Seabad Pramoedya Ananta Toer: Pengingat akan Luka, Keberanian Perempuan dan Rasa Kemanusiaan

Karya Pram menjadi tempat berpijak dalam masa yang gelap

Judul buku: Bumi Manusia; Penulis: Pramoedya Ananta Toer; Jumlah halaman: 535; Tahun terbit: 2006 [Cetakan 2]; Penerbit: Lentera Dipantara

Judul buku: Gadis Pantai; Penulis: Pramoedya Ananta Toer; Jumlah halaman: 270; Tahun terbit: 2006 [Cetakan 3]; Penerbit: Lentera Dipantara

Judul buku: Larasati; Penulis: Pramoedya Ananta Toer; Jumlah halaman: 183; Tahun terbit: 2006 [Cetakan 4]; Penerbit: Lentera Dipantara


Tahun ini tepat #SeabadPram. 

Tagarnya merupakan bagian dari peringatan 100 tahun lahirnya Pramoedya Ananta Toer.

Pram, sapaannya, lahir pada 6 Februari 1925. Ia berpulang dalam usia 81 tahun.

Beberapa pembaca–seperti saya temukan di media sosial–berucap “selamat merayakan #SeabadPram.”

Saya perempuan. Saya pembaca karya Pramoedya Ananta Toer semenjak setidaknya 19 tahun silam. 

Mengalami #SeabadPram di tengah-tengah kabar beruntun dari Nangahale di Kabupaten Sikka membuat saya menghindari kata “merayakan” atau “perayaan.”

Warga adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai di Nangahale sedang tidak merayakan apapun. 

Rumah mereka hancur digilas ekskavator yang dikerahkan korporasi milik Keuskupan Maumere. Kebun penghidupan ditebang parang para preman utusan perusahaan itu, PT Kristus Raja Maumere.

Sejumlah perempuan sempat menaiki mulut ekskavator, memakan tanah yang habis digaruk. 

Hingga hari ini lebih dari 400 warga bertahan di tenda-tenda darurat. Pemerintah daerah tak juga hadir bagi mereka. 

Sementara delapan warga adat menjalani persidangan. Dua di antaranya perempuan. 

Mereka sampai disidang berdasarkan laporan pastor yang melayani umat di Stasi Nangahale.

Bagi saya, 100 tahun lahirnya Pram–maupun peringatan apapun dalam waktu-waktu ini–bukan untuk dirayakan.

#SeabadPram mengingatkan saya akan luka-luka manusia, yang bersamanya muncul keberanian dan rasa kemanusiaan.

Penuh Luka

“Tulisan Pram menjadi tempatku berpijak dalam masa yang gelap,” kata Pemimpin Redaksi Konde.co, Luviana Ariyanti pada 7 Februari.

Berdiri pada 2016, media pimpinan Luvi secara kontinu menyuarakan isu-isu kelompok rentan dan termarginalkan.

Luvi mulai membaca karya Pram semenjak masa Orde Baru. 

Saat itu ia berkuliah di Yogyakarta sembari bekerja paruh waktu sebagai jurnalis–keputusan yang ditempuh sejumlah mahasiswa di kampusnya, tak terkecuali saya, adik kelasnya.

Pemerintah Orde Baru melarang peredaran buku-buku karya Pram, membuat Luvi “diam-diam membacanya dalam kamar tidur.”

Tetralogi Buru menandai sepaket buku Pram yang pertama dibaca Luvi. Tetralogi itu secara berurutan terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca

Membaca Tetralogi Buru, Luvi pelan-pelan tersadar “ternyata di negeri ini banyak perempuan yang penuh luka, dan kita sering tidak peka terhadapnya.”

Selain kekerasan fisik dan seksual, ia menemukan “sejumlah perempuan harus hidup didera stigma sosial.”

Kesadaran itu terutama ia temukan lewat Nyai Ontosoroh.

Berdaya di Tengah Kerapuhan

Nyai Ontosoroh dikisahkan sebagai gundik Herman Mellema, tuan tanah asal Belanda. 

Nama aslinya Sanikem. Ayahnya “menjual” Sanikem ke Mellema demi jabatan di suatu pabrik gula. 

Menjadi gundik seorang Belanda membuat Nyai Ontosoroh acapkali dihina hingga dianggap tak bermartabat. Ia juga tak diakui sebagai pasangan Mellema maupun ibu bagi dua anak mereka.

Di tengah kerapuhan, Nyai Ontosoroh berkukuh untuk berdaya. 

Ia mengisi hari-harinya dengan membaca, menulis dan berdiskusi dengan siapapun yang ditemui. Ia menyerap pengetahuan dari orang-orang Belanda yang bertamu ke rumah Mellema.

Ia digambarkan lebih banyak mempersoalkan ketimbang menerima; pilihan yang tak bisa atau tak mau diambil perempuan pada masanya.

Nyai Ontosoroh akhirnya menjadi mentor Minke, lelaki muda yang menjadi tokoh utama Tetralogi Buru. 

Minke merupakan representasi Tirto Adhi Soerjo, jurnalis pendiri Medan Prijaji, surat kabar pertama di Indonesia.

“Malam itu aku sulit tidur,” kata Minke pada halaman 105 Bumi Manusia, “memikirkan seorang perempuan yang dipandang sebelah mata dan sering dihina karena ia hanya seorang gundik.”

“Aku melihatnya dari segi lain: dari segala yang ia mampu kerjakan dan dari segala yang ia ucapkan, aku menaruh hormat padanya,” katanya.

Berjuang Demi yang Lemah

Bumi Manusia pertama kali diterbitkan Hasta Mitra pada 1980.

Novel sejarah itu–bersama tiga seri lainnya dalam Tetralogi Buru–ditulis Pram semasa ditahan di Pulau Buru, Kepulauan Maluku. Ia ditahan selama 10 tahun semenjak 1969.

Sebelum Tetralogi Buru, Pram lebih dulu menulis Larasati dan Gadis Pantai. 

Tak ubahnya Nyai Ontosoroh, Larasati dan Gadis Pantai–yang tak disebutkan namanya hingga kisahnya habis–turut memperjuangkan kehidupan yang direnggut penjajah. 

Gadis Pantai merupakan putri seorang nelayan. Ia tinggal di rumah seorang bangsawan setempat dan berstatus sebagai “perempuan percobaan.” 

Pada masa itu, kelompok bangsawan memilih perempuan untuk tinggal bersama mereka sebelum secara resmi menikah dengan sesama bangsawan. 

Tinggal di sebuah rumah megah tak membuat Gadis Pantai melupakan kampungnya bertumbuh. 

Ia meminta seorang pelayan memberinya informasi setiap terjadi hal-hal buruk di kampung; kabar yang membuat ia semakin tak betah tinggal bersama bangsawan.

Selagi gadis seusianya bangga dengan predikat “naik kelas” lantaran hidup bersama bangsawan, Gadis Pantai memilih diceraikan, kembali ke kampung dan berjuang bagi nelayan setempat.

Sementara Ara, sapaan Larasati, dikisahkan sebagai seorang aktris. Ia banyak bermain dalam film-film propaganda Belanda pada sekitar 1940-an. Digaji penjajah, ia hidup serbaberkelimpahan.

Suatu kali tentara Belanda mengajaknya ke sebuah penjara. Ara menjerit hingga pingsan ketika melihat tentara Belanda memukuli tahanan dari kampung sekitar. Pengalaman itu menyadarkannya untuk berbalik melawan penjajah. 

Ara memang tak terjun langsung ke medan perang. Namun, ia menyebarkan semangat perjuangan melalui keberagaman relasinya. 

Melalui Ara, Pram turut menunjukkan bagaimana kecintaan terhadap sesuatu–dalam konteks ini rakyat yang memperjuangkan kemerdekaan–tak melulu terlihat secara kasatmata. 

Ia hendak memberi tahu bahwa setiap dari kita punya cara masing-masing untuk membela dan memperjuangkan hal yang sama. Tak perlu dibandingkan.

Seperti dibilang Pram melalui Ara ketika hendak memata-matai dalam penjara: “Jangan bandingkan aku dengan siapapun. Aku akan masuk ke sana dengan caraku, dengan segala yang aku bisa.”

Terang dan Gelap

Pada Mei 1998, terjadi demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa di sekitar lingkungan Universitas Sanata Dharma dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 

Demonstrasi menuntut turunnya Soeharto itu berakhir ricuh. Kericuhan menewaskan Moses Gatutkaca, seorang mahasiswa Universitas Sanata Dharma. 

Ia meninggal akibat perdarahan terkena benda tumpul. Moses diabadikan sebagai nama jalan di antara kedua kampus tersebut. 

Mei itu beberapa mahasiswa demonstran sempat menitipkan buku-buku Pram ke Luvi.

“Teman-teman menganggap pekerjaanku sebagai jurnalis akan ‘aman,’ setidaknya untuk buku-buku mereka,” kata Luvi. 

Luvi menyimpan semua buku titipan itu dalam kamar tidurnya, yang secara cepat berubah menjadi semacam ruang rahasia.

“Apa yang bisa saya bantu, pasti saya lakukan. Apalagi saat itu begitu ‘gelap’ di luar sana,” katanya.

Ucapan Luvi mengingatkan saya akan percakapan jarak jauh dengan beberapa perempuan, pada suatu malam berangin kencang di sekitar tenda darurat Nangahale. 

“Bila nanti hujan turun, kami ikut bantu para lelaki jaga tenda supaya tak roboh,” kata seorang di antaranya. “Kami tidak akan diam, duduk-duduk saja,” kata seorang yang lain.

Teringat pula bagaimana 10 warga adat dari Flores Timur, laki-laki dan perempuan, menyewa sebuah pikap pada 2 Februari. Berangkat di tengah hujan berangin kencang, mereka membawa hasil bumi dan alat bertukang ke lokasi penggusuran Nangahale.

Ignanius Nasi, Kepala Suku Soge-Natarmage menerima kedatangan mereka, “bersyukur memiliki keluarga jauh yang begitu perhatian pada kami.”

Tak hanya membawa bantuan pangan dan alat bertukang, “mereka juga hadir memberi penguatan bagi kami.”

Pertemuan di Nangahale menunjukkan rasa kemanusiaan tak mengenal gender, jarak dan cuaca. 

Sementara melalui karya-karyanya, Pram seolah mengingatkan bagaimana rasa kemanusiaan tak mengenal masa. Kemanusiaan selayaknya terjaga, dalam terang atau gelap masa.

Editor: Anno Susabun

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA