Urgensi Rasa Aman bagi Guru di Sekolah, Berkaca pada Kasus Penganiayaan Guru di Lembata

Upaya membentengi guru dari tindakan kekerasan dilakukan dengan setengah hati. Padahal, guru juga rentan terhadap tindakan kekerasan

Kekerasan terhadap guru kembali terjadi. Damianus Dolu, seorang guru Matematika di Sekolah Menengah Atas Negeri [SMAN] 1 Nubatukan, Kabupaten Lembata dianiaya oleh keluarga salah seorang siswanya pada 19 Februari.

Peristiwa itu terjadi di dalam ruang kelas, tempat yang seharusnya menjadi area yang aman. Saat itu, Damianus sedang mengajar. Tiba-tiba, dua orang laki-laki menerobos masuk ke dalam kelas sambil mengeluarkan kata-kata makian. Selanjutnya, mereka menganiaya Damianus. 

Peristiwa yang dialami Damianus berawal tegurannya terhadap salah satu siswanya, berinisial PAN. Teguran itu disampaikan Damianus ketika ia sedang memeriksa catatan muridnya.

PAN merespons teguran itu dengan kata-kata yang tidak sopan. Mendengar itu, Damianus lalu menepuk pundak PAN, sambil mengingatkan agar menjaga tata krama ketika berbicara dengan orang yang lebih tua.

Sayangnya, teguran dan nasihat itu justru dibalas dengan penganiayaan.

Merespons penganiayaan itu, pada hari yang sama, Damianus melaporkan kasus tersebut ke Polres Lembata dengan nomor LP/B/24/II/2024/SPKT/RES LEMBATA /POLDA NTT.

Sayangnya, pihak kepolisian terkesan lamban memproses laporan Damianus karena sudah sebulan kasus ini dibiarkan mengendap. Polisi baru bergerak cepat setelah kasus ini menjadi viral di media.

Di tengah upaya mencari keadilan lewat jalur hukum, Damianus justru dilaporkan balik ke pihak kepolisian dengan tuduhan melakukan kekerasan terhadap PAN.

Laporan PAN terhadap Damianus sudah diterima Unit Perempuan dan Perlindungan Anak Polres Lembata dengan nomor LP/ B/30/III /SPKT /RES LEMBATA /POLDA NTT. 

Laporan balik ini “sungguh aneh” karena dilakukan setelah upaya mediasi yang melibatkan pihak ketiga ditolak oleh Damianus. Ini dapat dicurigai sebagai konspirasi busuk dalam upaya membarter kasus penganiayaan terhadap Damianus.

Laporan Suluhnusa.com pada 22 Maret menyebutkan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak [P2PA] Lembata diduga mengintervensi kasus ini untuk memenjarakan Damianus. 

Padahal, laporan Kompas.id pada 14 Maret menyebutkan dalam hasil visum PAN, tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan.

Kita berharap dan terus mengawal agar pihak kepolisian bekerja profesional dan tidak “masuk angin” dalam memproses kasus kekerasan terhadap Damianus ini. 

Harapan ini tidak berlebihan sebab guru merupakan sebuah tugas mulia, “tidak boleh dipermainkan begitu saja dan perlu dilindungi.”

Tidak ada orang sukses yang telah melewati pendidikan tanpa sentuhan tangan kasih guru.

Karena itu, tindakan kekerasan terhadap guru sungguh mencemarkan profesi guru dan mencoreng marwah dunia pendidikan.

Apa sebenarnya yang merasuki hati dan pikiran orang tua murid sehingga begitu tega menganiaya guru yang mengajar, mendidik, dan membimbing anak mereka?

Absennya Rasa Aman Guru di Sekolah

Berita tentang kekerasan terhadap guru di lingkungan sekolah yang semakin marak dari waktu ke waktu membuat pilu dunia pendidikan. Hal tersebut menunjukkan absennya rasa aman guru di sekolah. 

Rasa aman guru dalam menjalankan tugas pokoknya seolah hilang.

Laporan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan pada 2019 tentang Kondisi Rasa Aman dan Motivasi Guru dalam Menjalankan Tugas Pokoknya menjelaskan bahwa salah satu faktor penentu keberhasilan pendidikan di Indonesia adalah rasa aman guru dalam bekerja. 

Rendahnya kinerja guru tidak saja dipengaruhi oleh rendahnya profesionalisme dan tingkat kesejahteraan guru, tetapi juga oleh tidak adanya rasa aman dalam bekerja.

Ironisnya, laporan tersebut mengungkap fakta bahwa jaminan rasa aman guru di tanah air dalam menjalankan tugas belum terpenuhi.

Rasa aman merupakan salah satu kebutuhan manusia. Jeanne Ellis Ormrod, dalam bukunya Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang [2009] menjelaskan bahwa berdasarkan hirarki kebutuhan Maslow, manusia memiliki lima kebutuhan dasar.

Secara hirarki, kebutuhan paling dasar adalah fisiologis, yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan keberlangsungan hidup fisik [sandang, pangan, papan]; lalu kebutuhan akan rasa aman dan nyaman di lingkungan; kebutuhan kasih sayang dan hubungan baik dengan orang lain; kebutuhan penghargaan: merasa diri dihargai; dan terakhir kebutuhan aktualisasi diri, untuk mencapai potensi diri sepenuhnya.

Dalam hirarki kebutuhan Maslow, pemenuhan kebutuhan dasar adalah prasyarat pemenuhan kebutuhan di atasnya. Kebutuhan rasa aman, misalnya, akan terpenuhi apabila kebutuhan fisiologis sudah terpenuhi.

Begitu pun kebutuhan hubungan baik dengan orang lain akan terpenuhi hanya jika kebutuhan rasa aman sudah terpenuhi. Dengan kalimat lain, kita tidak bisa membangun sebuah hubungan yang baik dengan orang lain dalam kondisi yang tidak aman.

Dalam konteks pendidikan, guru akan membangun hubungan baik dengan siswa dan orang tua murid apabila dia merasa aman dan nyaman. Sebaliknya, bila guru merasa terancam, hubungan sosial dengan siswa atau orang tua murid akan retak.

Rasa aman adalah conditio sine qua non, yaitu kondisi yang tidak boleh tidak terpenuhi agar guru dapat mengajar, mendidik, dan membimbing siswa dengan baik. 

Menghadirkan rasa aman bagi guru adalah suatu keharusan yang tidak boleh ditawar-tawar agar proses pendidikan dapat berlangsung secara optimal.

Bila guru merasa terancam, konsekuensinya adalah tugas pokok guru akan terbengkalai. Proses pendidikan tidak akan berjalan efektif dan yang menjadi korban adalah para siswa.

Menghadirkan Rasa Aman Bagi Guru di Sekolah

Tindakan kekerasan apa pun di sekolah tidak boleh ditoleransi. Namun  sejauh ini upaya menciptakan lingkungan yang aman di sekolah hanya dengan memerangi tindakan kekerasan terhadap siswa.

Sementara upaya membentengi guru dari tindakan kekerasan dilakukan dengan setengah hati. Padahal, guru juga rentan terhadap tindakan kekerasan.

Ironisnya, reaksi masyarakat dalam menanggapi tindakan kekerasan di sekolah terkadang bias. Bila korban kekerasan adalah siswa, reaksi yang diberikan sangat cepat. Sebaliknya, bila guru yang menjadi korban, responnya tidak seheboh kekerasan yang dialami siswa. 

Kasus kekerasan terhadap guru yang dilakukan siswa dan atau orang tua murid selama ini modus operandinya selalu sama. Siswa atau orang tua tidak menerima tindakan pendisiplinan dan atau sanksi yang diberikan guru atas perilaku buruk anak.

Kondisi ini membuat guru merasa tidak aman dalam menjalankan tugas mendidik, menegakkan peraturan dan memberi sanksi. Guru merasa khawatir akan kekerasan dan ancaman pidana yang diterima.

Pemberian sanksi kepada anak bisa menjadi bumerang dalam menegakkan aturan dan mendisiplin anak. Situasi seperti ini pada batas tertentu akan membuat guru hanya fokus pada tugas mengajar dan mengabaikan tugas mendidik, sebuah upaya membentuk karakter siswa yang baik.

Karena itu. usaha menciptakan lingkungan sekolah yang aman bagi guru harus menjadi komitmen bersama. Aturan hukum yang memproteksi guru dari tindakan kekerasan harus benar-benar ditegakkan.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru pasal 39 ayat [1] ditegaskan bahwa guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang diterapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya.

Dalam Nota Kesepahaman Nomor B/3/1/2012 dan Nomor 100/ UM/ PB/ XX/ 2012 antara Kepala Kepolisian Republik Indonesia [Kapolri] dan Ketua Umum Pengurus Besar PGRI tahun 2012 disepakati bahwa pihak kepolisian memberi perlindungan hukum kepada guru terhadap tindakan kekerasan dan perlindungan terhadap keamanan kerja guru melalui proses mediasi, khususnya dalam konteks guru melaksanakan proses belajar mengajar.

Selain itu, yurisprudensi Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa guru tidak boleh dipidana ketika menegakkan disiplin dalam konteks belajar mengajar. Karena itu, aparat hukum harus lebih jeli dan bijak menanggapi setiap laporan kekerasan oleh guru.

Di atas semuanya, komunikasi yang baik antara guru dan orang tua sangat diperlukan. Hanya dengan hubungan yang baik, sikap terbuka dan saling menghargai antara semua stakeholder pendidikan, lingkungan sekolah yang aman dan nyaman yang menjadi dambaan semua pihak dapat terwujud.

Gerardus Kuma merupakan guru di SMPN 3 Wulanggitang, Hewa, Flores Timur

Editor: Ryan Dagur

Artikel ini terbit di halaman khusus KoLiterAksi. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pemerhati pendidikan ataupun masyarakat umum dan tertarik menulis di sini, silahkan kirimi kami artikel. Ketentuannya bisa dicek dengan klik di sini!

Artikel Terbaru

Baca Juga Artikel Lainnya