Kolonialisme dan Rasisme, Bagaimana Keduanya Berkelindan dalam Paradigma Pembangunan di Labuan Bajo?

Tidak ada senja kala untuk kolonialisme dan rasisme. Keduanya masih dipraktikkan hingga kini, termasuk lewat model pembangunan yang mendiskriminasi warga lokal

Judul: The Indonesian [Modern/Colonial] Dream of Development; Penulis: Venansius Haryanto dan Tamara Soukotta; Jumlah halaman: 23; Tahun terbit: 2024; Penerbit: The European Journal of Development Research


Acapkali kolonialisme dan rasisme dilekatkan dengan konteks puluhan tahun dan berabab-abad silam saat bangsa Eropa yang berkulit putih menduduki daerah jajahan seperti Indonesia. 

Ada semacam keengganan menggunakan kedua kata itu untuk menggambarkan apa yang sedang terjadi saat ini pada era pasca-kemerdekaan. Apalagi, jika itu dialamatkan kepada pemerintah.

Keengganan semacam itu tidak tampak dalam sebuah artikel jurnal yang terbit baru-baru ini tentang pembangunan di Labuan Bajo yang jadi primadona selama era pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Secara konsisten, Venansius Haryanto dan Tamara Soukotta, kedua penulis artikel bertajuk The Indonesian (Modern/Colonial) Dream of Development” itu yang terbit pada Desember 2024 menggunakan istilah kolonialisme dan rasisme untuk menggambarkan keseluruhan paradigma pembangunan yang sudah dan sedang dijalankan.

Lewat artikel yang terbit di The European Journal of Development Research tersebut, mereka berargumen bahwa yang sedang terjadi di Labuan Bajo adalah kelanjutan dari kolonialisme, di mana praktik rasisme melekat di dalamnya.

Kendati berbeda dengan konteks kolonialisme pada masa silam, di mana negara Barat menginvasi wilayah jajahan dan rasis terhadap warga jajahan, praktik kolonialisme tampak dalam pola peminggiran warga lokal. 

Rasisme tampak dalam imajinasi tentang kemajuan, modernitas yang dihegemoni pihak luar -mereka menyebutnya “orang-orang Jakarta”-yang memandang rendah dan mengabaikan aspirasi warga lokal.

Cara kerja demikian ditopang oleh kekuatan-kekuatan penyokongnya, termasuk pola represif aparat dan memanfaatkan mereka yang mengaku sebagai paling pintar, paling ahli, lalu mengklaim diri sebagai yang paling layak menentukan model pembangunan yang seharusnya. Bersamaan dengan itu, pengetahuan, pengalaman dan kearifan lokal yang dihidupi masyarakat pun diabaikan, dianggap terbelakang.

Corak Kolonialisme

Labuan Bajo memang menjadi sasaran mega proyek pemerintah, yang mengimpikan kota kecil di pinggir pantai ujung barat Flores itu sebagai destinasi wisata kelas dunia, kota pariwisata super premium.

Ini adalah bagian dari upaya pemerintah menciptakan daerah pariwisata seperti Bali, di tengah berkurangnya popularitas Pulau Dewata itu sebagai destinasi popular di dunia. Labuan Bajo adalah salah satu dari target penciptaan10 Bali baru di Indonesia.

Berbagai infrastruktur seperti bandara, pelabuhan, dermaga dan hotel berbintang dibangun, membuatnya berubah begitu cepat dalam dua dekade terakhir. Jejaknya sebagai kampung nelayan pada beberapa tahun silam hampir hilang.

Bagi warga lokal di Labuan Bajo dan Flores umumnya, yang sekian lama dianaktirikan dalam pembangunan infrastruktur sejak era Orde Baru, hal ini disambut baik. Beragam infrastruktur dilihat sebagai tanda kehadiran negara dan bukti kebaikan pemerintah.

Namun, dalam catatan kedua penulis, serentak dengan itu, melalui cara kerja pembangunan berparadigma kolonial dan rasis, warga lokal sebetulnya sedang menghadapi kenyataan pahit: mereka tercerabut dari tanah mereka dan dipinggirkan.

“Keberadaan mereka dibolehkan hanya sebagai objek pelengkap dari gambaran eksotis Labuan Bajo yang diimajinasikan pemerintah Indonesia dalam paradigma pembangunan [modern/kolonial],” tulis keduanya.

Bagaimana pola pembangunan seperti itu terjadi?

Kedua penulis mengetengahkan kaca mata kolonial, merujuk pada pandangan pemikir dekolonial Walter Mignolo dan Rolando Vazques. Bagi Mignolo dan Vasques, kolonialisme merupakan sejarah kekerasan yang berjalan bersamaan ke arah sejarah kemajuan, modernitas. Di dalamnya ada penyangkalan terhadap yang lain. Ada penyingkiran, penghinaan dan perendahan martabat manusia lain.

Mereka juga merujuk pada pandangan Maria Lugones, filsuf Argentina yang mengartikan kolonialisme sebagai perendahan martabat manusia, dehumanisasi, menempatkan manusia lain sebagai makhluk yang kurang manusiawi.

Dari perspektif demikian, menurut keduanya, kolonialisme yang berlangsung sejak zaman penjajahan Eropa itu masih berlangsung hingga hari ini. Lantas, penyebutan era sekarang sebagai pascakolonial tidaklah pas karena sejatinya kolonialisme itu masih berlanjut.

Keduanya menggambarkan hal ini dengan mengangkat contoh pembangunan Marina Water Front di Labuan Bajo, ikon baru pariwisata kelas dunia yang mewakili imajinasi pemerintah Indonesia tentang modernitas. 

Di balik keindahan tempat itu, ada hal yang tidak tampak di mata dunia, sisi gelap dari bayangan soal modernitas itu. Demi pembangunan marina, ada kepentingan warga setempat yang dikorbankan, diabaikan.

Keduanya mengangkat fakta miris soal krisis air dan listrik yang melanda warga Labuan Bajo dan sekitarnya. 

Hanya 10 kilometer dari Marina, tulis mereka, listrik dan air bukan urusan mudah bagi warga lokal.

Adalah hal biasa bagi warga lokal untuk bersusah payah mencari air di tengah fakta hotel-hotel dan restoran kelas dunia-sebagian memiliki kolam renang-yang berkelimpahan air dan memiliki sumber daya seperti untuk mengebor air tanah.

“Air tersedia berkelimpahan bagi turis, namun langka bagi warga lokal,” tulis keduanya.

Hal itu juga terjadi pada listrik. Kedua penulis yang punya pengalaman tinggal di Labuan Bajo mencatat, “kami punya pengalaman bertahun-tahun menanti listrik di tempat kami tinggal. Kami sangat dekat, tidak jauh dari Labuan Bajo.”

Dari pengalaman ini, realisasi janji soal manfaat pembangunan untuk kesejahteraan warga lokal yang seringkali didengungkan berkebalikan dengan realitas.

“Pembangunan membawa kelimpahan bagi Labuan Bajo. Tapi, itu berarti untuk turis, para tamu yang datang untuk menikmati liburan sambil mencari pemandangan indah. Itu tidak berlaku bagi warga lokal sebagai tuan tanah.”

Rasisme terhadap Orang Lokal

Dalam cara kerja pembangunan seperti ini, kata mereka, rasisme terjadi. 

Dalam rasisme, ada upaya membuat dikotomi antara siapa yang berhak untuk mendapat kenyamanan dan menyingkirkan mereka yang dianggap tidak layak mendapatnya. Mereka yang dianggap tidak layak itu dibiarkan berkorban atas nama pembangunan. 

Selama era penjajahan Belanda, rasisme bekerja dalam dikotomi antara pribumi dengan penjajah Eropa berkulit putih. Penjajah menguasai, mendominasi pribumi yang berkulit gelap dan dipandang sebagai sub-human, manusia yang lebih rendah. 

Pasca penjajahan Belanda, Indonesia tidak secara otomatis bebas dari “logika dan praktik dominasi” itu. Cara pandang dominatif berbasis rasisme itu bertahan di era pascakemerdekaan yang menjelma dalam relasi sosial ekonomi dan politik, terutama antara Jakarta dengan wilayah Indonesia lain, khususnya di bagian timur.

Warga di Maluku, Nusa Tenggara hingga Papua yang umumnya berkulit gelap lekat dengan stereotip sebagai manusia yang tidak beradab, tidak berpendidikan dan terbelakang. 

Ketika hal itu terkait dengan pembangunan, Jakarta mendefinisikan dirinya sebagai sentral, beradab, maju dan orang yang bisa memberikan bantuan, sementara yang lain adalah budak, kolot dan butuh bantuan.

Dengan cara pandang semacam ini, dalam konteks pembangunan di Labuan Bajo, orang Manggarai masuk kategori sub-human dari orang-orang Jakarta. Jakarta-lah yang kemudian paling bisa mengatur pembangunan di Labuan Bajo. Jakarta yang tahu apa yang terbaik bagi Labuan Bajo dan warganya.

Hal ini membawa dampak serius dalam cara kerja pembangunan. Relasi multidimensional warga lokal dengan lingkungan, seperti tanah, air dan ruang hidup tidak dipertimbangkan. Patokannya hanya pada logika pembangunan yang ukurannya ditetapkan dan dikendalikan oleh Jakarta.

Contoh konkretnya adalah di tengah situasi hampir semua pantai di Labuan Bajo sudah diprivatisasi, kepentingan warga lokal untuk bisa mengakses pantai publik tidak menjadi bagian dari skenario dalam pembangunan. 

Berikutnya soal opsi untuk merelokasi warga lokal dari kampungnya, seperti yang pernah diwacanakan terhadap Ata Modo, suku asli di Pulau Komodo, yang dianggap sebagai pilihan sah-sah saja.

Bentuk penyangkalan dan pengabaian lain terhadap warga lokal muncul dalam hal yang kadang tidak disadari sebagai soal: perumusan nama-nama tempat yang menjadi sasaran proyek pembangunan. 

Contohnya adalah kawasan Hutan Bowosie yang menjadi lokasi proyek pariwisata buatan oleh Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Flores [BPO-LBF]. Pemerintah menamainya Parapuar, gabungan dari dua kata dalam bahasa Manggarai, para; pintu dan puar: hutan, yang berarti pintu menuju hutan.

Selain mengabaikan nama Bowosie yang sudah diberikan warga dan sebutan lainnya Puar Pake [hutan di mana terdapat banyak jenis katak], Parapuar adalah ironi, tulis keduanya, “menimbang bahwa faktanya proyek ini menghilangkan hutan untuk menciptakan spot pariwisata. Hutan yang jadi tujuannya sudah tidak ada lagi.”

Proses semacam itu berkelindan dengan pengabaian hak warga lokal yang masih mempersoalkan penguasaan sebagian dari kawasan hutan itu oleh pemerintah yang kemudian diserahkan ke BPO-LBF, kendati mereka telah mendudukinya puluhan tahun.

Selain itu, ancaman bencana ekologis, seperti banjir, yang sudah terjadi pascaalih fungsi hutan itu tidak pernah menjadi pertimbangan serius. Semuanya diabaikan demi kepentingan investasi.

Represi, Pembungkaman

Model pembangunan seperti ini disokong oleh pendekatan yang represif terhadap perlawanan warga lokal.

Salah satunya adalah saat menghadapi aksi protes pelaku wisata pada Agustus 2022 terhadap monopoli PT Flobamor, BUMD Provinsi NTT, untuk menguasai bisnis di kawasan Taman Nasional Komodo. Saat itu terjadi pengerahan aparat besar-besaran, yang menangkap dan memukul para pelaku wisata.

Di sisi lain, pemerintah juga menjalankan pola penindasan akademik, lewat laku akademisi yang menghegemoni pengetahuan, menganggap sebagai pemilik pengetahuan yang paling sahih, valid.

Kedua penulis mengangkat contoh kasus akademisi dari Institut Pertanian Bogor yang dalam sebuah pertemuan di Labuan Bajo tentang masalah Taman Nasional Komodo, secara arogan mengabaikan suara warga lokal. Ia mengklaim dalam pertemuan itu bahwa dia tidak akan mau berdebat dengan mereka yang tidak memiliki latar belakang akademik, karena hanya akan membuang-membuang waktu.

Kedua penulis menyatakan, pernyataan akademisi itu adalah bentuk pembungkaman terhadap suara warga lokal. Hal itu dilakukan dengan menarik garis batas antara (1) teori dan pengalaman, di mana teori menguasai dan melampaui pengalaman (2) sains dan pengetahuan lain, dimana sains dianggap sebagai satu-satunya pengetahuan yang valid, dan (3) posisinya sebagai subjek yang memproduksi pengetahuan [saintifik] atas komunitas lokal yang ditempatkan sebagai objek pengetahuan.

Bagi keduanya, rasisme bekerja di sini, di mana yang dianggap valid adalah ahli yang datang dari pusat modernitas, Jakarta. 

Bagi mereka, ini adalah bagian dari cara kerja pembangunan yang arogan, yang menganggap warga lokal tidak berpendidikan, terbelakang, dan karena itu kurang manusiawi. Pengetahuan mereka, kendati berbasis pengalaman hidup, kemudian direduksi menjadi takhayul belaka. Rencana pembangunan pun didasarkan pada serangkaian data dan studi ilmiah yang dilakukan oleh para ahli—yang dianggap modern, berpendidikan tinggi. 

Pembangunan Macam Apa yang Perlu Diajukan?

Bagian penutup artikel ini mengutip Walter Minolo, bahwa berhadapan dengan praktik kolonial, dekolonisasi adalah salah satu opsi. Caranya adalah adalah dengan melawan, yaitu membongkarnya, memperlihatkan apa yang berusaha disembunyikan.

Kedua penulis telah melakukan hal itu lewat artikel ini. Menulis artikel ini, kata keduanya, adalah bagian dari perlawanan itu, sembari bertanya, “jika rasisme menyatu dalam pembangunan, apakah kita harus melanjutkannya? Dapatkan kita membuka diri untuk membayangkan kemungkinan suatu paradigma pembangunan yang lain?”

Mengakhiri artikel ini dengan pertanyaan menawarkan ruang diskusi bagi pembaca. 

Saya ingin menambahkan satu catatan lain, yang lebih terkait dengan cara atau strategi melanggengkan praktik kolonialisme dan rasisme dalam pembangunan di Labuan Bajo dan Flores umumnya.

Saya melihat salah satu strategi yang dijalankan adalah merangkul, jika tidak dikatakan mengontrol, lembaga-lembaga yang dianggap bisa menjadi rintangan. Salah satu yang penting disebut adalah lembaga sosial-keagamaan penting di Flores: Gereja Katolik.

Pembicaraan tentang Gereja Katolik relevan karena dalam konteks Flores, katolisisme menjadi elemen kunci, pengikat bagi mayoritas masyarakat. Lembaga ini merupakan penguasa yang masih mendapat legitimasi sosial dari masyarakat, juga kekuatan politik.

Dalam keseluruhan proses pembangunan di Labuan Bajo, Gereja Katolik telah dikerangkeng, misalnya lewat beragam Nota Kesepahaman atau MoU dengan pemerintah – seperti MoU pada 2021 dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat – dan pelibatannya dalam berbagai program yang didukung dengan pendanaan-pendanaan, seperti untuk festival-festival pariwisata rohani.

Kendati tentu saja dibungkus sebagai bagian dari dukungan terhadap program pemerintah dalam membangun Labuan Bajo, hal itu sebetulnya serentak membuatnya tidak berdaya untuk menyuarakan sikap kritis, seperti yang dilakukan pada masa lalu terhadap persoalan lain, seperti pertambangan.

Dengan strategi seperti itu, orang-orang di dalam Gereja, yang seharusnya bisa menjadi pengontrol, dininabobokan. Sayangnya, tidak ada kesadaran kritis untuk melihat hal seperti ini sebagai bagian dari strategi penaklukan terhadap orang-orang lokal, di mana orang-orang hierarki Gereja Katolik termasuk bagian di dalamnya.

Melihat kompleksitas ini, butuh diskusi kritis untuk membaca pola pembangunan yang dijalankan pemerintah. Kata pembangunan, kendati dalam kamus-kamus diartikan sebagai proses perubahan yang dilakukan secara terencana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga bisa dimanipulasi untuk menyembunyikan praktik-praktik penyingkiran, peminggiran, pengabaian terhadap mereka yang sebetulnya diklaim sebagai penerima manfaatnya.

Kata pembangunan bisa dipakai untuk menyamarkan praktik kolonialisme dan rasisme.

Beberapa dekade lalu Soekarno telah mengingatkan bahwa, “perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”  Setelah membaca artikel jurnal ini, saya ingin memberi tambahan: “perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan kolonialisme dan rasisme oleh bangsa sendiri.”

Editor: Herry Kabut

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA