebut aksi ini bagian dari partisipasi aktif dalam mewujudkan Desa Compang Ndejing sebagai desa wisata.
”Kami aparat Desa Compang Ndejing sangat mengapresiasi kegiatan-kegiatan cinta lingkungan yang dilakukan oleh para guru dan anak-anak didik di SDI Momang Mese. Kegiatan seperti pungut sampah plastik di kampung dan di lokasi wisata Ligota Beach serta tanam pohon sangat mendukung tercapainya Desa Compang Ndejing sebagai desa wisata unggulan,” katanya.
Kami juga mendapat dukungan dari Sekretaris Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Manggarai Timur, Bruno Ismail. Melalui pesan via WhatsApp, ia menyebut kegiatan ini “merupakan implementasi Kurikulum Merdeka yang nyata.” “Tanam pohon adalah tindakan nyata yang berkaitan dengan penguatan Profil Pelajar Pancasila tema Gaya Hidup Berkelanjutan,” katanya.
Bruno juga menyebut pelibatan peserta didik, para guru, orang tua siswa, dan stakeholders terkait sebagai “langkah cerdas menanamkan konsep belajar yang bermakna.” “Hendaknya kegiatan ini menjadi program rutin yang senantiasa dilaksanakan dan wajib dievaluasi untuk memperbaiki segala kelemahannya,” tulis mantan Kepala Bidang SD itu.
Di sisi lain, ia berharap “kegiatan ini merupakan suatu proses perencanaan berbasis data yang ada di sekitar satuan pendidikan” sembari mengingatkan bahwa “ada tiga hal penting dalam perencanaan berbasis data , yakni identifikasi, refleksi dan benahi.”
Ketaatan terhadap Alam
Ada satu adagium yang pernah ditulis filsuf Perancis, Francis Bacon, “We cannot command nature except by obeying her: Kita tidak dapat memerintah alam kecuali dengan menaatinya.
Tentu sikap ketaatan kita kepada alam yang telah rusak harus diawali dengan sebuah pertobatan ekologis yang sesungguhnya. Pertobatan ini harus menembus dinding-dinding kelas dan merasuk silabus serta perangkat pembelajaran di kelas-kelas.
Satu siswa satu pohon adalah wujud pertobatan ekologis sejak dini. Itulah yang coba kami wujudkan di SDI Momang Mose.
Viktor Juru adalah guru di SDI Momang Mose, Manggarai Timur
Editor: Ryan Dagur