Oleh: Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila
Konflik agraria di berbagai lokasi di Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT] akhir-akhir ini tidak lahir begitu saja. Di belakangnya, sebagaimana yang akan disorot dalam artikel ini, terjadi praktik eksklusi.
Tulisan ini secara khusus memotret konflik agraria di wilayah seperti Besipae di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Sumba Barat, dan Poco Leok di Kabupaten Manggarai.
Kuasa eksklusi dalam konflik di beberapa lokasi itu melibatkan pengaturan, pemaksaan, pasar, dan legitimasi.
Dengan memakai pendekatan yang ditawarkan Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Murray Li (2020) dalam buku ‘Kuasa Eksklusi; Dilema Pertanahan di Asia Tenggara,’ tulisan ini berpendapat bahwa konflik agraria di NTT menjalin dan membentuk apa yang oleh Karl Polanyi sebut sebagai ketercerabutan sosial akibat kapitalisme.
Beberapa Kasus Agraria
Di Besipae konflik terjadi antara warga adat dengan Pemerintah Provinsi NTT terkait lahan seluas 3.780 hektare. Sementara masyarakat adat Pubabu mengklaim sebagai pemilik sah lahan itu, di sisi lain pemerintah bersikeras menguasainya, yang berujung praktik penggusuran berkali-kali dalam beberapa tahun terakhir.
Konflik lahan di Besipae juga menyeret tokoh adat Nikodemus Manao ke muka pengadilan karena didakwa melakukan penganiayaan terhadap seorang aparat pemerintah. Ia kemudian divonis bersalah pada 24 Juli 2023, dengan hukuman enam bulan penjara.
Sementara di Sumba Barat, konflik agraria pada 2018 mengorbankan salah seorang petani bernama Poro Duka, berusia 45 tahun, karena melawan rencana korporasi PT. Sutra Marosi Kharisma membangun hotel di atas tanah yang tidak memiliki legalitas.
Di Poco Leok, laporan Floresa menunjukkan konflik terkait proyek geotermal yang dikerjakan oleh PT Perusahaan Listrik Negara [PT PLN]. Warga menolaknya karena meyakini proyek itu berdampak buruk terhadap mata pencaharian mereka sebagai petani.
Merespons penolakan ini, pemerintah ngotot memaksa masuk ke lahan warga melakukan survei lokasi, melibatkan aparat keamanan negara – tentara dan polisi. Akibatnya, konflik tak terhindarkan.
Temuan Floresa juga menunjukkan aparat keamanan bersikap arogan, intimidatif dan menggunakan cara-cara kekerasan untuk membungkam dan menciptakan ketakutan bagi warga.
Kuasa Eksklusi dan Penyingkiran Terselubung
Dalam berbagai konflik ini terjadi praktik penyingkiran secara terselubung warga dari tanah dan ruang hidup mereka.
Konflik-konflik ini bukanlah ruang kontestasi tunggal, tetapi berkelindan dan memilin dalam berbagai bentuk, seperti pembungkaman warga, penyingkiran dan eksklusi serta perampasan secara paksa.
Semuanya melibatkan mekanisme pengaturan, pemaksaan, pasar, dan legitimasi.
Bagaimana mekanisme demikian membentuk konflik agraria di NTT dengan berkaca pada tiga kasus di atas?
Pertama, lewat pengaturan. Pengaturan merujuk secara khusus pada aturan-aturan formal maupun informal untuk mengatur akses dan mencegah akses.
Pengaturan melibatkan empat komponen utama, yakni menentukan batas-batas, menentukan jenis-jenis penggunaan tanah, menggunakan klaim kepemilikan dan hak pemanfaatan dan membuat ketentuan-ketentuan (Hall, Hirsch dan Li; 2020).
Kedua, paksaan, yang merujuk pada praktik memaksa individu, komunitas atau kelompok untuk taat dan tunduk pada aturan yang ada. Mereka yang melanggar akan dihukum.
Paksaan ini bahkan seringkali bersifat terbuka, seperti lewat kekerasan dan intimidasi. Tujuannya agar individu dan komunitas menerima aturan yang telah dibuat.
Ketiga, lewat pasar, merujuk pada suatu tindakan yang dimotivasi oleh kepentingan ekonomis atas suatu keadaan. Misalnya masyarakat harus menjual tanah dan lahan mereka kepada orang luar dengan harga yang tinggi agar suatu proyek bisa berjalan.
Pada bagian ini, biasanya kuasa pasar seringkali membius kesadaran orang, terutama masyarakat miskin, dengan iming-iming harga tanah yang tinggi.
Keempat, legitimasi, yang dapat dipahami sebagai alasan pembenaran bagi kondisi ideal dengan dibungkus nilai-nilai moral (Hall, Hirsch dan Li; 2020).
Kuasa legitimasi menegaskan bahwa apa yang dilakukan atau dikerjakan merupakan tanda keberpihakan atau hadirnya negara dalam masalah sosial warganya. Hal ini seringkali dibingkai lewat narasi moral seperti demi kepentingan umum dan kesejahteraan bersama.
Keempat pola di atas kentara sekali dalam berbagai persoalan agraria di NTT.
Dalam konflik di Sumba Barat, kuasa pemaksaan dan pasar hadir dengan memaksa warga menerima keputusan PT. Sutra Marosi yang hendak membangun hotel.
Konflik warga Poco Leok dengan pihak PT. PLN yang melibatkan aparat keamanan negara juga menunjukan beroperasinya keempat kuasa eksklusi.
Lewat pengaturan, pemerintah menegaskan klaim kepemilikan tanah, menentukan batas-batas melalui survei lokasi, menentukan ketentuan-ketentuan tanah, serta menentukan hak penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Ini menunjukan praktik pengaturan bahwa apa yang telah ditentukan adalah keputusan yang tepat.
Sementara mekanisme pemaksaan melibatkan aparat keamanan negara, dengan jalan kekerasan fisik dan intimidasi.
Cara-cara seperti ini, merujuk pada Hall, Hirsch, dan Li menunjukan bagaimana negara memaksa warga menerima dan tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh negara.
Kuasa pasar juga melibatkan pihak PT. PLN. Dengan berbagai iming-iming untuk melancarkan proses pelepasan aset berupa tanah, pihak PT. PLN dan pemerintah memakai berbagai cara agar warga menerima proyek geotermal.
Sementara legitimasi, yang paling mencolok adalah pemerintah. Lewat narasi dan wacana moral, pemerintah menganggap proyek geotermal demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat Poco Leok.
Sikap Kritis
Konflik agraria di Besipae, Sumba Barat, Poco Leok, dan beberapa tempat lain di NTT amat jelas menunjukan pola eksklusi warga dari tanah dan ruang hidup mereka.
Bahkan, atas nama Proyek Strategis Nasional [PSN], negara menegaskan semua proyek yang hadir ke tengah masyarakat merupakan bentuk perwujudan dari upaya penciptaan pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Pada titik ini, menurut hemat saya, berbagai kelompok, terutama kaum muda masyarakat sipil di NTT harus mengambil sikap kritis dan waspada atas berbagai proyek yang mengatasnamakan kepentingan umum.
Konflik agraria di Besipae, Sumba, dan Poco Leok memberikan kita gambaran bagaimana kuasa eksklusi beroperasi dengan meminggirkan kepentingan masyarakat, seraya melapangkan jalan bagi penumpukan kekayaan pihak-pihak tertentu.
Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila adalah alumnus Universitas Merdeka Malang pada program studi Administrasi Publik. Berasal dari Manggarai Timur, NTT, saat ini bekerja dan berdomisili di Jakarta.