Belajar dari Kisah Hidup dan Pemikiran Karl Marx

Pemikiran Marx masih relevan untuk membaca situasi terkini di tengah ekspansi kapitalisme, termasuk di Flores

Judul buku: Marx: Biografi Intelektual dan Politik [terjemahan dari judul aslinya, Another Marx: Early Manuscripts to the International] Penulis: Marcello Musto; Penerjemah: Mirza Jaka Suryana; Jumlah halaman: i-x +492; Tahun terbit: 2022; Penerbit: Marjin Kiri


Pemikiran Karl Marx, filsuf yang lahir di kota Trier, Jerman pada 5 Mei 1818 masih sangat berpengaruh sampai hari ini.

Gagasannya yang merambah ke berbagai bidang ilmu, seperti filsafat, sosiologi, ekonomi, politik dan lain-lain terus dibicarakan, sekaligus diperdebatkan.

Para pengkritik Marx memang menilai sejumlah gagasannya sudah ketinggalan zaman. Salah satunya adalah ketika ia meramalkan keruntuhan sistem kapitalis yang memang kemudian tidak terbukti hingga kini.

Kapitalisme, dalam beragam bentuk, terus mengakarkan diri dan memperluas cengkeramannya.

Namun, apakah gagasan dasarnya sudah berarti gagal dan tak lagi relevan?

Pada titik di mana kapitalisme semakin mengindividualisasikan dan menciptakan kesengsaraan di satu pihak [pekerja], sementara di pihak lain terjadi akumulasi kekayaan di tangan segelintir pihak [borjuis], pemikiran Marx masih relevan untuk mengambil sikap kritis pada berbagai macam ketimpangan, sekaligus mencari cara untuk memperbaikinya.

Kehidupan Marx

Sebelum masuk lebih jauh ke soal argumen tetap relevannya pemikiran Marx itu, termasuk dalam membaca konteks terkini di Flores, saya tertarik untuk melihat sosok Marx, terkait kehidupan dan pergulatannya, yang tentu berdampak pada gagasan-gagasannya.

Saya mempelajari hal ini dari salah satu buku yang penting untuk mengenal Marx, yaitu Another Marx: Early Manuscripts to the International, yang ditulis Marcello Musto, profesor sosiologi di Universitas New York, Toronto, Kanada.

Buku ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mirza Jaka Suryana, dengan judul Marx: Biografi Intelektual dan Politik dan diterbitkan oleh Marjin Kiri.

Dalam buku ini, Musto menulis banyak informasi penting seputar perjalanan kehidupan Marx.

Ia mengambil inspirasi dari surat Marx kepada kolega-koleganya, karya seperti Grundrisse dan Das Kapital serta tulisan orang lain tentang Marx.

Kehidupan Marx sebagaimana ditulis oleh Musto, tak hanya berkutat di wilayah teori, tetapi juga memilih terlibat aktifnya dalam gerakan sosial.

Salah satunya adalah dalam serikat buruh. Marx bahkan menjadi salah satu anggota Dewan Umum pada serikat buruh terbesar di Eropa, Internasional. yang terdiri dari berbagai organisasi buruh dari Jerman, Perancis, Swiss, Belgia, Italia dan Inggris.

Di Internasional, Marx kerap berpolemik gagasan dengan para pemikir lain.

Salah satunya adalah Proudhon, pemikir yang Marx sebut sebagai “kaum mutualis.”  Marx juga berhadapan dengan pemikir lain di Internasional yakni Bakunin, yang ia sebut “berusaha merebut kendali organisasi.” [hlm.259].

Jauh sebelum berpolemik dengan Proudhon dan Bakunin, Marx juga terlibat dalam polemik cukup keras dengan Carl Vogt, adalah profesor ilmu alam di Jenewa, Swiss. [hlm. 157].  Ia bahkan menulis buku khususHerr Vogt untuk menyerang Vogt.

Karya-karya Marx, seperti Grundrisse dan Das Kapital lahir dari perjuangan yang panjang. Marx bergulat dengan banyak pemikir filsafat, seperti Ludwig Feuerbach, G. W. Friedrich Hegel, Aristoteles dan para pemikir di bidang ekonomi, seperti Adam Smith, David Ricardo dan lain-lain.

Ia tak hanya membaca karya-karya mereka, tetapi menulis berbagai nukilan berisi kritiknya, lalu membangun tesis sendiri.

Proses penulisan karya-karya itu, seperti Grundrisse dan Das Kapital, membutuhkan waktu yang sangat panjang.

Sebagaimana ditulis oleh Musto, sikap teliti dan sikap kritis Marx membuat karya-karya itu tak pernah terburu-buru diterbitkan.

Bahkan, ketika sahabat karibnya, Engels, terus mendesak Marx sesegera mungkin menerbitkan karyanya, Marx terus menunda-nunda, yang membuat sebagian dari karya itu tak diterbitkan.

Baru pada tahun 1867, buku Das Kapital diterbitkan di Jerman. Terbitnya buku ini tak membuat Marx puas dengan apa yang telah dihasilkan.  

Sebagaimana ditulis Musto, Marx terus meninjaunya lagi dengan merevisi sejumlah bagian.

Musto menulis, “tidak puas dengan cara ia menguraikan teori nilai, ia menghabiskan Desember 1871 dan Januari 1872 menulis ulang lampiran 1867, dan hal ini menggiringnya untuk merombak bab pertama itu sendiri”, maksudnya Das Kapital jilid 1. [hlm. 219 – 220].

Dalam proses penulisan Grundrisse dan Das Kapital, Marx juga harus menghadapi banyak tantangan. Ada dua hal yang menyerang kehidupan pribadinya sehingga membuat proses penulisan berjalan sangat lambat.

Pertama, kemiskinan. Marx dan istrinya, Jenny Von Westphalen serta anak-anak mereka mengalami beban hidup yang begitu besar.  

Keluarga mereka tak punya apa-apa, selain rumah kontrakan di “Maitland Park No. 41, di London Utara” [hlm. 329].

Kehidupan keluarga Marx bergantung pada utang di tempat gadai dan Engels yang memberi dukungan finansial.

Dalam kondisi seperti ini, Marx menghadapi kematian putranya Guido pada 1850, putrinya Franziska pada April 1852 dan putranya Edgar yang berusia 8 tahun pada April 1855.

Ketika hendak berangkat ke Jerman untuk mengantarkan karya jilid 1 Das Kapital ke penerbit, Marx sebagaimana dikutip Musto kepada Engels meminta tolong “agar bisa menebus pakaian dan arloji dari rumah mereka di rumah gadai, jika tidak, ia tidak akan pergi” [hlm. 213].

Kedua, kesehatan Marx yang semakin menurun. Proses penulisan Das Kapital seringkali terhambat karena kesehatan Marx, yang banyak diserang penyakit seperti liver, inas [semacam bisul] dan beberapa penyakit lain.

Namun, ia tidak menyerah dengan kondisi itu. Bahkan, sebagaimana ditulis Musto, istrinya Jenny menulis surat kepada Engels pada 1870, memberitahu kondisi Marx yang dalam kendati terkena bisul, menekuni minat baru.

Alih-alih menjaga diri, tulis Jenny, Marx “mulai belajar Bahasa Rusia sekuat tenaga, jarang keluar, jarang makan, dan baru menunjukan bisul di bawah lengannya ketika sudah sangat bengkak dan mengeras” [hlm. 219].

Dua hal di atas, tentu sangat mengganggu pikiran siapapun yang berada dalam situasi semacam itu.

Namun, Marx justru menunjukan sikap yang sangat jelas. Ia tidak ingin kalah dalam masalah itu.  Ia melewatinya dengan prinsip untuk terus berjuang.

Warisan sikap kritis dan prinsip hidup untuk terus berjuang adalah ciri khas Marx sebagai seorang pemikir.

Dalam kondisi berada di titik terendah, ia tetap berada dalam prinsip perjuangan  menuntaskan karya Das Kapital, untuk menciptakan apa yang ia sebut sebagai “emansipasi kelas pekerja di bawah moda produksi kapitalis.”

Apa yang Bisa Dipelajari?

Marx tak hanya mewarisi karya dan pemikirannya lewat buku Grundrisse, Das Kapital dan karya-karya lain.

Komitmen dan prinsip untuk berjuang adalah landasan bagi Marx yang mampu menghasilkan magnus opus-nya.

Selain tentu saja dari pemikiran-pemikirannya, menimbah spirit dari perjuangan hidup Marx juga merupakan sesuatu yang penting.

Di sisi lain, warisan pemikiran Marx masih amat relevan dengan konteks kita hari ini, termasuk di Flores, di mana kapitalisme eksis dengan caranya sendiri.

Salah satu bentuk ekspansinya mewujud dalam sektor agraria. Di banyak tempat di Flores, mulai dari ujung timur sampai ujung barat, kapitalisme berusaha menundukan sektor agraria ke dalam rantai moda produksi kapitalis.

Ekspansi kapitalisme juga menyata dalam proyek geotermal dan industri pariwisata.

Meskipun kapitalisme menciptakan pasar yang terbuka, ia serentak mengakselerasi peralihan kepemilikan tanah dari petani ke para borjuasi lokal yang punya modal. Mereka membeli dengan harga murah dari petani, lalu menjualnya dengan harga tinggi.

Fenomena seperti ini perlu dibaca sebagai satu kondisi bahwa kapitalisme yang pernah dikritik Marx tak pernah selesai dibicarakan.

Lewat karyanya Das Kapital [vol. 1, hlm. 733], Marx telah mengingatkan bahwa “semakin cepat kapital berakumulasi di suatu kota industri atau perdagangan, semakin cepat arus mengalirnya bahan manusia yang dapat dieksploitasi, semakin menyedihkan tempat-tempat hunian darurat para pekerja itu.”

Selama tak ada ruang untuk kritik, tak ada upaya dari kaum muda untuk membongkar dan menggugat sisi-sisi gelap kapitalisme yang terus menancapkan pengaruhnya di Flores, ia akan terus menggelinding seperti bola panas yang meratakan dan membumihanguskan kehidupan sosial.

Seperti semboyan Marx, de omnibus dubitandum, semua harus diragukan, perlu ada sikap untuk mempertanyakan sesuatu yang baru, menguliti klaim-klaimnya, serentak membangun narasi tandingan atasnya.

Kapitalisme memang tak mungkin ditolak, tapi seperti Marx, lewat kritik dan gugatan-gugatannya, kita bisa memastikan hidup sosial kita di Flores tak dihancurkan oleh kapitalisme.

Marx telah menunjukkan itu lewat hidupnya, di tengah berbagai tantangan dan pergulatan yang mengiringi perjuangannya. Kita bisa belajar spirit dan komitmennya.

Editor: Ryan Dagur

Artikel ini terbit di halaman khusus KoLiterAksi. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pemerhati pendidikan ataupun masyarakat umum dan tertarik menulis di sini, silahkan kirimi kami artikel. Ketentuannya bisa dicek dengan klik di sini!

Silahkan gabung juga di Grup WhatsApp KoLiterAksi, tempat kami berbagi informasi-informasi terbaru. Kawan-kawan bisa langsung klik di sini.

Artikel Terbaru

Banyak Dibaca

Baca Juga Artikel Lainnya