Save Dagun: Menulis Ensiklopedia, Mewariskan Kearifan Lokal Manggarai

Terdiri dari 10 jilid, Ensiklopedia Manggarai segera terbit.

Floresa.co – Save M. Dagun dikenal sebagai salah satu penulis kamus dan ensiklopedia tersohor di tanah air.  Selama 30 tahun terakhir, ia telah melahirkan tujuh kamus dan 36 ensiklopedia dengan beragam tema.

Tahun ini, Save akan menerbitkan karya besar lainnya – seri ensiklopedia Manggarai. 

Terbagi atas 10 jilid, ensiklopedia ini berisi berbagai kearifan lokal dan nilai-nilai kehidupan etnis Manggarai di wilayah barat Flores, Nusa Tenggara Timur [NTT].

“Sudah siap cetak,” kata Save kepada Floresa.

Ia mengatakan, sumber utama penulisan seri ensiklopedia itu adalah 18 jilid Manggarai Texts karya imam misionaris Belanda, Pastor A.J. Verheijen, SVD, yang ia sebut “mahakarya yang tenggelam.”

Sumber lain yang dirujuk Save adalah karya-karya ilmiah orang-orang Manggarai yang terserak. 

Save yang lahir pada 8 Januari 1959 di Wetik, Manggarai Barat menempuh pendidikan menengah di Seminari Pius XII Kisol, Manggarai Timur. Ia melanjutkan tahun terakhir pendidikan menengah atas di Sekolah Pendidikan Guru Setia Bakti di Ruteng, Manggarai.

Ia sempat mengajar di SMP Ranggu, Manggarai Barat pada 1980, sebelum dua tahun kemudian meneruskan pendidikan di jurusan Psikologi Pendidikan di Universitas Atma Jaya Jakarta. Usai kuliah, ia bekerja sebagai wartawan di sejumlah media cetak sambil tetap menulis buku.

Ensiklopedia Manggarai, sebutnya, bentuk sumbangan bagi pewarisan nilai-nilai kearifan lokal kepada generasi penerus.

Floresa mewawancarai khusus Save tentang karyanya ini. Berikut petikannya.

Apa yang mendorong Anda menulis ensiklopedia Manggarai?

Orang Manggarai, tak peduli latar belakangnya, kerap membicarakan nilai-nilai kearifan lokal. Namun, semuanya itu hanya sebatas bahasa tutur, lisan. Menarik bahwa pembicaraan tentang kearifan lokal itu dilakukan dengan semangat. Siapapun senang membicarakannya.

Mahasiswa-mahasiswa S1 hingga S3 juga menulis tentang kearifan, nilai-nilai lokal, ritual-ritual dan kehidupan orang Manggarai. Tetapi, yang mereka tulis itu skripsi, tesis dan disertasi. Karya mereka lalu ditaruh di perpustakaan universitas. Tak banyak yang tahu.

Inilah yang saya katakan, muatan-muatan lokal Manggarai terserak, tak terdokumentasi.

Kini, lewat ensiklopedia itu, sudah saatnya kita tidak lagi hanya bicara. Materi-materi yang terserak itu perlu didokumentasikan dalam sebuah ensiklopedia. 

Seperti apa proses penyusunannya?

Saya membentuk sebuah tim kecil, mendiskusikannya, mengumpulkan bahan, lalu memberitahukan rencana ini kepada sejumlah pihak.

Reaksinya kemudian berbeda-beda antargenerasi. Saya membaginya ke dalam tiga kelompok.

Kelompok pertama adalah anak-anak muda. Mereka tampak biasa-biasa saja, bahkan tidak peduli dengan rencana ini. Mereka berpikir, apa manfaatnya? Dengan kemajuan digital sekarang, orang berpikir, ‘apa keuntungannya bagi saya? Apa itu kearifan lokal?’ 

Kelompok kedua berada pada usia yang lebih matang. Ini kelompok di persimpangan jalan. Ketika program ini diluncurkan, mereka bertanya, ‘Apa ini?’

Kelompok yang ketiga adalah kelompok usia tua. Ketika pertama kali mendengar rencana ini, reaksi mereka ibarat api menyambar alang-alang. Berkobar, luar biasa memberikan semangat. Mengapa? Karena mereka merasa ada rantai nilai yang hilang dan butuh diwariskan kepada generasi penerus.

Mereka sepertinya menanggung beban besar, merasa bersalah dan kadang meratapi  hilangnya generasi yang mempertahankan jati diri sebagai orang Manggarai. Kelompok tua ini sudah bau tanah dan sudah senja. Mereka merasa berdosa ketika akhirnya pergi dari dunia ini, tetapi tidak menitipkan legasi ke generasi Manggarai berikutnya.

Mengapa ada perasaan semacam itu?

Ada banyak penyebab dan menjadi bahan diskusi kami. Sejak SD hingga SMA, kita  dijejali pengetahuan dan sistem kurikulum dari luar. Anak SD Manggarai misalnya harus hafal sejarah Kerajaan Singosari, Sriwijaya, juga tentang sungai-sungai di tempat lain, seperti Sungai Ciliwung, Sungai Musi, dan seterusnya.

Di sisi lain, pengetahuan tentang Manggarai dengan segala nilai-nilai kearifan lokalnya nyaris diabaikan. 

Adakah kemudian dukungan konkret dari generasi tua ini?

Berkaca dari grup yang kami bentuk pada aplikasi percakapan WhatsApp, generasi tua memberikan dukungan luar biasa dengan memberi kami data. 

Dalam proses ini misalnya tiba-tiba terungkap keberadaan dokumen karya A.J. Verheijen, SVD. Itu adalah sebuah risalah Manggarai Texts yang terdiri atas 18 jilid. 

Dari komunikasi dalam grup itu, tiba-tiba muncul orang yang mengatakan, ‘Di saya sudah ada dokumen itu 18 jilid Verheijen.’ Dari Bandung, ada Dr Frans Borgias [dosen di Universitas Katolik Parahyangan].

Kemudian saya juga ditelepon oleh Dr Frans Datang [dosen di Universitas Indonesia]. Dia juga mengatakan, ‘saya ada dokumen Verheijen itu.’

Selain Verheijen, juga warisan dari Mgr. Wilhelmus van Bekkum, SVD, misionaris Belanda yang meninggal di Ruteng pada 1988. Ia juga memberi andil dalam perjalanan kebudayaan Manggarai, terutama sejarah Gereja Katolik Manggarai.

Pada Kongres Liturgi Internasional di Asisi, Italia 18-22 September 1956, uskup ini memasukkan nilai-nilai kearifan lokal dalam liturgi gereja. Proposal ini adalah langkah luar biasa bagi pengembangan Gereja Katolik seluruh dunia. Doa dalam Bahasa Manggarai dan nyanyian dalam Bahasa Manggarai, lewat buku Dere Serani pun diterbitkan. 

Pada saat sekarang, ilmuwan sekaliber Verheijen dan Van Bekkum, yang menggali kehidupan orang Manggarai sudah tidak ada lagi. Memang banyak tulisan terlepas dan riset-riset tentang budaya Manggarai, tetapi  tidak komprehensif, hanya tersebar di media cetak dan media internet. 

Apa saja yang menarik dari dokumen yang diwariskan oleh figur seperti Verheijen?

Warisannya adalah mahakarya yang tenggelam, yang tersembunyi. Mengapa ini mahakarya? Pada jilid I misalnya, ia menulis tentang kebiasaan-kebiasaan leluhur Manggarai zaman dulu. Isinya mulai mulai dari ritus-ritus kehidupan hingga pemikiran kepercayaan orang Manggarai. Risalah-risalah ini sangat penting sebagai referensi tentang kehidupan masyarakat Manggarai pada lampau dan falsafah kehidupan orang Manggarai. 

Saya sangat kaget karena bahasa yang digunakan adalah bahasa Manggarai yang orisinal. Di dalamnya dijelaskan tentang kehidupan orang Manggarai zaman dulu, termasuk ritual-ritual kehidupan mereka. Misalnya dijelaskan tentang ‘Bang Motang’ (berburu babi hutan), ‘Bang Kode’ (berburu kera) dan ‘Bang Rutung’ (berburu landak).

Menariknya, Verheijen menarasikan hal semacam itu dengan deskripsi, bukan hanya definisi-definisi.

Soal penti (acara syukuran panen) misalnya, Verheijen tidak menggunakan kalimat seperti “Apa itu penti?” Sebaliknya, ia menarasikan tentang penti itu, seperti ini: ‘Ole, ai poli’p bo ako dite ga. Co’om bantang penti ga. Oe penti hoo ta….meu siap hoo.……  (Karena kita sudah memasuki musim panen, bagaimana kalau kita sepakati soal penti. Untuk penti ini, kamu siapkan ini…) Mendeskripsikan menjadi penting bagi Verheijen. Barangkali karena ia seorang etnolog.

Hal lain yang menurut saya mengagumkan adalah soal pengobatan untuk orang sakit. Kalau orang Manggarai sakit, apapun jenis sakitnya pasti ada obatnya. Obat yang pertama itu dalam bentuk herbal. Yang kedua adalah non-herbal yaitu sungke, ritual tradisional untuk mengatasi atau mencegah terjadinya suatu kemalangan, penyakit atau bahaya. Untuk setiap bentuk sakit, ada sungke-nya. 

Hal menarik lain dalam risalah Verheijen itu adalah go’et-go’et – kata-kata mutiara yang merupakan sari pati pemikiran orang Manggarai. Banyak juga cerita bundu (teka-teki) yang selalu ada unsur pesan moralnya. Kemudian juga tentang jenis-jenis pohon, jenis-jenis binatang.

Luar biasa kekayaan Manggarai yang ia rangkum, yang semuanya ditulis dalam Bahasa Manggarai. 

Kalau kita lihat, semua itu menggambarkan bagaimana hubungan orang Manggarai dengan alam. Misalnya, bagaimana menjaga air. Menarik juga bahwa orang Manggarai menganggap pohon itu saudara, menganggap binatang itu saudara. 

Ritual-ritual yang ia tulis juga sarat makna dan sebagai tuntunan kehidupan orang  Manggarai. Belum lagi ritual-ritual yang berkaitan hubungan antarmanusia, hubungan antara manusia Manggarai dengan alamnya dan relasi manusia Manggarai dengan Tuhannya.

Bagaimana teknisnya sehingga naskah-naskah Verheijen ini masuk ke dalam ensiklopedia?

Saya harus sortir semua, dari risalah 1 sampai 18. Saya sortir dulu misalnya bagian kebiasaan orang Manggarai. Jadi entrinya itu misalnya ‘bang kode’, ‘bang motang’

Yang lainnya misalnya go’et (peribahasa), kemudian tentang tumbuhan. 

Saya tidak mengubah sedikitpun narasi yang disampaikan oleh Verheijen. Saya hanya memilah entri-entri, sebab ensiklopedia diurut berdasarkan alfabet.

Selain dokumen Verheijen, apa lagi sumber lain dari enskolopedia ini?

Harta yang menurut saya juga luar biasa adalah karya-karya ilmiah akademisi Manggarai. 

Orang-orang hebat dari Manggarai banyak sekali. Ada misalnya Pastor Bernard Raho, SVD yang menuliskan Cerita Rakyat Manggarai. Karena dia orang Kolang, dia menulis versi Kolang, Ndoso, Rego dan Pacar.

Kemudian ada juga kajian-kajian para ilmuwan tentang budaya Manggarai. Ada Dr Alex Jebadu [dosen di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero], Dr Ino Sutam [dosen di Universitas Katolik Indonesia St. Paulus Ruteng], dan yang lainnya.

Karya-karya ilmuwan Manggarai itu kami kumpulkan semua dan masuk ke dalam ensiklopedia ini.

Setelah diterbitkan, apa rencana selanjutnya?

Visi dan misi kami adalah bagaimana nilai-nilai ini diterapkan dalam sistem pendidikan. Kalau tidak masuk ke dalam sistem pendidikan, hasilnya kosong. 

Karena itu, setelah ensiklopedia ini selesai, kami segera membuat buku pendidikan Aku Anak Manggarai untuk TK, SD, SMP dan SMA.

Nilai-nilai kearifan lokal Manggarai yang diajarkan di sekolah-sekolah akan bersumber dari ensiklopedia ini.

Artinya, harus ada kerja sama dengan pemerintah daerah?

Muaranya di situ. Sebagai orang Manggarai, ber-DNA Manggarai, kita berharap begitu. Ada kerja sama, bahkan seharusnya inisiatif datang dari pemerintah daerah. Sudah sewajarnya pemerintah daerah arahnya ke situ, memasukkan kearifan lokal ini ke dalam sistem pendidikan.

Apakah ada komunikasi dengan pemerintah daerah di tiga kabupaten di Manggarai Raya?

Sebelum bergerak menyusun ensiklopedia ini Bupati Manggarai, Herybertus G.L. Nabit telah menyatakan dukungannya. Yang lainnya belum.

Setelah ensiklopedia selesai disusun, sekali lagi, langkah selanjutnya adalah memastikan nilai-nilai kearifan lokal Manggarai diterapkan dalam sistem pendidikan. Ini soal instrumen kebijakan. 

Sekarang orang ramai bahas soal revolusi mental. Menurut saya kuncinya di sini. Reborn. Kita lahir kembali dengan nilai-nilai kearifan lokal itu, termasuk untuk orang Manggarai.

Apa perlunya nilai-nilai atau kearifan lokal ini dipelajari dan diinternalisasikan dalam kehidupan generasi sekarang?

Nilai-nilai yang baik itu perlu diwariskan. Ketika anak-anak Manggarai mengadopsi nilai-nilai yang diwariskan leluhur dalam keseharian, mereka akan tetap kokoh meski diterpa badai globalisasi.

Mengapa? Karena akar mereka sudah kuat.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Artikel Wawancara Lainnya