Target Lulusan Jadi Pelaku Wirausaha, SMK di Lembata Latih Peserta Didik Kembangkan Hortikultura di Sekolah

Peserta didik dilibatkan dalam seluruh rangkaian proses pengembangan usaha hortikultura

Floresa.co – Salah satu Sekolah Menengah Kejuruan [SMK] di Kabupaten Lembata melatih peserta didik untuk tekun dan konsisten membudidayakan tanaman hortikultura, bagian dari upaya menghasilkan lulusan yang bisa menjadi pelaku wirausaha atau entrepreneur masa depan. 

SMK Negeri I Lewoleba, Kecamatan Nubatukan itu mengembangkan usaha tersebut dengan melibatkan peserta didik Jurusan Agribisnis Tanaman Pangan dan Hortikultura (ATPH).

Kristina Dudeng, kepala sekolah tersebut berkata, Jurusan ATPH merupakan bagian integral dari implementasi brand sekolah, yaitu “menyiapkan mutu lulusan yang siap bekerja, berwirausaha dan melanjutkan.”

Jurusan itu, katanya, menjadi strategis karena “belum tentu semua orang tua bisa melanjutkan anaknya ke perguruan tinggi” setelah tamat sekolah menengah.

“Usai lulus, fokus mereka bisa langsung bekerja dan mendapat keuntungan dari usaha,” katanya.

Kristina berkata, menghasilkan pelaku wirausaha juga kian jadi prioritas sekolah semenjak pemberlakuan Kurikulum Merdeka pada 2021.

Implementasi mutu lulusan ini, jelasnya, juga mencakup Jurusan Teknik Permesinan, Teknik Komputer Jaringan, Agribisnis Ternak Unggas, Agribisnis Perikanan Air Tawar dan Nautika Penangkapan Ikan. 

Raup Jutaan Rupiah

Ketua Jurusan ATHP, Hermanus Hebong, berkata, “usaha budidaya tanaman hortikultura memang menjanjikan di masa depan dan memberi keuntungan ekonomis jika fokus dan tidak gengsi.” 

Ia belajar dari praktik baik usaha pelajar Jurusan ATPH yang pada Juni  mendapat keuntungan Rp2.450.000 dari hasil penjualan tanaman cabe, kacang panjang, paria, kangkung dan terong. 

Keuntungan terbesar berasal dari penjualan 100 polybag cabe yang mencapai Rp800.000.  Keuntungan lainnya diperoleh dari penjualan 100 polybag tanaman kacang panjang Rp400.000, terung Rp500.000, sawi Rp200.000, paria Rp300.000, dan kangkung Rp250.000.

Herman berkata, penghasilan ini diperoleh dari dua kali panen dalam sebulan.

Tanaman hortikultura banyak diminati warga Lewoleba dengan konsumen yang “menyasar ke pembeli ibu rumah tangga dan perkantoran,” katanya kepada Floresa.

“Langganan tetap kami pegawai dari kantor kejaksaan, yang jaraknya beberapa meter dari kebun ini.”

Sementara tanaman cabe, kata dia, memiliki target sendiri, yakni penjual di Pasar Pada dan Pasar Tempat Pelelangan Ikan Lewoleba.

“Di dua pasar ini, kami sudah ada pelanggan tetap,” katanya.

Keuntungan dari hasil usaha itu dipakai untuk operasional, modal pembelian bibit dan disumbang ke sekolah.

Pada Oktober, kata Herman, jenis tanaman yang sama akan dipanen lagi dan diperkirakan bisa meraup keuntungan yang lebih besar.

Pupuk Bokashi

Selain mengurus tanaman hortikultura, Jurusan ATPH juga memproduksi pupuk organik, yang dikenal dengan bokashi, kata Herman.

Pembuatan pupuk bokhasi dipraktikkan di ruang khusus yang dikelola pelajar kelas XI Jurusan ATPH.

Dalam proses pembuatan, di mana pelajar dilibatkan langsung dari awal hingga proses produksi, mereka juga dibekali pengetahuan mengenai pemanfaatan bahan dasar pupuk bokashi, yang diperoleh dari lingkungan sekitar.

Pupuk bokashi hasil usaha pelajar SMKN I Lewoleba Jurusan Agribisnis Tanaman Pangan dan Hortikultura. (Adrian Naur)

Ia menjelaskan, bahan baku pupuk bokashi adalah komposisi feses kambing, dedak padi, gula pasir, dan EM4

Effective Microorganism 4 (EM4) merupakan larutan yang mengandung  bakteri, termasuk aktivator yang dapat membantu mempercepat proses pengomposan. 

Untuk volume pembuatannya, kata Herman, dibutuhkan satu ton feses kambing, 50 kilogram dedak, dan satu dus gula pasir.

Kualitas pupuk bokashi, katanya, ditentukan dari proses fermentasi selama satu minggu. Selama itu, campuran pupuknya harus dibolak-balik setiap hari.

Ia juga menjelaskan pentingnya volume air untuk menjaga kualitas kelembaban campuran.

Herman berkata, setiap empat kilogram pupuk bokashi dijual Rp. 20.000, dan peserta didik dilibatkan langsung dalam pemasaran.

“Dinas Pertanian melalui tangan pengusaha pernah memborong satu ton pupuk bokashi dengan total pembelian lima juta rupiah,” katanya.

“Pupuk bokashi yang sama digunakan untuk tanaman hortikultura yang kini sedang diusahakan oleh para pelajar,” kata Herman. 

Ia menjelaskan, lewat Jurusan ATPH, para pelajar diajarkan untuk memiliki tanggung jawab, kepekaaan, dan berani kotor untuk sesuatu yang berguna, bagian dari pembentukan karakter mereka.

Kepala SMKN I Lewoleba, Kristina Dudeng berkata, selain Jurusan ATPH, Jurusan Agribisnis Ternak Unggas juga mendorong para pelajar untuk memproduksi ayam petelur dalam jumlah banyak.

Jurusan ini, kata dia, tengah mengupayakan menambah jumlah bibit ayam petelur mencapai ribuan sekali panen.

“Kandang kami masih skala kecil. Beberapa bulan lagi akan disediakan kandang lebih besar untuk produksi ayam petelur,” katanya.

Apa Kata Peserta Didik?

Pada 14 September, Floresa menjumpai Maria Intan B. Jagong, salah satu peserta didik Jurusan ATPH.

Sejak pukul 09.00 Wita, ia tekun mengurusi tanaman sawi, kangkung, paria, dan cabe. 

Intan, sapaannya, terlihat hilir mudik dengan embernya untuk menyirami kangkung dan sawi.

Beraktivitas di bawah terik matahari, ia memastikan kelembaban tanaman yang sedang disemai.

Salah seorang pelajar kelas XII SMK Negeri I Lewoleba sedang membersihkan tanaman di kebun hortikultura. (Adrian Naur)

Intan berkata, sejak pukul 06.00 ia sudah berada di sekolah yang berjarak satu kilometer dari tempat tinggalnya di Kompleks Lorong Sengsara.

Intan yang berasal dari Nilo, Maumere di Kabupaten Sikka, mengaku memilih Jurusan ATHP karena ingin “mempersiapkan diri bekerja mandiri.”

“Setamat dari SMKN I Lewoleba, saya ingin buka kebun di sekitar bukit Nilo,” katanya, merujuk ke kampung halamannya itu di Desa Wuliwutik, Kecamatan Nita yang dikenal sebagai salah satu tempat wisata religi.

Intan mengatakan lebih senang belajar di luar ruangan karena “langsung memahami proses persemaian bibit dan cara merawat tanaman hortikultura.”

Editor: Ryan Dagur

Artikel ini terbit di halaman khusus KoLiterAksi. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pemerhati pendidikan ataupun masyarakat umum dan tertarik menulis di sini, silahkan kirimi kami artikel. Ketentuannya bisa dicek dengan klik di sini!

Silahkan gabung juga di Grup WhatsApp KoLiterAksi, tempat kami berbagi informasi-informasi terbaru. Kawan-kawan bisa langsung klik di sini.

Artikel Terbaru

Banyak Dibaca

Baca Juga Artikel Lainnya