BerandaREPORTASEPERISTIWAKisruh UKT di Undana:...

Kisruh UKT di Undana: Diprotes Mahasiswa dan Orang Tua, Diklaim Rektor ‘Termasuk Terendah di Indonesia’

Kebijakan kampus menambah kelompok UKT dianggap tidak memperhitungkan kondisi ekonomi orang tua mahasiswa

Floresa.co – Sejumlah orang tua mahasiswa baru di Universitas Nusa Cendana [Undana] Kupang memprotes jumlah Uang Kuliah Tunggal atau UKT yang diberlakukan pada tahun ajaran baru 2023.

Difasilitasi oleh Badan Eksekutif Mahasiswa [BEM],  mereka menuding otoritas universitas negeri terbesar di NTT itu tidak memperhitungkan kondisi ekonomi orangtua mahasiswa.

Sementara itu, rektor bersikeras bahwa UKT kampus itu termasuk yang paling murah bila dibandingkan dengan kampus negeri lainnya di Indonesia.

Kebijakan UKT di Undana

UKT merupakan biaya operasional per semester yang dibebankan kepada mahasiswa dari keseluruhan Biaya Kuliah Tunggal [BKT] di Perguruan Tinggi Negeri [PTN], yang sebagiannya ditanggung oleh negara.

Jumlah UKT ditetapkan oleh pimpinan PTN setelah mendapat persetujuan dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi melalui direktorat jenderal terkait.

Besarannya terbagi dalam beberapa kelompok, dengan minimal dua kelompok.

Untuk kelompok I, nilai UKT maksimal adalah Rp500 ribu, kelompok II antara Rp501 ribu hingga maksimal Rp1 juta, dan seterusnya, yang berbeda-beda untuk setiap program studi.

Protes di Undana dipicu oleh kebijakan penambahan kelompok dari sebelumnya hanya tujuh kelompok UKT, kini menjadi 10. Ada penambahan kelompok VIII, IX dan X.

Seperti dilansir website resmi kampus itu, untuk jurusan Agroteknologi misalnya, dari sebelumnya biaya UKT antara Rp500 ribu (kelompok 1) hingga Rp2,5 juta (kelompok VII), kini tertinggi adalah Rp4,5 juta (kelompok X).

Dari data di website tersebut, juga terlihat bahwa untuk semua jurusan, jumlah UKT adalah sama  antara kelompok I dan II, yakni masing-masing Rp500 ribu dan Rp1 juta. 

Namun, untuk kelompok III hingga X, besarannya amat bervariasi.

Jurusan kedokteran yang memiliki UKT tertinggi misalnya, untuk kelompok III adalah Rp10 juta, terpaut Rp9 juta dengan kelompok II.

Perlawanan dari Mahasiswa dan Orang Tua

Rio Nappu, Ketua BEM Undana menjelaskan kepada Floresa bahwa mereka membuka posko pengaduan pada 15 Juli bagi masyarakat yang “merasa keberatan atas kebijakan kenaikan UKT” itu.

Namun, ia mengklaim, inisiatif BEM tersebut tidak mendapat respons yang baik dari birokrasi kampus.

Hari berikut usai pembukaan posko itu, BEM mendapat panggilan telepon, disertai intimidasi.

Seorang penelepon yang tidak diketahui identitasnya, kata dia, menanyakan “apa yang kamu ketahui tentang UKT?”

Rio mengklaim mengabaikan penelepojn itu dan memutuskan melanjutkan operasi posko.

Pada 17 Juli, kata dia, posko itu menjadi ramai setelah didatangi ratusan mahasiswa dan orang tua.

Sementara proses pendaftaran pengaduan berjalan, jelasnya, sekitar pukul 09.20 Wita ruang BEM didatangi satpam kampus, memintanya bertemu dengan Wakil Rektor III.

Mengklaim masih “melayani masyarakat dan mahasiswa,” ia memutuskan tidak memenuhi panggilan itu.

Tak lama kemudian, kata dia, orang yang diduga dari birokrasi kampus menyuruh masyarakat dan mahasiswa baru yang sedang berada dalam ruang BEM untuk keluar, kecuali pengurus BEM.

Pengurus BEM, jelasnya, memutuskan untuk ikut keluar dan berkumpul di halaman gedung student center.

Ia mengatakan, ketika berada di halaman gedung student center, ia tiba-tiba “ditarik secara paksa oleh Kasubag Kemahasiswaan untuk bertemu secara tertutup di dalam ruangan.”

Ia mengatakan menolak keras keras dan meminta untuk berdialog di halaman agar apa yang mereka bicarakan bisa “diketahui oleh semuanya.”

Setelah perdebatan itu, BEM bersama mahasiswa baru dan orang tua kemudian mendatangi ruang rektorat untuk bertemu secara langsung dengan rektor, Maxs Sanam.

Namun, menurut Rio, rektor tidak menjelaskan secara tuntas skema dan alasan penambahan kelompok UKT.

Ia juga mempersoalkan pernyataan rektor yang menyebut bahwa UKT Undana adalah yang termasuk yang paling murah di Indonesia.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Bem Fisip UNC (@bemfisipundana)

“Padahal kampus di Indonesia di setiap provinsi memiliki Upah Minimum Provinsi dan pendapatan masyarakat sangat berbeda-beda,” katanya.

Ia menjelaskan, universitas “tidak bisa menggunakan argumentasi tersebut sebagai dasar pikir pembenaran kenaikan UKT.” 

Respons Rektor

Dihubungi Floresa pada Kamis, 19 Juli, Rektor Maxs Sanam mengatakan ketidakpuasan terhadap UKT di kampus itu terjadi hampir setiap tahun sejak pemerintah menerapkannya pada 2013.

“Tetapi menarik bahwa tahun ini reaksinya cukup serius, sampai kepada penggalangan massa dan sebagainya,” ujarnya.

Ia mengklaim bahwa protes seperti ini tidak hanya terjadi di Undana, tetapi juga di sejumlah universitas negeri lainnya di Indonesia.

Maxs menyebut protes semacam itu lumrah karena secara alamiah “setiap orang menginginkan harga yang semurah mungkin untuk mendapatkan hal yang diinginkan, termasuk dalam hal biaya pendidikan.”

“Padahal pendidikan ini enggak bisa seperti itu,” katanya. “Kalau semuanya ingin murah, berarti biaya operasionalnya bisa sangat terganggu dan ujung-ujungnya akan terkompensasi pada kualitas.”

Maxs mengklaim bahwa penambahan tiga kelompok UKT tahun ini dilakukan karena “sudah sangat lama tidak ada tinjauan terhadap UKT Undana.”

Sementara di sisi lain, kata dia, tuntutan semakin bertambah dari pemerintah, termasuk untuk kemandirian keuangan universitas.

Meski demikian, katanya, Undana tetap mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat NTT dalam menetapkan nilai UKT serta penambahan kelompok atau level baru.

Ia menyebut, penentuan UKT kelompok I-X “bukan buatan rektor,” tetapi berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi No. 5 Tahun 2020, revisi dari peraturan serupa No. 55 Tahun 2013.

Maxs juga menjelaskan tujuan pengelompokan nilai UKT adalah untuk subsidi silang, yaitu “mereka yang mampu mensubsidi yang kurang mampu.”

Menurut Maxs, jumlah mahasiswa yang berada di kelompok tinggi, IX-X hanya sekitar 5%, demikian juga mahasiswa dengan UKT di level I dan II hanya sekitar 5%. Yang terbanyak adalah di level IV-VII.

Penentuan level untuk setiap mahasiswa, jelasnya, dilakukan melalui aplikasi, di mana mahasiswa baru memasukan sejumlah indikator, seperti penghasilan orang tua, jumlah tanggungan orang tua, tagihan listrik dan lainnya yang bisa menggambarkan kondisi perekonomian keluarga mereka.

Bila data yang dimasukan ke aplikasi dianggap tidak masuk akal atau terindikasi bohong, kata dia, aplikasi akan secara otomatis menempatkan mahasiswa bersangkutan pada level medium, yaitu IV-VII hingga mendekati tinggi.

Maxs menolak tudingan bahwa penetapan UKT yang baru ini tidak mempertimbangkan kondisi perekonomian masyarakat NTT.

Ia mengatakan aspek ekonomi masyarakat NTT sudah diperhitungkan, sehingga  nilai UKT di Undana hanya sekitar 30% dari nilai BKT yang ditetapkan oleh Kemendikbud Ristek.

Maxs memberi contoh nilai BKT untuk jurusan Peternakan sekitar Rp9 juta per semester. Di Undana, kata dia, UKT jurusan tersebut untuk level VII atau level tertinggi sebelum tahun 2023 adalah Rp2,5 juta per semester.

Ia mengatakan, dengan UKT yang kecil kompensasinya adalah pada kualitas. Mahasiswa, misalnya, hanya Praktik Kerja Lapangan [PKL] 2-3 kali saja.

“Jangan banyak-banyak, karena bahan kimianya nggak sanggup dibelikan. Kalau mau PKL, cukup di sekitar Kupang saja,” katanya.

“Jangan kita bicara tentang PKL di luar negeri seperti halnya mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia dan sebagainya,” tambah Maxs.

Prosedur Menyampaikan Keberatan

Merespons protes dari mahasiswa dan orang tua, Maxs menyatakan, kampus tidak bisa mengubah lagi UKT yang sudah ditetapkan.

Ia mengatakan mahasiswa baru atau orang tua yang keberatan dengan kelompok UKT yang didapat saat ini masih bisa mengajukan keberatan ke rektor.

Namun, kata dia, mereka perlu tetap melakukan registrasi ulang saat ini sesuai dengan kelompok yang sudah ditetapkan.

Berdasarkan surat keberatan, kata dia, kampus akan melakukan verifikasi dan validasi ulang data mahasiswa bersangkutan.

“Kalau memenuhi syarat, maka kita akan melakukan penyesuaian pada semester dua dan bila perlu kita kembalikan [selisih bayar]. Tetapi, itu harus melalui ketetapan rektor. Ada mekanismenya,” katanya.

“Kalau sekarang orang tua datang ke saya, ‘Pak Rektor, saya enggak setuju, turunkan UKT.’ Lah, saya turunkan atas dasar apa? Itu uang negara loh,” katanya.

Kalau UKT saat ini diturunkan begitu saja, kata Maxs, “saya yang bisa kena masalah.”

Perhatikan Situasi Masyarakat

Bagaimanapun, menurut Rio Nappu dari BEM, penentuan UKT di Undana tidak mempertimbangkan dengan baik ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) PP No. 23 Tahun 2005 Jo PP No. 74 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum [BLU]

Dalam PP tersebut, disebutkan bahwa tarif layanan BLU seperti Undana harus mempertimbangkan empat poin, yaitu kontinuitas dan pengembangan layanan, daya beli masyarakat, asas keadilan dan kepatutan; dan kompetisi yang sehat.

“Melihat polemik yang terjadi, dapat disimpulkan keempat poin tersebut tidak dijalankan secara maksimal,” katanya.

NTT, menurut data Badan Pusat Statistik [BPS] pada Maret 2023, memiliki 1.141.110 penduduk miskin atau 19,96 persen dari total populasi, naik 9.500 orang dari bulan yang sama tahun lalu. Persentase ini jauh di atas rata-rata nasional 9,36 persen.

Penduduk yang masuk kategori miskin adalah mereka yang pengeluaran per bulannya berada di bawah Garis Kemiskinan BPS, yaitu Rp535.547 atau Rp17.851 per hari.

Dengan kebijakan penambahan jumlah UKT, sementara kondisi ekonomi masyarakat NTT demikian, menurut Rio, “rakyat harus menerima pil pahit dari biaya kuliah yang begitu mahal.”

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga