Floresa.co – Komersialisasi yang berujung pada mahalnya biaya pendidikan menyebabkan warga sulit mengakses perguruan tinggi. Sementara itu, upah murah, waktu kerja yang panjang dan kontrak kerja yang tidak jelas membuat buruh semakin tersiksa, demikian kata aktivis yang berbicara dalam diskusi publik mahasiswa di Yogyakarta baru-baru ini.
Karena itu, para pembicara meminta mahasiswa melakukan konsolidasi dan memperkuat diri dari sisi teori dan praktik untuk melawan sistem yang menindas rakyat.
Berlangsung di aula kampus Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa [STPMD] “APMD,” diskusi bertajuk “Neo-liberalisasi dalam Sektor Pendidikan dan Kondisi Buruh Indonesia” itu diselenggarakan pada 7 Mei.
Diskusi yang digelar untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional dan Hari Buruh Internasional itu diadakan dalam kolaborasi beberapa organisasi eksternal dan internal Kampus STPMD “APMD” yakni Serikat Mahasiswa Indonesia, Front Mahasiswa Nasional, Himpunan Mahasiswa Islam, Kelompok Studi Tentang Desa dan Himpunan Mahasiswa Jurusan Pembangunan Masyarakat Desa.
Diskusi yang dihadiri puluhan mahasiswa itu dipandu Asrul Maharaja Loilatu, mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” serta dipantik Erlangga HB dari Sentral Perjuangan Tani Indonesia dan Britha Maharani dari Departemen Advokasi Federasi Serikat Buruh Kerakyatan.
Liberalisasi dan Komersialisasi Pendidikan
Erlangga mengatakan pendidikan merupakan suatu instrumen kebudayaan yang digunakan masyarakat untuk memajukan kemampuan berpikir sehingga dapat menuntun mereka dalam mencapai taraf hidup yang lebih baik.
Namun, kata dia, alih-alih diciptakan untuk memecahkan dan menjawab persoalan-persoalan yang berkembang di tengah masyarakat, pendidikan di Indonesia justru diciptakan sedemikian rupa untuk “mengabdi pada kepentingan kelas yang menguasai sistem ekonomi.”
Ia berkata “sistem pendidikan kita diorientasikan untuk menciptakan pasar tenaga kerja murah yang dihisap dan dieksploitasi” demi meraup “super profit” bagi industri milik kaum borjuis atau pemilik modal, alih-alih melayani kepentingan rakyat terutama kaum buruh dan kaum tani.
Dalam perkembangannya, kata dia, pendidikan tidak dikontrol sepenuhnya oleh negara, tetapi dikooptasi dan diatur sesuai dengan mekanisme pasar.
“Semangat inilah yang melahirkan liberalisasi terhadap pendidikan,” katanya.
“Sekarang, kita tidak hanya berada pada pasar bebas, tetapi juga hegemoni kapitalisme yang memonopoli segala lini kehidupan. Ketika pendidikan diatur oleh mekanisme pasar, sama saja kita menyerahkannya pada mekanisme kapitalisme,” tambahnya.
Erlangga mengatakan liberalisasi itu dimulai ketika Indonesia bergabung sebagai anggota World Trade Organization [WTO] pada 1994 dan menandatangani General Agreement on Trade in Services [GATS] yang mulai berlaku pada Januari 1995.
Imbasnya adalah “negara mengurangi subsidi ke sektor pendidikan.”
Pada era B.J Habibie, kata dia, Indonesia meratifikasi GATS melalui Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum yang kemudian membuat tujuh kampus negeri ditetapkan sebagai Badan Hukum Milik Negara.
Ketujuh kampus itu, katanya, yaitu Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Sumatera Utara dan Universitas Pendidikan Indonesia.
Ia berkata peraturan tersebut menjadi rujukan bagi lahirnya Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan [RUU-BHP] yang kemudian menjadi payung hukum bagi liberalisasi perguruan tinggi dan “negara mulai melepaskan tanggung jawab atas sektor pendidikan terutama terkait pembiayaan.”
Pada 2004, saat rezim Megawati Soekarnoputri, negara-negara anggota WTO didorong untuk menjalankan Structural Adjustment Program, yang salah satu isinya adalah “mengurangi subsidi pendidikan agar bisa meraup keuntungan yang lebih besar.”
“Saat itu, International Monetary Fund memberikan bantuan kepada Indonesia sebesar 114 juta dolar AS agar menjalankan program tersebut,” ungkapnya.
Erlangga mengatakan tidak berhenti sampai di situ, pada 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono [SBY] menandatangani kesepakatan utang dengan Bank Dunia lewat program Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency.
Pada hakikatnya, kata dia, program tersebut bertujuan menyesuaikan pendidikan tinggi dengan kebutuhan industri negara kapitalis yang menanamkan investasinya di Indonesia.
Ia berkata empat tahun kemudian RUU-BHP disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, tetapi setahun kemudian dicabut oleh Mahkamah Konstitusi akibat “perlawanan hebat mahasiswa dan seluruh rakyat Indonesia.”
Tiga tahun kemudian, pada periode kedua pemerintahan SBY, kata dia, lahir Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang memiliki nafas dan semangat yang sama dengan Undang-Undang sebelumnya yakni meliberalisasi pendidikan dengan “menyerahkannya pada mekanisme pasar dan mengurangi peran negara seminimal mungkin.”
“Bedanya, Undang-Undang sebelumnya mengatur liberalisasi pada seluruh jenjang pendidikan, sedangkan Undang-Undang terbaru itu hanya mengatur liberalisasi pada perguruan tinggi,” katanya.
Erlangga mengatakan liberalisasi itu membuat perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri mencari pembiayaannya sendiri-sendiri, terutama dari setoran mahasiswa yang mengakibatkan semakin mahalnya biaya pendidikan dari tahun ke tahun.
Liberalisasi, kata dia, melahirkan masalah baru dalam sektor pendidikan yaitu terjadinya komersialisasi karena “negara mengurangi subsidi anggaran terhadap sektor tersebut.”
“Kampus mencari pendanaannya sendiri, termasuk dengan mengkomersialisasikan aset-asetnya untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya,” katanya.
Erlangga mengatakan komersialisasi itu mendorong kampus bekerja sama dengan banyak institusi dan perusahaan industri, sekaligus menjauhi realitas sosial yang dihadapi kelas buruh dan kaum tani.
Kampus, kata dia, tidak lagi peka terhadap isu kelas buruh dan kaum tani yang ditindas oleh cara kerja yang eksploitatif seperti upah yang tidak sesuai dengan beban kerja, waktu kerja yang panjang dan sistem kontrak yang tidak jelas.
“Alih-alih menjawab persoalan buruh dan kaum tani, pendidikan tinggi justru hanya berorientasi menjawab kebutuhan industri milik kapitalis,” katanya.
Ia mengatakan liberalisasi dan komersialisasi menimbulkan privatisasi dalam sektor pendidikan sehingga perguruan tinggi hanya bisa diakses kelas-kelas tertentu.
Sementara itu, kata dia, kelas buruh dan kaum tani mengalami kesulitan bahkan tidak bisa menikmati pendidikan.
“Akibat tidak bisa mengakses pendidikan tinggi, yang terjadi adalah mayoritas manusia Indonesia semakin bodoh, dibodoh-bodohi dan mudah ditipu,” ungkapnya.
Erlangga mengatakan masuknya nilai-nilai liberalisme dalam kurikulum pendidikan mempengaruhi cara berpikir mahasiswa.
Liberalisme, kata dia, berasal dari subjektivisme individu-individu yang berlandaskan cara berpikir individualistik.
“Maka tidak heran kalau mahasiswa hari ini menjadi sangat individualis. Jarang ditemukan mahasiswa yang resah ketika temannya tidak masuk kelas. Intinya saya masuk kelas, mengisi presensi dan nilai saya baik, selesai. Begitu cara berpikir kebanyakan mahasiswa saat ini,” katanya.
Dengan masifnya cara berpikir individualistik dalam diri mahasiswa, kata Erlangga, maka mereka semakin sulit berkonsolidasi membangun gerakan sosial.
“Ini menjadi tantangan terbaru bagi gerakan mahasiswa,” ungkapnya.
Erlangga juga menyoroti kualitas pendidikan di Indonesia, di mana semua perguruan tinggi tidak memiliki kebaruan ilmu pengetahuan.
Ia menilai perguruan tinggi tidak punya analisis yang mendalam mengenai relevansi suatu teori yang dipakai bertahun-tahun sehingga “yang terjadi adalah doktrinasi dan dogmatisme.”
Perguruan tinggi, kata dia, tidak membentuk cara berpikir mahasiswa yang mampu menerobos dan memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.
“Mahasiswa bahkan bingung dengan dirinya sendiri dan tidak tahu mau ngapain,” katanya.
“Akibat himpitan ekonomi, mahasiswa ingin supaya cepat-cepat selesai kuliah dan segera mendapatkan pekerjaan yang layak seperti menjadi Aparatur Sipil Negara,” tambahnya.

Investasi Dipermudah, Buruh Semakin Sulit
Britha Maharani dari Departemen Advokasi Federasi Serikat Buruh Kerakyatan mengatakan berbicara tentang buruh erat kaitannya dengan sistem ekonomi karena memengaruhi banyak hal.
Misalnya, kata dia, upah kerja rendah yang berdampak pada sulitnya kaum buruh dan kaum tani mengakses pendidikan karena biaya yang mahal.
Ia berkata berbicara tentang buruh tidak bisa dilepaskan dari situasi internasional, yaitu krisis kapitalisme yang sudah berlangsung sejak 1930-an dan semakin parah pasca pandemi Covid-19.
Perang Ukraina-Rusia, kata dia, juga membawa dampak buruk bagi kapitalisme karena sulit merestrukturisasi dirinya.
“Kapitalisme susah payah untuk mengembangkan atau membangkitkan kekuatannya,” katanya.
Ia mengatakan krisis internasional berpengaruh terhadap negara-negara yang punya ketergantungan akan utang, termasuk Indonesia.
Indonesia sedang mengalami kesulitan membayar utang dan untuk membayarnya, “pemerintah menjual sumber daya alam [SDA] kepada investor, termasuk memberi mereka kesempatan untuk berinvestasi dalam membangun Ibu Kota Negara [IKN].”
Britha mengatakan investor semakin mudah berinvestasi di Indonesia terutama setelah pemerintah melahirkan Undang-Undang Cipta Kerja [UU Ciptaker], kendati dinyatakan “inkonstitusional bersyarat.”
Muara dari UU ini, kata dia, adalah mengatasi krisis keuangan negara dan melayani kepentingan negara-negara kapitalis dengan “memberikan kemudahan investasi, mengurangi hak-hak buruh dan tenaga kerja murah.”
“Pasca UU Ciptaker, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dipermudah dan pesangon semakin kecil. Pemerintah menjual Sumber Daya Alam Indonesia kepada investor untuk menutupi utang melalui Undang-Undang ini,” ungkapnya.
Ia mengatakan persoalan yang dihadapi buruh sebetulnya tidak banyak, tetapi sangat menyiksa mereka, misalnya upah rendah bisa membuat orang mati kelaparan.
Untuk bertahan hidup, kata dia, “buruh tidak punya pilihan lain selain mengandalkan upah yang rendah,” kendati syarat-syarat kerja yang tidak manusiawi seperti “tidak adanya jaminan keberlangsungan kerja dan kebebasan berserikat yang dibatasi.”
Namun demikian, menurut Britha, sistem yang buruk merupakan “situasi yang baik untuk membangun dan mematangkan perlawanan menuju sistem ekonomi yang lebih baik.”
“Tugas kita adalah mengambil peran untuk mengubah sistem yang buruk itu,” katanya.
Ia berharap mahasiswa bisa membantu mengorganisasikan, mendidik, mengurai dan mensistematisasi permasalahan kaum buruh dan kaum tani, “sehingga mereka bisa keluar dari situasi yang rumit ini.”
Vansianus Masir merupakan Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta.
Editor: Herry Kabut