Menghadirkan Pendidikan di Kaki Gunung Lewotobi Laki-laki

Dalam keadaan darurat sekalipun, pendidikan tetap perlu diupayakan bagi pengungsi anak

Selagi sejumlah siswa bermain voli, mata Lusia Margareta Futa terpaku pada halaman-halaman Book of Hope, sebuah buku komik anak.

“Selama ini kami sering dapat bantuan beras dan mie. Baru kali ini saya dapat buku begini,” kata siswi berusia 11 tahun itu sembari tersenyum.

Book of Hope yang tengah dibaca Ertin, panggilannya, merupakan bagian dari donasi buku yang dikirimkan komunitas solidaritas Gerakan Kebaikan ke Sekolah Dasar Katolik [SDK] Hewa di Desa Hewa, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur. 

“Melalui donasi buku, kami ingin adik-adik pelajar di pos pengungsian tetap terasah pikirannya dengan banyak-banyak membaca,” kata koordinator Gerakan Kebaikan, Yohanes Vianey Moa.

Ertin bersekolah di SDK Hewa sejak 15 Januari. Ia secara formal tercatat sebagai siswi kelas 5 di SDK Duang, Desa Nawokote, Wulangitang.

Ertin berasal dari Desa Duang, yang berjarak sekitar lima kilometer dari rekahan kawah Gunung Lewotobi Laki-laki.

Tak lama sesudah erupsi pada 1 Januari, ia bersama keluarganya mengungsi ke Desa Hewa.

Saat itu pemerintah melarang warga beraktivitas dalam radius tiga kilometer dari rekahan kawah Lewotobi Laki-laki, sebelum pekan silam diperluas hingga lima kilometer.

Ia mengaku ketakutan pada masa awal mengungsi. Apalagi gemuruh seolah tak berhenti terdengar dari arah Gunung Lewotobi Laki-laki.

Berpekan-pekan dihabiskan dengan duduk dan berbaring alih-alih belajar dan bermain di sekolah membuatnya lebih cepat merasa takut. 

Semenjak kembali bersekolah, “saya jadi tidak takut lagi karena ada banyak teman di sini.”

Begitu pula donasi buku-buku, yang turut memulihkan semangatnya. 

Pagi itu ketika ditanya apakah dirinya ingin mendapat buku bacaan semacam Book of Hope, Ertin tersenyum sembari mengangguk, tanda setuju.

Anak-anak pengungsi yang mengikuti kegiatan belajar-mengajar di SDK Hewa. (Dokumentasi Gerardus Kuma)

Pendidikan di Tengah Bencana

Bencana kerap membawa dampak buruk bagi pendidikan. Akses terhadap layanan dan penyelenggaraan pendidikan terganggu, yang memicu anak-anak untuk sementara kehilangan kesempatan belajar. 

Dalam laporan “Building Indonesia’s Resilience to Disaster” yang diterbitkan pada 2014, Bank Dunia mencatat sebanyak 75 persen sekolah berada di daerah rawan bencana di berbagai wilayah Indonesia. 

Di Kecamatan Wulanggitang, terdapat setidaknya 24 sekolah dari tingkat TK hingga SMA/ SMK yang terdampak erupsi gunung api Lewotobi Laki-laki. Beberapa sekolah harus ditutup karena digunakan sebagai pos pengungsian.

Sementara sejumlah sekolah lainnya harus ditutup lantaran masuk dalam zona merah, berjarak maksimal lima kilometer dari rekahan kawah Lewotobi Laki-laki.

Tercakup dalam zona merah, SD Negeri Bawalatang ditutup sejak awal Januari. Kepala SDN Bawalatang, Theresia Ose Bolen Tukan mengatakan “semua murid mengungsi bersama orang tua mereka. Kami tutup sejak awal semester genap.”

Semester genap menandai periode pembelajaran enam bulan pada Januari hingga Juni. Enam bulan sisanya disebut semester ganjil. 

Anak-anak pengungsi di SDK Hewa sedang membaca buku. (Dokumentasi Gerardus Kuma)

Berkolaborasi Memenuhi Hak Anak

Dalam keadaan darurat sekalipun, pendidikan selayaknya menjadi perhatian utama. Karena itu penghentian aktivitas pendidikan jangan dibiarkan berlarut-larut. 

Berdasarkan Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Dalam Situasi Darurat yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2018, pendidikan dapat dilaksanakan dalam bentuk sekolah darurat sementara.

Proses penyelenggaraan pendidikan dapat dilakukan di tenda-tenda darurat, di tempat umum, di pengungsian dan ruang terbuka yang aman dan nyaman bagi peserta didik.

Kepala Dinas Pendidikan Kebudayaan dan Olahraga Flores Timur, Felix Suban Hoda pada 12 Januari menyatakan sebanyak 3.428 siswa terdampak erupsi Lewotobi Laki-laki terpaksa belajar di tenda-tenda pengungsian.

Disitir dari Kompas, sebanyak 1.463 anak di antaranya merupakan siswa SD, jumlah pengungsi anak terbesar berdasarkan tingkat pendidikan.

Anak-anak pengungsi yang mengikuti kegiatan pemulihan trauma (trauma healing) yang diselenggarakan oleh PGRI Flores Timur. (Dokumentasi Gerardus Kuma)

Meski belum maksimal, paling tidak usaha keras Felix menjadikan aktivitas pendidikan tidak mati suri.

Saya menilai beberapa upaya dapat dilakukan untuk memaksimalkan kegiatan belajar-mengajar selama masa tanggap darurat bencana erupsi Lewotobi Laki-laki.

Upaya pertama yang dapat dilakukan adalah mendata seluruh siswa dan guru yang terdampak bencana untuk memetakan keberadaan mereka. Pendataan dapat dilakukan oleh instansi masing-masing yang lalu dilaporkan ke Dinas Pendidikan setempat.

Selanjutnya, perlu pembukaan kelas-kelas darurat agar pengungsi anak terpenuhi haknya atas pendidikan. Bagi siswa yang mengungsi ke rumah kerabat mereka di desa lain yang lebih aman, guru dapat mendatangi mereka dan mengajar.

Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, gerakan masyarakat sipil dan masyarakat yang lebih luas perlu berjalan aktif untuk menghadirkan pendidikan bagi para pengungsi anak. 

Kita tidak dapat menolak bencana yang selalu datang tanpa diduga-duga. Yang bisa kita lakukan adalah merawat kolaborasi, sehingga anak-anak tetap terpenuhi haknya atas pendidikan, sembari berharap mereka tak berlama-lama kehilangan kesempatan belajar. 

Gerardus Kuma adalah guru di SMPN 3 Wulanggitang, Hewa, Flores Timur.

Editor: Anastasia Ika

Artikel ini terbit di halaman khusus KoLiterAksi. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pemerhati pendidikan ataupun masyarakat umum dan tertarik menulis di sini, silahkan kirimi kami artikel. Ketentuannya bisa dicek dengan klik di sini!

Artikel Terbaru

Baca Juga Artikel Lainnya