Regina Tin, Mama dari Wae Sano: ‘Tanah adalah Surga Kedua, Jangan Merusak Ruang Hidup Kami’

Mama Regina Tin mengatakan, sejak awal, penolakan terhadap proyek geothermal bukan hanya datang dari kesadaran pribadi, tetapi juga berdasarkan kesepakatan bersama dalam keluarga.

Floresa.co – Sejak rencana eksplorasi geothermal disosialisasikan oleh pemerintah pada 2017, mama-mama di Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat getol menyatakan penolakan.

Mereka terlibat dalam berbagai kegiatan, seperti pertemuan di rumah adat Kampung Nunang – salah satu dari beberapa kampung di desa itu – maupun demonstrasi di Labuan Bajo, yang berjarak 53 kilometer ke arah barat laut. 

Di antara mereka, ada juga yang pernah melakukan studi banding di wilayah-wilayah yang telah memiliki proyek serupa. Mereka berjuang bersama bapa-bapa menentang proyek itu.   

Proyek ini menargetkan listrik 45 megawatt. Awalnya dikerjakan oleh PT Sarana Multi Infrastruktur, belakangan yang muncul adalah PT Geo Dipa Energy. Sementara untuk pendana, Bank Dunia telah undur diri karena kuatnya penolakan warga, diganti oleh pemerintah Indonesia, dengan skema Pembiayaan Infrastruktur Sektor Panas Bumi.

Dalam setiap pertemuan, mama-mama aktif bersuara, menyampaikan pendapat. Bagi mereka, proyek geothermal berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dan kebaikan bersama.

Di antara mama-mama itu, Regina Tin salah satu orang yang paling getol. Dalam kegiatan sosialisasi terakhir proyek itu pada 9 November terkait peralihan pendana ia salah satu yang vokal bersuara.

“Kami tetap berpikir tentang ruang hidup kami. Kami harus omong tentang hak hidup kami,” ungkapnya saat acara itu.

Herry Kabut dari Floresa mewawancarai mama kelahiran 25 Mei 1979 itu di rumah adat Kampung Nunang usai acara pertemuan tersebut. Berikut petikannya.

Sejak kapan mendengar proyek geothermal masuk ke Wae Sano dan apa saja informasi-informasi awal yang Mama dengar?

Saya mendengar proyek itu masuk ke kampung kami pada 2017. Informasi pertama yang saya dengar adalah di Kampung Nunang akan dilakukan pengeboran. Saya juga mendengar informasi dari PT Sarana Multi Infrastruktur bahwa warga yang berada di dekat titik-titik pengeboran suatu saat akan dievakuasi dan direlokasi.

Kami sebetulnya tidak mengerti dengan kata evakuasi dan relokasi itu. Karena itu kami bertanya tentang arti kata evakuasi dan relokasi itu kepada mereka. 

Menurut mereka, evakuasi dan relokasi berarti terjadi perpindahan lokasi tempat tinggal, artinya kami tidak akan tinggal di sini lagi. Dari penjelasan itu, kami akhirnya mengerti makna kata evakuasi dan relokasi itu. 

Mama Regina Tin bersama mama-mama Wae Sano lainnya saat menghadiri rapat “sosialisasi status dan tindak lanjut eksplorasi geothermal” di kantor desa pada Kamis, 9 November. (Dokumentasi Floresa)

Darimana informasi-informasi itu Mama dapat?

Informasi itu kami dapat dari PT SMI dalam sebuah rapat “sosialisasi proyek eksplorasi geothermal” di Kantor Desa Wae Sano. 

Apa saja pertimbangan serta kekhawatiran Mama sehingga tetap menolak proyek ini?

Pertimbangan utama kami yaitu ada dampak negatif yang ditimbulkan oleh proyek geothermal ini. Dampak negatifnya adalah mengganggu ruang hidup kami di sini. 

Di dalam ruang hidup itu terdapat sumber mata air (wae teku) ladang kami bekerja (uma duat), rumah (sekang kaeng), mesbah sesajen untuk leluhur (compang), rumah adat (mbaru gendang) rumah ibadat (gereja), hutan (puar), kuburan keluarga (lepah boa) perkampungan adat (golo lonto, mbaru kaeng, natas labar) dan danau (sano).

Selama ini hidup Mama seperti apa? Bagaimana kedekatan mama dengan tanah?

Selama saya hidup di dunia ini, menurut saya, tanah adalah surga kedua. Tanah memungkinkan saya untuk membangun rumah dan bekerja.

Saya adalah petani. Sebagai petani, tentu saja saya mempunyai ikatan yang kuat dengan tanah. Setiap hari saya pergi mengolah tanah di kebun. 

Tanah memberi saya hidup. Saya memang tidak punya banyak tanah. Selain tanah di rumah, saya hanya mempunyai dua bidang tanah. 

Walaupun demikian, bagi saya, nilainya luar biasa besar. Saya memanfaatkan tanah untuk menanam umbi-umbian, keladi, pisang, kakao, kopi, vanili. Saya juga menanam tanaman jangka pendek seperti halia dan porang.

Kalau proyek geothermal Wae Sano dikerjakan, maka semua tanaman yang kami tanam tidak akan berbuah karena tanah sudah kehilangan kesuburannya. Misalnya, jagung tidak akan berisi lagi.

Selain itu, debit air di kampung kami akan berkurang. Jadi, kehadiran geothermal memberi dampak negatif yang luar biasa kepada warga Wae Sano yang selama ini hidupnya bergantung pada tanah.

Selama ini, pemasukan kami dari hasil olah tanah lumayan, setidaknya bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Bahkan, kami menyekolahkan anak dari hasil olah tanah.

Selain bertani, kami juga memelihara ternak seperti babi dan ayam. Itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Dalam perjuangan menentang proyek ini, apa saja yang Mama lakukan?

Selama bergabung di dalam kelompok penolak geothermal, saya selalu mengikuti semua jenis kegiatan, baik yang diselenggarakan di sini maupun di luar wilayah ini. Saya ikut kegiatan di Labuan Bajo. Bahkan saya juga sudah pergi studi banding ke lokasi geothermal di Mataloko, Kabupaten Ngada.

Saya selalu mengikuti berbagai pertemuan baik dengan sesama warga maupun dengan jejaring penolak geothermal. Pertemuan itu biasanya diselenggarakan di rumah adat Kampung Nunang.

Apakah Mama pernah ikut demonstrasi?

Setiap kali demonstrasi di Labuan Bajo, saya selalu ikut.

Bagaimana mama merespon anggapan bahwa Mama dan warga lainnya di sini tolak geothermal karena hasutan dan pengaruh dari orang lain?

Sejak awal, penolakan datang dari kesadaran diri kami sendiri. Bukan hanya datang dari kesadaran pribadi, tetapi juga berdasarkan kesepakatan bersama dalam keluarga.

Sejak rencana eksplorasi geothermal muncul, saya berdiskusi bersama anak dan suami saya. Diskusi itu membahas tentang sikap kami terhadap proyek itu.

Awalnya, dalam diskusi dengan suami, saya menyatakan sikap menerima proyek ini. Hal itu terjadi karena waktu itu saya belum mengerti tentang proyek ini. 

Sementara itu, suami saya sejak awal menolak proyek ini. Kami sempat berdebat tentang proyek ini.

Untuk memahami proyek ini, saya akhirnya meminta penjelasan dari anak sulung saya. Saya tanya, “bagaimana menurut kalian yang sekolah tentang proyek ini? Apakah baik atau buruk?”

Anak saya menjawab “kalau bapa dan mama menerima pengeboran itu, maka kita tidak akan tinggal lagi di situ. Kita mau tinggal di mana?”

Dari penjelasan dan pertanyaan itu, saya berkesimpulan bahwa “proyek geothermal tidak bagus.”

Seperti apapun pikiran yang datang dari luar, tidak akan mempengaruhi saya karena kata kuncinya ada di anak kami. Jadi, saya mendapat pemahaman tentang geothermal dari anak saya, bukan dari orang lain.

Anak saya kuliah di Bali mengambil jurusan komputer. Dia laki-laki. Dia sudah wisuda beberapa bulan yang lalu, tapi masih menetap di Bali.

Dia sebetulnya sempat ingin bergabung dengan PMKRI Cabang Bali. Tapi, ternyata di Bali, PMKRI tidak terlalu aktif. Akhirnya, ia mengurungkan niatnya masuk organisasi. Meski demikian, ia selalu mengikuti perkembangan situasi di sini.

Dulu, pihak PT SMI pernah menawarkan lapangan pekerjaan kepada warga yang anaknya sedang bersekolah. 

Saya sempat memberitahukan tawaran itu kepada anak saya. Tapi, jawaban dia membuat saya terharu sekaligus bangga.

Dia bilang begini, “Mama, tidak hanya di Manggarai Barat yang ada lapangan pekerjaan. Daripada gara-gara Mama, kampung rusak. Suatu saat kami akan kembali ke kampung.”

Mendengar jawaban itu, saya bilang ke dia, “Kami memikirkan masa depan kalian.” Tetapi, dia menjawab “Mama, jangan berubah. Tetap tolak proyek itu.”

Bagaimana Mama menanggapi proyek yang terus dipaksakan ini, termasuk perubahan pendana?

Saya tidak peduli dengan perubahan pendana proyek itu. Siapapun yang mendanai proyek itu, saya tetap mempertahankan hak saya atas ruang hidup. Sikap saya tidak akan berubah. Saya tetap tolak.

Apa yang akan Mama lakukan jika proyek itu tetap dipaksakan?

Kalaupun proyek itu tetap dipaksakan oleh pemerintah, saya tetap mempertahankan sikap penolakan. Saya akan tetap menjaga keterhubungan dengan warga lain. Kalau misalnya saya punya ide baru yang dapat digunakan untuk menentang pemaksaan itu, saya akan diskusikan dengan warga lain. Saya tidak akan simpan sendiri ide itu, tetapi akan dibahas dalam agenda pertemuan warga. Karena penolakan terhadap proyek ini bukan perjuangan pribadi, tetapi perjuangan kelompok.

Mama Regina Tin mengenakan baju pin, berdiri di antaar Bupati Manggarai Brat, Edistasius Endi dan Wakilnya, Yulianus Weng saat aksi unjuk rasa menolak geothermal Wae Sano, 4 Maret 2022. (Dokumentasi Floresa)

Apa pesan Mama untuk pemerintah dan perusahaan?

Pesan saya, “jangan buat rusak ruang hidup kami di sini. Jangan mengganggu kenyamanan kami di sini.”

Apa harapan Mama untuk pihak-pihak yang diharapkan bisa membantu warga Wae Sano, termasuk institusi Gereja, seperti Keuskupan Ruteng?

Harapan saya, jejaring itu tetap mendukung perjuangan kami menentang proyek eksplorasi geothermal. Berapapun jumlah jaringan itu, harapannya mereka tetap berada dan berdiri bersama warga untuk menolak proyek ini. 

Kami sadar bahwa dukungan mereka sangat bergantung pada sikap kami sendiri. Mereka hanya berusaha membantu kami, selebihnya kami yang harus konsisten untuk menyatakan penolakan terhadap proyek ini.

Untuk gereja, terutama Keuskupan Ruteng, harapan saya, uskup harus tegak lurus. Jangan memihak kepada pemerintah dan perusahaan.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Artikel Wawancara Lainnya