Floresa.co – Sebuah petisi muncul di platform daring Change.org yang mendesak perhatian Presiden Prabowo Subianto dan UNESCO menyelamatkan Taman Nasional Komodo dari kerusakan karena konsesi bisnis perusahaan swasta.
“Kami mendesak Presiden Prabowo Subianto dan Kementerian Kehutanan untuk segera mencabut konsesi perusahaan-perusahaan ini dan menghentikan semua rencana mereka,” isi petisi yang diinisiasi Forum Masyarakat Sipil (Formasi) Flores itu dan muncul pada 9 Agustus.
Sementara kepada UNESCO, mereka mendesak lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa itu “terus konsisten menegakkan prinsip-prinsip pengelolaan Situs Warisan Dunia.”
Salah satunya adalah “tidak memberikan persetujuan atas rencana Pemerintah Indonesia demi menjaga Universal Outstanding Values (OUV) atau Nilai Universal Luar Biasa Taman Nasional Komodo, yaitu bentang alam yang unik sebagai satu-satunya habitat alami Komodo.”
Petisi itu bisa diakses pada tautan ini: https://www.change.org/SelamatkanTamanNasionalKomodo
Dalam penjelasannya, Formasi menyatakan, petisi itu merespons langkah pemerintah yang ”terus memaksakan pembangunan pusat-pusat bisnis” di tengah protes masyarakat dan teguran UNESCO.
Formasi menyinggung soal rencana PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) yang akan membangun ratusan bangunan di Pulau Padar, satu dari tiga pulau besar di habitat komodo itu.
Selain PT KWE, dua perusahaan lain juga mengantongi izin yang sama di kawasan itu, yakni PT Segara Komodo Lestari (SKL) dengan konsesi seluas 22,1 hektare di Pulau Rinca dan PT Synergindo Niagatama (SN) dengan konsesi seluas 15,32 hektare di Pulau Tatawa.
Lima Alasan Penolakan
Formasi mengajukan lima alasan menolak agenda penolakan terhadap rencana proyek pusat bisnis tersebut.
“Kebijakan ini memperparah ketidakadilan terhadap masyarakat setempat sebagai pemilik hak ulayat, yang pada 1980-an wilayahnya diambil untuk menjadi kawasan taman nasional,” tulis mereka pada poin pertama.
Pemilik hak ulayat yang dimaksud adalah masyarakat adat Ata Modo yang “kini berdesak-desakan hidup” di lahan seluas 17 hektare Pulau Komodo.
Sementara ruang hidup mereka diambil untuk dijadikan sebagai Taman Nasional Komodo, kata Formasi, ratusan hektare lahan di kawasan tersebut justru diserahkan pemerintah kepada perusahaan milik segelintir orang.
Poin kedua yang disoroti adalah “siasat utak-atik zonasi Taman Nasional Komodo” yang memungkinan perusahaan-perusahaan mendapatkan konsesi di kawasan itu.
“Pemberian izin kepada PT KWE pada 2014 terjadi setelah pada 2012 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)-yang kini menjadi Kementerian Kehutanan-mengonversi 303,9 hektare di Pulau Padar menjadi zona pemanfaatan wisata darat dari sebelumnya secara keseluruhan sebagai zona inti dan zona rimba,” kata mereka.
Zona inti adalah zona yang mutlak dilindungi, di dalamnya tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia, kecuali yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian.
Sementara zona rimba adalah zona yang di dalamnya tidak diperbolehkan adanya aktivitas manusia sebagaimana pada zona inti kecuali kegiatan wisata alam terbatas.
Utak-atik zonasi tersebut, menurut Formasi, adalah “taktik manipulatif yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi sehingga ikut jadi sorotan UNESCO karena tidak dilaporkan kepada lembaga PBB tersebut.”
Pada poin ketiga, Formasi menyebut pemberian izin kepada perusahaan-perusahaan tersebut “sarat dengan praktik korupsi kebijakan.”
“Pemilik ketiga perusahaan itu bukanlah entrepreneur murni atau profesional,” tetapi “sekaligus pejabat negara yang memiliki akses langsung dan tidak langsung pada perumusan kebijakan atau memiliki koneksi sangat dekat dengan pembuat kebijakan.”
Laporan Floresa sebelumnya berjudul “Para Pemburu Cuan di Pulau Padar” mengungkap nama politisi dan pebisnis di balik PT KWE yang berencana membangun 619 villa di pulau itu.
Mereka adalah anak-anak Setya Novanto, eks koruptor KTP elektronik dan Ketua DPR RI. Salah satu anaknya, Gavriel Putranto Novanto kini menjadi anggota Komisi I DPR RI dari Partai Golkar.
Selain beberapa nama yang terkait jaringan Novanto, nama lainnya yang kini menguasai PT itu adalah taipan Tomy Winata, pemilik grup bisnis Artha Graha yang juga mengelola kawasan konservasi Tambling Wildlife Nature Conservation di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. Direksi di PT KWE juga menghubungkan Tomy dengan Sugianto Kusuma atau Aguan, pemilik bisnis Agung Sedayu Group.
“Dengan memanipulasi regulasi, memanfaatkan jejaring kekuasaan, serta relasi patronase di pemerintahan, mereka mengubah taman nasional — yang semestinya menjadi benteng terakhir perlindungan keanekaragaman hayati — menjadi mesin bisnis privat,” tulis Formasi.
Akibatnya, “konservasi menjelma menjadi kamuflase, birokrasi berubah menjadi makelar kepentingan oligarki.”
Pemberian izin kepada perusahaan-perusahaan tersebut, menurut Formasi, merupakan praktik monopoli bisnis yang “merugikan iklim investasi yang sehat.”
Hal tersebut terjadi karena pembangunan pusat bisnis di Taman Nasional Komodo “berdampak buruk bagi usaha kecil dan pariwisata berbasis komunitas”.
Bahkan perusahaan-perusahan besar di Labuan Bajo yang membangun bisnis dengan cara-cara yang sehat juga berpotensi kalah bersaing karena bisnis perusahaan itu langsung dibangun di jantung destinasi wisata, kata Formasi.
Forum tersebut juga menilai proyek bisnis itu merusak reputasi pariwisata Indonesia, termasuk di Pulau Flores.
Padahal, sektor tersebut sudah “didesain sebagai pariwisata berkelanjutan dengan basis kelestarian alam dan budaya serta distribusi manfaat seadil-adilnya bagi masyarakat setempat.”
Rencana PT KWE membangun 619 bangunan di pusat bisnis wisata di Pulau Padar terungkap saat konsultasi publik perusahaan itu, yang difasilitasi Kementerian Kehutanan di Golo Mori Convention Center, Labuan Bajo pada 23 Juli.
Dalam paparan saat pertemuan itu, mereka mereka berencana membangun 448 vila, 13 restoran, 7 lounge, 7 gym center, 7 spa center, 67 kolam renang, sebuah bar raksasa seluas 1.200 meter persegi dan sebuah Hilltop Chateau (bangunan kastel/istana bergaya Perancis). Selain itu, akan dibangun sebuah gereja yang dipakai untuk acara pernikahan (wedding chapel).
Rencana PT itu, termasuk izin konsesi perusahaan lainnya ditentang masyarakat adat Ata Modo, pelaku pariwisata dan berbagai elemen masyarakat sipil.
Sementara UNESCO, yang bulan lalu merilis keputusannya yang kedua terkait pengawasan Situs Warisan Dunia itu meminta pemerintah “membuat keputusan yang menjamin pendekatan pariwisata yang berkelanjutan—baik di Taman Nasional Komodo maupun di kawasan sekitarnya—dengan tujuan melindungi Nilai Universal Luar Biasa (Outstanding Universal Value, OUV)” kawasan itu.
OUV adalah istilah UNESCO untuk mengidentifikasi Situs Warisan Dunia, baik budaya maupun alam, yang memiliki signifikansi melampaui batas-batas negara dan kepentingan yang luar biasa bagi seluruh dunia.
Penolakan juga disampaikan beberapa anggota DPR yang baru-baru ini menyatakan protes.
Salah satunya adalah Rahayu Saraswati, anggota Partai Gerindra yang juga keponakan Presiden Prabowo. Ia meminta Kementerian Kehutanan mengkaji ulang rencana proyek PT KWE.
Editor: Ryan Dagur