Marta Muslin Tulis: Saatnya Perempuan Jadi Pemimpin, Alih-alih Hanya Pendukung

Siap maju Pilkada Manggarai, Marta Muslin Tulis menyatakan ingin berkontribusi bagi daerahnya, meyakini bahwa politik bukan hanya domainnya laki-laki.

Floresa.co – Baru-baru ini, Marta Muslin Tulis, seorang perempuan aktivis, telah menyatakan secara publik niatnya untuk maju dalam pemilihan kepala daerah [Pilkada] di Kabupaten Manggarai, NTT.

Keputusannya ikut bertarung dalam pemilihan tahun depan itu mungkin membuat sebagian orang kaget, mengingat ia  tidak memiliki catatan terlibat dalam politik praktis.

“Saya murni praktisi,” aku perempuan asal Ruteng ini kepada Floresa dalam wawancara baru-baru ini.

Ica, demikian ia biasa disapa, banyak berkiprah di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, di mana ia mengembangkan usaha wisata selam atau dive.

Ia juga dikenal sebagai aktivis lingkungan. Melalui Indonesia Waste Platform yang didirikan bersama Nina Van Toulon – seorang perempuan Belanda -, Ica mengelola sampah di Labuan Bajo dan sekitarnya sehingga memiliki nilai ekonomi.

Dalam wawancara itu, ia berbicara soal motivasinya maju dalam kontestasi politik lokal. Salah satunya soal kritiknya terhadap bupati saat ini, Herybertus Gerard Laju Nabit dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan [PDI-P] yang tidak mampu membuat slogan ‘perubahan’ saat kampanye menjadi benar-benar nyata.

Ia juga menegaskan bahwa perempuan memiliki kesempatan yang setara dalam perpolitikan di Manggarai Raya yang selama ini didominasi laki-laki. 

Simak petikannya berikut ini.

Tidak banyak perempuan Manggarai yang mau terjun ke dalam politik, apalagi mau jadi bupati. Apa yang kemudian menggerakkan Anda?

Latar belakang saya bukan politisi. Saya tidak terdaftar di partai apapun. Jadi, saya murni seorang praktisi.

Saya pikir sekarang momentum yang pas untuk terjun ke dalam politik. Sesudah dipimpin oleh bupati yang membawa janji perubahan, ternyata kemudian janji itu tidak sejalan dengan apa yang terjadi saat ini.

Banyak harapan terhadap perubahan-perubahan positif yang ternyata tidak juga terwujud. Padahal, harapan kita dahulu besar sekali. Apalagi bupati kita datang dari PDI-P, presiden juga dari PDI-P.

Harusnya Manggarai bisa sedikit menyeimbangi Labuan Bajo. Sementara Labuan Bajo unggulannya pariwisata, Manggarai seharusnya bisa mensuplai produk-produk pendukungnya dari pertanian. Etalase [pasar] ada di Labuan Bajo. Pertanian di Manggarai semestinya jauh lebih meningkat. Tetapi itu tidak terjadi. Rantai pasokan dari Ruteng ke Labuan Bajo tidak optimal. Pasokannya malah datang dari Bajawa, Kabupaten Ngada.  

Saya bertanya-tanya, mengapa rantai pasokannya tak sampai ke Labuan Bajo? Padahal, potensi pertanian sebetulnya signifikan mendongkrak pengembangan ekonomi lokal. Karena ini tidak dikembangkan, jumlah orang Manggarai yang merantau, seperti ke Kalimantan, malah tambah banyak. 

Di sisi lain, setelah mencermati profil mereka yang akan maju dalam Pilkada Manggarai, hampir semuanya mantan birokrat. Dari dulu juga yang jadi bupati selalu mantan birokrat.

Saya berpikir, terobosan mungkin sekali terjadi kalau pemimpinnya bukan mantan birokrat. Mereka bisa melakukan gebrakan-gebrakan dengan cara berbeda. 

Selama ini kontestasi politik di Manggarai Raya didominasi laki-laki.  Sejak 2005, hanya beberapa perempuan yang ikut dalam kontestasi Pilkada, yaitu Maria Geong di Manggarai Barat dan Yustina Ndung di Manggarai. Itu pun pada akhirnya kalah. Sementara realitas sosial budaya di Manggarai juga didominasi laki-laki. Bagaimana Anda melihat lingkungan politik dan sosial seperti itu?

Ketika perempuan maju dalam politik, memang akan ada komentar, Ma’ut pimpin le inewai ite ko: Memangnya kita harus dipimpin oleh perempuan.’ Jadi, ini sebetulnya pendidikan politik juga soal kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Tetapi pada dasarnya, ini bukan hanya tentang laki-laki atau perempuan. Lebih dari itu adalah soal seberapa mampu seorang individu—tak peduli apapun gendernya—membawa perubahan positif dalam masyarakat. 

Selama ini, saya banyak melakukan pekerjaan yang dianggap domainnya laki-laki. Di Labuan Bajo, saya turut mendorong kehadiran lulusan dive master perempuan pertama. Itu adalah dunia yang rasanya sulit bagi perempuan untuk masuk ke dalamnya. Namun, saya coba melakukannya.

Keputusan saya untuk masuk dalam perpolitikan Manggarai akan memperluas cakupan usaha pelibatan perempuan yang telah saya mulai di Labuan Bajo. 

Selain kurangnya keterlibatan dalam politik, kaum perempuan di Manggarai, juga NTT selama ini adalah kelompok yang paling terdampak berbagai kondisi sosial ekonomi. Salah satu yang konkret misalnya terkait masalah pemenuhan kebutuhan dasar seperti air bersih. Apa yang menurut Anda seharusnya dilakukan untuk mengatasi kondisi semacam ini?

Dengan maju dalam Pilkada, saya ingin memperlihatkan bahwa perempuan adalah tokoh kunci dalam perencanaan pembangunan.

Saya kebetulan sudah berkunjung ke beberapa desa dan mulai berbicara kepada sesama perempuan tentang isu-isu yang mereka bahkan tidak sadar bahwa itu adalah hak mereka. Hal itu terjadi karena ada pembiaran secara sistemik terhadap pemenuhan hak-hak perempuan. 

Perempuan kurang dilibatkan dalam banyak hal. Pada saat kegiatan rapat di desa, seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah  Desa [RPJMDes] misalnya, perempuan tidak bicara dan laki-laki juga tidak tanya kepada istrinya, ‘Ende asa koe rasan le meu, apa koe ngoeng de meu?: Ibu, apa yang kamu rasakan, apa saja yang kamu inginkan?’

Soal air misalnya, perempuan tidak diberi tahu bahwa akses terhadap air bersih itu hak. Lalu untuk kran di tempat umum misalnya, posisinya tidak boleh terlalu rendah sehingga kemudian perempuan harus menunduk saat mengambil air. Posisi kran agak tinggi sedikit sehingga pada saat mereka mengambil air, kenyamanan perempuan tidak terganggu.

Yang selama ini terjadi adalah tidak ada proses pengarusutamaan untuk hal-hal yang menjadi hak perempuan sampai ke tingkat desa.

Artinya partisipasi perempuan dalam proses-proses pengambilan kebijakan di ranah publik itu perlu lebih besar?

Harus lebih besar, mengingat jumlah kami lebih banyak dibanding laki-laki. Harusnya partisipasi juga lebih besar.

Perempuan adalah juga pendidik pertama dalam rumah tangga. Jadi, pembangunan yang membuat perempuan itu nyaman, sehat, pintar akan menciptakan generasi dan rumah tangga yang sehat dan baik. Kita dapat mengadaptasinya ke lingkup yang lebih luas. 

Siapapun bupatinya, siapapun pemimpinnya, pengarusutamaan gender itu itu harus ada di dalam otak kecilnya. Utamakan perempuan, artinya pula mengutamakan semua orang.

Apa yang menjadi visi Anda tentang Manggarai ke depan?

Kami memilih tagline “Marta” seperti nama saya. Artinya, Manggarai Tangguh. Mengapa? Karena dibutuhkan ketangguhan untuk menghadapi “pukulan” pusat di Labuan Bajo. Efek dominonya pasti sampai juga di Manggarai. Itu sudah pasti. 

Pembangunan Labuan Bajo sekarang sudah sangat masif. Tentu saja pembangunan pariwisata itu dua sisi mata uang, ada dampak sosial lingkungan di dalamnya. Dibutuhkan ketangguhan untuk melihat sejauh mana pariwisata itu masuk ke dalam nadi masyarakat, tanpa memberikan dampak negatif yang terlalu besar. 

Kita harus memastikan masyarakat memperoleh manfaat dari industri pariwisatanya. Pada saat yang sama, dapat memitigasi dampak negatifnya terhadap lingkungan hidup.

Di Manggarai, sektor unggulannya adalah pertanian yang bisa terhubung dengan kebutuhan industri pariwisata di Labuan Bajo.

Pertanian adalah tulang punggung kesejahteraan masyarakat Manggarai. Pertanian harus membuat petani berhasil. Jangan sampai tengkulak justru lebih kaya ketimbang petaninya.

Bagaimana mungkin petani di Manggarai masih makan ‘beras miskin’ sumbangan pemerintah yang sebetulnya jatah untuk rumah tangga miskin.

Apa yang harus dilakukan untuk mencapainya?

Sebuah ide yang bagus harus melewati tiga tahap: etika yang baik, proses yang layak dan diskusi dialogis dengan publik. 

Lonto leok [duduk bersama untuk musyawarah] sebagai budaya orang Manggarai, itu yang perlu dikedepankan dalam setiap pengambilan keputusan.

Saya mengerucut ke contoh kasus Poco Leok, tempat terjadinya polemik proyek geothermal saat ini. Di Poco Leok itu kan yang kurang adalah diskusi yang dialogis dengan warga setempat. 

Masyarakat tak diberi tahu risiko yang mungkin timbul dari proyek tersebut. Tiba-tiba keputusan sudah dibuat. Tidak bisa begitu. 

Eskalasi persoalan terjadi karena bermula dari proses yang tidak benar, dilakukan secara sembunyi-sembunyi. 

Dengan terjun ke dalam politik, apa pesan yang ingin Anda sampaikan kepada sesama perempuan Manggarai, khususnya generasi muda?

Pilihan saya untuk maju semoga dapat mendorong perempuan lain tampil di ruang publik sebagai pemimpin, alih-alih hanya pendukung. 

Eme ngance kaka Ica, berani maju, nganceng kolo so’ot bana di level-level yang lain: Kalau Kakak Ica berani maju, yang lain bisa maju juga di level yang lain. 

Itu pesan yang saya kirimkan ke adik-adik saya. Politik ini bukan hanya domainnya laki-laki.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Artikel Wawancara Lainnya