Mariance Kabu, Pekerja Migran yang Disiksa di Malaysia: ‘Saya Tunggu Keadilan Itu’

Sidang kasus Mariance yang selamat dari rumah majikan usai melempar selembar surat minta tolong ke tetangga akan diputuskan di Malaysia pada akhir Juni

Floresa.co – Sepuluh tahun silam, Mariance Kabu, seorang pekerja migran asal Kupang, Nusa Tenggara Timur, disiksa majikannya di Malaysia.

Dalam lelah dan tubuh penuh luka, ia menulis lalu melempar selembar surat keluar pagar apartemen; memohon pertolongan. 

Seorang tetangga memungut surat itu, lalu melapor ke polisi setempat. Ia lalu diselamatkan dari rumah majikannya.

Kasus yang menimpa Mariance mulai diproses sejak Januari 2015 di Pengadilan Ampang, Negara Bagian Selangor, dengan dua terdakwa, majikannya Ong Su Ping Serene dan Sang Yoke Leng. 

Namun, dua tahun kemudian pengadilan memberikan status Discharges Not Amounting to an Acquittal terhadap kasus itu, membuat majikannya dilepas dari tahanan, kendati tidak berarti ia bebas karena sewaktu-waktu bisa dipanggil ke pengadilan untuk dakwaan yang sama.

Di Indonesia, mereka yang terlibat kasus ini sudah divonis penjara. Pada 2018, Pengadilan Negeri Kupang memvonis perekrut Mariance, Theodorus “Tedy” Moa lima tahun penjara dengan denda Rp120 juta. Rekannya, Piter Boki divonis tiga tahun penjara dan denda Rp120 juta. Vonis Piter naik jadi delapan tahun saat ia ajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 2019. 

Dua orang lainnya, Asnat Tafuli dan Lisa To, yang dinyatakan terlibat dalam perekrutan Mariance, hingga kini masih buron.

Usai hiatus lima tahun, kasus itu dibuka kembali pada Maret 2023 di Malaysia, atas desakan pemerintah Indonesia dan kelompok peduli buruh migran.

Dalam sidang pada Maret, majikannya sempat menuding Mariance sakit jiwa, hal yang ia bantah keras.

Sebulan lagi, 28 Juni, putusan kasus ini akan dibacakan, yang ditunda dari jadwal sebelumnya pada 14 Maret.

Joe Tkikhau dari Floresa menemui Mariance di Kupang pada 14 Mei. 

Mariance yang kini beralih jadi penenun bercerita tentang mula-mula direkrut, mulai disiksa dan akhirnya keluar dari apartemen di negeri seberang, hingga harapannya untuk putusan kasus ini.

Berikut petikannya.

Bagaimana awalnya Mama direkrut untuk bekerja di Malaysia?

Saya sebetulnya tidak ingin cari kerja ke luar daerah, apalagi ke luar negeri. Sebelumnya saya menjadi asisten rumah tangga, tapi masih di sekitaran Kupang. 

Awalnya ada dua orang mama datang ke kampung saya. Mereka ajak saya dan adik ipar saya bekerja ke luar negeri. Seorang di antaranya mengaku punya relasi dengan PT Malindo Mitra Perkasa [perusahan tempat perekrutnya bekerja]. 

Ketika bertemu saya dan adik ipar, kedua mama itu bilang bahwa mereka sebelumnya minta petunjuk dari Tuhan. 

Kata mereka, “Tuhan memberi petunjuk bahwa Anda lah yang akan berangkat ke Malaysia. Maka, kami kemari.”

Mereka juga bilang, bila saya bersedia berangkat ke Malaysia, mereka akan senantiasa mendukung saya dalam doa. 

Lantaran mereka bilang begitu, saya mau berangkat. Saya pikir, kalau kita berdoa, pasti untuk hal-hal yang baik, bukan untuk buat orang jadi susah.

Mama ke Malaysia menggunakan apa? Pesawat atau kapal laut?

Saya dan adik ipar menumpang pesawat. Berangkat dari Kupang ke Surabaya, lalu ke Batam sebelum akhirnya masuk Malaysia. 

Saya ingat terbang dari Kupang pada 11 April 2014, dua hari sesudah pemilihan presiden dan wakil presiden. 

Saya tidak mencoblos karena saat itu sudah ditampung di kantor perusahaan perekrut.

Mendarat di Malaysia, saya masih memegang Kartu Tanda Penduduk [KTP]. Setelah itu agen penempatan menyita KTP saya. 

Bagaimana proses mendapat majikan di Malaysia?

Sepekan setelah ditampung di Malaysia, agen penempatan memberi tahu bahwa saya sudah mendapat majikan.

Begitu dapat majikan, saya diminta datang ke suatu kantor untuk dijelaskan kerjanya apa dan apakah saya setuju atau tidak dengan pekerjaan yang ditawarkan. 

Secara lisan, agen penempatan menyatakan saya dikontrak selama dua tahun. 

Mereka juga mengatakan saya tidak digaji selama tujuh bulan pertama bekerja. Saya tidak bertanya gaji itu mereka bawa ke mana: apakah ke perusahaan mereka atau tempat lain?  Saya tidak tahu lagi gaji tujuh bulan itu ke mana.

Agen penempatan memegang kertas yang ia nyatakan sebagai surat kontrak saya. Tapi saya tak pernah memegang, apalagi membacanya. 

Bagaimana perasaan Mama ketika mendapatkan majikan?

Saya senang, karena tidak lama-lama di tempat penampungan di Malaysia. Banyak kawan yang harus menunggu lama di tempat penampungan. 

Saat di tempat penampungan, kami disiksa juga. 

Di situ kami banyak orang, tapi tidak boleh bicara satu sama lain. 

Terdapat sekitar 20 perempuan di tempat penampungan itu.

Kami duduk bersandar punggung pada tembok, memegang botol air minum dengan jarak satu meter dengan teman. 

Pandangan harus ke depan, tidak boleh lihat teman di samping karena bisa kena pukul. 

Di situ kami mandi dengan air yang hanya cukup tiga gayung. Makan juga dijatah hanya setengah sendok besar per orang setiap kali makan. 

Bagaimana kondisi tempat kerja?

Majikan laki-laki saya tinggal di lantai tiga di suatu bangunan apartemen. Bertiga kami tinggal di situ: majikan perempuan, nenek–ibu dari majikan–dan saya. Nenek berusia 97 tahun saat saya mengurusnya. Makan, minum, mandi, semua saya yang urus.

Terdapat dua sistem pengawasan visual atau CCTV dalam apartemen majikan saya.

Dalam persidangan, saya mengetahui dua CCTV itu dinyatakan rusak. Jadi tidak ada bukti [kekerasan] berdasarkan rekaman CCTV, yang membuat saya kecewa.

Setiap hari kami berbicara dalam bahasa Melayu. Majikan tak membolehkan saya bicara dalam bahasa Indonesia.

Awalnya saya kesulitan berbahasa Melayu. Lama-kelamaan saya bisa bercakap-cakap dalam bahasa Melayu, belajar dari majikan dan teman-temannya ketika mengobrol. 

​​Sebelum masuk rumah majikan itu, rambut saya digunting. Sampai di rumah majikan pun saya juga sering gunting rambut. Ia tidak suka saya rambut panjang karena katanya akan lamban saat kerja. 

Ia juga tidak suka juga kalau badan saya gemuk sehingga porsinya dibatasi.

Sejak kapan Mama mulai disiksa?

Saya kerja di sana antara April–Desember 2014. Sebulan semenjak bekerja, majikan mulai kerap marah. Di matanya, selalu ada yang salah dari pekerjaan saya.

Saya bingung, sedih dan sakit hati. Rasanya setiap pekerjaan telah saya lakukan sesuai arahannya.

Bayangkan, saya bekerja dari jam 5 subuh hingga jam 4 subuh esok harinya. Saya kelelahan hingga kerap menangis. Tidur hanya setengah jam, lalu harus bekerja kembali.

Ia menyiksa saya tanpa sebab yang jelas. 

Pernah beberapa kali ia baru masuk ruang apartemen dan langsung memukuli saya. Ia bahkan belum berkata sepatah katapun.

Saya bisa berkali-kali mengepel lantai dalam sehari. Bila majikan menganggap lantai belum bersih, saya harus segera pel lagi. Jika tidak, ia akan menyiksa saya.

Majikan juga beberapa kali meminta saya bekerja tanpa busana. Karena takut, saya menuruti perintahnya. 

Awalnya saya tidur dengan nenek. Sebulan berselang, majikan memindahkan ruang tidur saya ke dapur. Tanpa tikar atau kasur. 

Apa yang Mama lakukan ketika mengalami penyiksaan?

Saya tidak pernah bersuara ketika disiksa. Berdiri seperti patung. 

Selama tujuh bulan saya disiksa, saya tidak pernah berkata-kata. Ketika membasuh badan sebelum tidur, saya mencuci luka pada tubuh sembari menangis.

Luka belum sembuh, tumbuh lagi luka baru. Luka di atas luka.

Di tengah-tengah ratapan tanpa suara itu, saya teringat kampung halaman. Ingin rasanya lekas pulang. Tapi saya belum menemukan caranya. 

Saya tidak tahu mesti meminta pertolongan kepada siapa. Saya tidak pernah keluar dari ruang apartemen. Majikan yang selalu membuang sampah dan berbelanja.

Apa yang buat Mama tetap kuat dan bertahan dari semua siksaan itu?

Saya menyerahkan diri, entah akan berakhir seperti apa. Kalau melawan, saya mungkin akan lebih cepat mati. 

Bagaimana Mama akhirnya keluar dari rumah majikan?

Ada teras di depan kamar apartemen, yang tersambung dengan sebuah pagar besi yang setinggi plafon. Hanya majikan yang bisa buka pagar. Kunci ia bawa. Saya sempat cari akal untuk buka gembok pagar itu, tapi tidak berhasil.

Lalu saya ingat, majikan memiliki satu lemari buku dalam kamar apartemen. Ketika ia berada di luar kamar apartemen, saya buka sebuah buku catatan belanja dan mulai menulis di situ. 

Saya hanya tulis “Tolong saya, saya disiksa majikan. Saya setiap hari mandi darah. Tolong saya”.

Saya hanya bisa tulis di surat karena sebelumnya majikan saya bilang, ‘Orang-orang di sini semua jahat’. Kalau saya berteriak dan mereka datang, majikan akan berkata kepada  mereka, “Bawa saja dia. Ini orang gila.”

Sekitar jam 6 sore, saya lempar kertas itu ke luar pagar. Saya tahu, pada jam-jam itu, seorang tetangga perempuan selalu menjemput kedua anaknya yang bermain bulu tangkis di lantai dasar.

Betul, selembar surat itu ia pungut.

Sejam kemudian, polisi tiba di kamar apartemen kami. Majikan saya, yang malam itu telah tiba di kamar apartemen, tampak kaget dengan kedatangan polisi.

Setelah diselamatkan, apa yang terjadi selanjutnya?

Saya dirawat di rumah sakit, lalu ikut sidang setelah keluar dari rumah sakit. Saya tinggal di rumah aman, rumah perlindungan. Kemungkinan itu milik Pemerintah Malaysia. Semua berkas saya dari rumah sakit ada di rumah perlindungan itu. 

Namun, kini semua itu hilang.

Saat saya kembali dengan media BBC [yang pernah meliput kasus ini], KBRI tidak tahu lokasi rumah aman itu.

Setelah sepuluh tahun berjuang menuntut keadilan, bagaimana perasaan Mama?

Saya ingin bebas, lepas dari masalah ini. Tapi saya pikir-pikir, kaki saya ibaratnya satu masih ada di Malaysia karena saya belum bisa lepas dari kenangan yang pahit ini. Hanya satu kaki yang sudah ada di Indonesia, di Kupang.

Karena itu, saya berjuang. Sampai mati pun saya akan tunggu keadilan itu.

Kasus ini memang sudah cukup lama. Melewati masa sepuluh tahun dengan penderitaan ini tidak gampang. Saya rasa berat sekali.

Saya ingin sekali untuk lepas dari beban ini.

Kalau pakaian, kita bisa tukar, kita bisa ganti, tapi beban ini tidak bisa saya bagikan ke orang lain. Saya yang harus tanggung semua, sendiri. [Mariance bercerita sambil menangis]

Mariance Kabu beberapa kali mengusap air mata saat diwawancara Floresa pada 14 Mei 2024. (Joe Tkikhau/Floresa)

Kapan saya bisa merasa bebas? Kalau saya gali berulang-ulang ingatan saya tentang peristiwa itu, saya semakin kepikiran.

Saya tidak tahu harus dengan cara apa saya bisa yakin ini sudah beres, supaya saya bisa bebas dari beban pikiran ini dan masuk dalam lembaran hidup baru.

Itu yang saya pikirkan.

Apakah belum ada putusan hukum untuk majikan yang membuat Mama semakin terbeban?

Ya, saya terus-terus omong soal keadilan. Saya bersumpah untuk bisa temukan keadilan itu. Saya bukan orang mati. Saya masih hidup.

Saya sudah bersuara ke mana-mana selama sepuluh tahun.

Kadang-kadang kecewa. Putus asa itu ada. Saya tidak pernah luput dari itu. Tapi saya berusaha kuat, bersabar menunggu.

Kadang-kadang saat saya di rumah atau sambil kerja, bayang-bayang penyiksaan itu tiba-tiba muncul. Beban ini masih terus menghantui saya. 

Kecuali keadilan itu sudah ada, maka saya bisa lepas dari Malaysia, baru saya bisa tenang.

Tapi saya tetap yakin, cepat atau lambat kebenaran itu akan terungkap.

Saat sidang terakhir pada Maret 2024, Mama dituding majikan sakit jiwa. Bagaimana tanggapan terhadap hal itu?

Saya kecewa. Waktu saya baca berita soal tudingan itu, saya seperti mau gila di rumah.  Saya bukan orang gila. Majikan saya yang gila.

Dia bilang saya sakit jiwa makanya saya lukai diri sendiri. Saya ingin sekali bertemu dan berdebat dengannya.

Seandainya jarak dengan Malaysia seperti Soe – Kupang, sekalipun tidak diundang, saya akan datang. Saya cari itu majikan dan saya ingin bicara empat mata. Saya ingin sekali, saya tidak takut.

Kalau saya sakit jiwa, saya tidak mungkin tulis surat untuk minta tolong. Orang gila kalau dikurung dalam rumah pasti kacau dan barang-barang dalam rumah hancur.

Tapi faktanya, saya tidak pernah melanggar apa yang ada dalam kontrak kerja, yakni tidak boleh merusak barang majikan dan tidak boleh pindah majikan selama masa kontrak.

Meski disiksa, saya tetap bertahan untuk bekerja, lalu kenapa saya dituduh sakit jiwa?

Saat sidang pada Maret memang ada bukti baru yang juga muncul. Dokter yang tangani saya waktu di rumah sakit ikut dalam sidang. Dia juga bersaksi tentang kondisi saya waktu dibawa ke rumah sakit.

Mungkin itu cara-cara yang baik untuk mengungkap kasus ini karena banyak bukti lain yang hilang, termasuk bukti rekaman CCTV di rumah majikan.

Setelah sidang bulan Maret, apakah pemerintah menghubungi Mama untuk sidang putusan pada Juni mendatang?

Tidak ada yang hubungi. Saya ingin sekali hadir pada sidang bulan Juni ini, karena banyak hal yang buat saya kecewa, putus asa.

Saya sudah menunggu lebih dari sepuluh tahun. Bahkan Presiden Jokowi sudah hampir selesai masa jabatan dua periode. Saya juga pernah menyurati Pak Jokowi untuk minta perhatian penyelesaian masalah ini.

Apa harapan Mama untuk putusan?

Semoga ada keadilan bagi saya sehingga saya bisa bebas. Karena majikan saya itu bebas di sana, saya di sini tidak bebas. Saya masih harus menanggung beban ini, harus berjuang menyembuhkan luka batin.

Majikan saya itu pelaku, saya ini korban, tapi saya tidak pernah bebas.

Saya berjanji, sampai mati pun saya akan tunggu keadilan itu.

Saya mohon, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan pemerintah Malaysia. Dua negara ini harus kerja sama kalau memang peduli dengan nasib saya.

Setiap hari, saya berdoa semoga saya secepatnya mendapatkan keadilan.

Kalau di NTT sudah ada dua orang yang dihukum dalam kasus ini, namun ada juga yang masih buron. Menurut Mama bagaimana?

Dua orang yang belum ditangkap Lisa Toh dan Asnat Tafuli. Lisa Toh ini yang bekerja sama dengan PT Malindo Mitra Perkasa. Dia yang terima saya dari kampung untuk serahkan ke PT Malindo. Sedangkan Asnat Tafuli dan Piter Boki itu yang rekrut saya di kampung.

Dua orang ini harus ditangkap untuk bertanggung jawab, karena sebelum mereka jual saya, mereka sudah jual banyak orang dari kampung.

Saya sudah cari informasi soal keberadaan mereka, tapi polisi yang juga harus bergerak untuk tangkap mereka.

Apa pekerjaan Mama setelah kembali dari Malaysia?

Saya kembali 2015 dari Malaysia. Waktu kembali itu saya tidak ada kerja, tapi saya tidak mau lagi jadi pembantu, walaupun di Kupang.

Saya tidak mau orang jadikan saya hamba lagi, juga siksa saya. Saya cukup belajar dari pengalaman di Malaysia.

Pada 2019 saya kembali menenun yang sebelumnya saya pelajari dari ibu saya sejak remaja. Dengan menenun ini, saya merasa lebih tenang.

Bersama kelompok penenun lain, kami kemudian membentuk Komunitas Hanaf. Saya jadi pengajar tenun untuk anak-anak muda.

Banyak orang yang tidak menganggap menenun sebagai sebuah pekerjaan yang bisa menghasilkan uang, tapi bagi saya pekerjaan ini membantu saya mengobati luka batin yang saya alami. 

Luka ini saya tidak bisa obati dengan pukul orang, maki orang.

Lewat menenun, saya bisa curahkan semua luka, siksaan yang saya alami. Setiap motif yang saya buat itu melukiskan perasaan saya.

Makanya, saya putuskan kembali tekuni pekerjaan ini. Biarpun uang yang saya hasilkan sedikit, tapi lebih penting saya tidak disiksa lagi dan saya bisa bangkitkan kembali semangat saya.

Ketika saya rasa sedih, saya ingat penyiksaan yang saya alami, saya mulai menenun.

Saat memulai lagi menenun, saya menangis, tapi setelah itu fokus saya terarah untuk menyelesaikan pekerjaan.

Mariance Kabu menyebut menenun sebagai salah satu caranya menyembuhkan luka batin karena penyiksaan di Malaysia satu dekade lalu. (Dokumentasi Mariance Kabu)

Tenunan biasanya dijual berapa?

Kalau saya sayang dengan tenunan yang saya hasilkan, saya tidak jual.

Biasanya selendang saya jual Rp200 ribu. Untuk sarung dan selimut bisa sampai Rp1 juta rupiah. Bisa tawar menawar juga untuk harga ini.

Dari hasil tenunan ini bagi saya cukup untuk kebutuhan. Saya hasilkan uang dari usaha sendiri, tidak harus bekerja lagi pada orang lain.

Menenun menjadi kawan saya yang paling setia, yang bisa buat saya senyum, yang selalu mengerti perasaan saya.

Apa pesan Mama untuk saudara-saudara yang mau bekerja di luar daerah NTT, termasuk Malaysia?

Kita tidak bisa melarang orang untuk cari uang. Tapi yang penting, jangan mudah percaya dan jangan takut untuk bertanya pada orang lain.

Pikirkan matang-matang sebelum memutuskan, termasuk ketika berhadapan dengan mereka yang merayu kita dengan menjual nama Tuhan. 

Saya sangat benci itu karena saya korban, bukti nyata dari rayuan itu.

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Artikel Wawancara Lainnya