Maxs Sanam, Rektor Undana: Kampanye Politik di Kampus Baik, Sekaligus Menantang

Memiliki mahasiswa lebih dari tiga puluh ribu, Maxs Sanam dalam wawancara dengan Floresa menyampaikan dukungan terhadap kampanye di kampus, sekaligus kekhawatiran jika tidak ada pengaturan yang jelas.

Floresa.co – Keputusan Mahkamah Konstitusi [MK] baru-baru ini yang membolehkan kampanye politik di lembaga pendidikan, termasuk perguruan tinggi, disambut dengan was-was oleh praktisi pendidikan.

Maxs Sanam, Rektor Universitas Nusa Cendana [Undana] Kupang, kampus negeri terbesar di Nusa Tenggara Timur dengan mahasiswa mencapai 33.000 mengatakan, di satu sisi kampanye politik itu positif untuk pendidikan politik. Namun, di sisi lain, dalam tataran implementasi, kampanye itu juga berisiko.

Kampus yang merupakan lumbung suara pemilih muda bisa saja terseret pada kepentingan politik kekuatan dominan. Beragamnya kepentingan dan pilihan politik juga bisa memicu konflik di internal kampus.

Tantangan lainnya adalah padatnya jadwal kegiatan akademik yang menyulitkan mengakomodasi semua politisi atau partai yang hendak berkampanye.

“Ada perkuliahan, ujian, bahkan seminar-seminar akademik yang menyita waktu para mahasiswa,” ujar Maxs.

Padahal, kata dia, agar tidak terseret tudingan pro pada pihak tertentu, kampus harus berlaku adil.

Floresa mewawancarainya pada Rabu, 30 Agustus untuk memotret bagaimana respons pengelola kampus, terutama universitas negeri, terhadap putusan MK ini.

Berikut petikannya.

MK telah membuka peluang politisi melakukan kampanye politik di lembaga pendidikan. Undana sebagai universitas negeri terbesar di NTT tentu menjadi incaran politisi lokal, bahkan nasional. Apa tanggapan Anda terkait putusan ini?

Saya menjelaskan posisi saya dulu. Saya memberikan komentar ini sebagai pribadi, karena akan ada pertemuan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri menyikapi putusan MK ini.

Selain itu, karena Undana ini komunitas akademik, saya sebagai rektor akan membicarakan hal ini dengan senat universitas juga, baru kemudian bisa memutuskan seperti apa sikap kami.

Itu alasannya kenapa saya berbicara sebagai pribadi, sebagai seorang pendidik.

Prinsipnya, saya menyambut positif putusan MK. Dengan kebijakan yang berlaku sebelumnya, itu sama seperti kita melarang untuk membicarakan atau mengajarkan kepada anak-anak kita atau remaja kita tentang seks. Padahal, sebenarnya hal-hal seperti ini bisa saja terjadi dan merugikan mereka. Artinya sesuatu yang kita anggap tabu.

Walaupun perumpamaan ini tidak bisa disejajarkan, tetapi maksud saya adalah sebenarnya kampus, mahasiswa juga butuh pembelajaran politik. Mereka ini juga pelaku politik. Mereka menentukan pilihannya kepada orang yang dianggap pantas untuk mewakili mereka.

Tentu, bukan mahasiswa saja, tetapi kita insan kampus juga demikian, memiliki kepentingan untuk itu. Sekarang sudah dibuka. Ini suatu kesempatan yang baik untuk pembelajaran politik.

Apa manfaat kampanye politik di dalam kampus?

Yang tadi saya sampaikan itu dari sisi kepentingan civitas akademika, khususnya mahasiswa. Tetapi dari segi para politisi, calon-calon yang bertarung, juga tentu ada keuntungannya. Masyarakat juga mendapat keuntungan.

Kampus bisa menjadi suatu wahana untuk melakukan kajian-kajian atau ujian terhadap berbagai ide atau program yang memang diusung oleh politisi. Itu akan disajikan kepada masyarakat, para pemilih, termasuk di kampus. Mereka bisa menentukan pilihannya yang lebih akademis, lebih logis.

Kita tidak lagi hanya berbasis politik kekeluargaan. Misalnya, saya pilih si A karena dia marga Sanam, dia teman saya. Basisnya harus pada gagasan dan kompetensi serta rekam jejak calon yang bersangkutan.

Kampus itu satu wahana yang paling tepat untuk melakukan itu. Jadi, manfaatnya ini multiple (beragam), baik bagi orang muda/mahasiswa, masyarakat dan juga bagi para politisi.

Bagaimana pengaturannya sehingga bisa memberikan akses yang sama kepada para politisi atau partai politik?

Nah, ini yang saya mau katakan. Yang tadi itu aspek positifnya. Kalau yang ini memang bukan aspek negatif, tetapi yang challenging, yang menantang. Tantangannya bahwa kampus juga memiliki agenda-agenda yang cukup padat. Ada perkuliahan, ujian bahkan seminar-seminar akademik yang menyita waktu para mahasiswa. Sementara di satu sisi kita harus berlaku adil. Enggak mungkin kita hanya menerima si A, sementara si B datang kita bilang ‘Oh maaf kita waktunya enggak ada’. Kan bisa dipersepsikan bahwa kita ini memiliki preferensi terhadap individu A atau partai A. Itu yang kita khawatirkan.

Aspek positifnya kita sambut. Apalagi, saya secara pribadi selalu mendorong mahasiswa untuk kritis. Bahkan saya bilang, ‘Saya didemo enggak masalah. Saya enggak pernah melarang mahasiswa untuk demo saya.’ Buktinya mereka demo beberapa kali, aman-aman saja.

Itu penting untuk  menguji gagasan mereka. Kita berargumentasi sehingga gagasan yang positif dan yang memberikan manfaat paling besar yang akan memenangkan kompetisi atau perdebatan itu.

Soal kekhawatiran yang Anda sampaikan, bagaimana menanganinya, apalagi Undana ini kampus negeri terbesar di NTT dan kemungkinan menjadi rebutan politisi dan partai?

Masalahnya di situ. Itu bukan ranah kami untuk mengatur. Saya kira, entahlah, saya tidak tahu nanti teknisnya. Ada aturan petunjuk teknisnya dari Komisi Pemilihan Umum [KPU] atau dari Badan Pengawas Pemilu [Bawaslu] tentang bagaimana melakukan kampanye di kampus.

Aturan dari KPU dan Bawaslu itu yang menjadi pertimbangan kita. Bukan tugas kami untuk membuat jadwal bagi para politisi ini. Ranah kami adalah akademik. Tugas utama kami adalah memberikan pelayanan tri dharma perguruan tinggi, yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.

Tetapi internal kampus kan bisa membuat aturan juga untuk mengatur kampanye atau sosialisasi politik di internal kampus?

Oh bisa saja. Kami menunggu arahan teknis dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi [Kemendikbud Ristek]. Tentunya induk saya adalah kementerian itu, khususnya dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Setelah itu harus saya sampaikan lagi dengan teman-teman di senat universitas karena mereka juga kita perlu dengar. Statuta Undana mengatur seperti itu.

Artinya regulasi teknis baik dari KPU/Bawaslu maupun Kemendikbud Ristek ini penting untuk menjamin tidak ada dominasi dari politisi atau partai tertentu dalam kampanye di kampus?

Benar. Regulasi ini perlu. Aturan teknisnya bagaimana. Supaya seperti yang tadi saya sampaikan, dari segi substansi, manfaatnya, secara pribadi, saya menganggap ini sangat bermanfaat, bagus sekali untuk pembelajaran politik ini. Cuma yang kami pikiran ini teknisnya seperti apa supaya kami tidak dianggap hanya memberikan kesempatan kepada partai atau institusi tertentu.

Kemudian di sisi lain, jadwal kita sendiri di kampus juga padat yang membuat kita tidak bisa mengakomodir semuanya. Lantas kemudian kita dianggap memihak.

Ini yang menjadi kekhawatiran kami, kendati sebenarnya kalau aturan teknisnya jelas, ya bisa diatur lebih baik.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Artikel Wawancara Lainnya