Floresa.co – Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena berulang kali memuji proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu di Kabupaten Manggarai.
Ia menyebutnya layak menjadi contoh dalam pengembangan geotermal karena tidak bermasalah dari sisi lingkungan dan sosial.
Berbicara dalam forum di Jakarta pada 18 Juli, ia berkata, usai berjalan 13 tahun di PLTP itu “tidak ada isu lingkungan, bagi hasilnya bagus, pengeborannya baik, keamanannya oke.”
Secara sosial juga “damai-damai saja,” katanya dalam dialog bertema Re-Industrialisasi dan Ketahanan Energi Menuju Indonesia Emas di Perpustakaan Habibie dan Ainun itu.
Ia menyampaikan pernyataan serupa saat mendatangi lokasi PLTP itu pada 16 Juli.
Dalam kunjungan tersebut, Laka Lena hadir bersama Bupati Herybertus GL Nabit, Kapolres Hendri Syaputra dan Dandim 1612 Budiman Manurung.
“Sudah 13 tahun berjalan, hampir tidak ada isu. Lingkungan aman, bagi hasil bagus, CSR jalan, teknis pengeboran aman,” katanya, seperti dilansir Tribunnews.com. CSR merujuk pada corporate social responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan.
Kondisi itu, menurut Laka Lena, membuat PLTP berkapasitas 10 megawatt tersebut layak jadi contoh kemandirian energi di NTT dan Indonesia secara umum.
Ia mengaku hadir di wilayah itu sebagai wakil pemerintah pusat untuk mendorong pengembangan PLTP Ulumbu Unit 5-6 di Poco Leok, proyek yang kini ditentang keras oleh warga.
Kepada warga di lingkar PLTP, ia juga melontarkan beberapa pertanyaan: “Apakah pasca beroperasinya Ulumbu produktivitas pertanian menurun? Apakah terjadi keracunan? Apakah membuat hewan ternak mati mendadak? Dan, apakah ada warga yang tidak bisa tidur nyenyak karena beroperasinya PLTP Ulumbu?”.
Berbeda dengan Temuan Satgas Bentukannya Sendiri
Pujian Laka Lena terhadap PLTP itu sebetulnya tidak sejalan dengan kenyataan.
Salah satunya dengan temuan investigasi Tim Satuan Tugas atau Satgas geotermal yang dibentuknya sendiri.
Satgas itu telah melaporkan temuannya pada 4 Juli di Kupang, yang juga didengar langsung oleh Laka Lena.
Laporan itu merupakan hasil uji petik di enam lokasi proyek di Pulau Flores dan Lembata pada 20 Mei hingga 13 Juni, termasuk di PLTP Ulumbu.
Dalam paparannya, Satgas itu menyatakan terdapat sejumlah persoalan PLTP Ulumbu yang belum terselesaikan, seperti belum tersedianya sumur injeksi dan instalasi pengolahan air limbah.
Kondisi ini, menurut Satgas dalam dokumen laporannya yang diperoleh Floresa, memunculkan potensi pencemaran terhadap aliran sungai yang berdekatan dengan lokasi PLTP.
Warga juga mencium bau belerang dalam radius sekitar 300 meter dari area PLTP dan kawasan kawah Wae Ces, menurut Satgas.
Karena itu, Satgas merekomendasikan agar segera dibangun Instalasi Pengolahan Air Limbah atau IPAL “untuk menghilangkan atau mengurangi kontaminan logam berat, mineral terlarut, pH ekstrem, dan panas berlebih.”
Rekomendasi lain adalah perlunya pemantauan berkala kualitas air Wae Ces dan Wae Kokor “karena adanya manifestasi (kawah) geotermal di samping PLTP Ulumbu” yang alirannya mengarah ke dua sungai itu.
Terkait pencemaran udara, Satgas menulis; “Uap buangan disebabkan karena belum adanya sumur injeksi, belum efektifnya kondensasi dan sistem pendingin dan belum efektifnya pengendalian tekanan dan aliran uap.”
Sementara dalam hal teknis, Satgas menulis dalam dokumen berjudul “Satuan Tugas Penyelesaian Masalah Pengembangan PLTP Ulumbu di Kabupaten Manggarai” itu bahwa “dari 3 sumur (ULB-1, ULB-2 dan ULB-3) di lapangan panas bumi Ulumbu, hanya satu yang produktif (ULB-2).”
Benarkah Warga Tidak Pernah Protes dan CSR Aman?
Soal klaim Laka Lena bahwa tidak ada dampak sosial dan ekonomi PLTP Ulumbu, warga sekitar yang tercakup dalam Desa Wewo berkata sebaliknya.
Mereka menyampaikan kesaksian tentang sejumlah soal dengan PLTP Ulumbu itu dalam sebuah acara sosialisasi pada 12 Juni 2024 untuk pengembangan proyek di Poco Leok.
Floresa hadir dalam acara itu, yang laporannya muncul dalam artikel ini: “Sosialisasi Persiapan Pengadaan Tanah Pembangunan PLTP Ulumbu Unit 5-6 Poco Leok.”
Sejumlah warga saat itu menyatakan sejumlah janji PT PLN dan pemerintah pada awal proyek tidak pernah direalisasikan, menyebutnya nol.
Warga juga mengaku tidak mendapat manfaat yang signifikan dari proyek tersebut.
Dua di antara janji itu adalah soal soal penyerapan tenaga kerja dan beasiswa.
Petrus Mada Ragat, warga Desa Wewo menyatakan dalam sosialisasi itu bahwa ia masih ingat dengan janji Menteri Badan Usaha Milik Negara [BUMN], Dahlan Iskan saat peresmian PLTP pada 11 November 2011.
Dahlan yang menjadi menteri pada 2011-2014, kata dia, menyatakan,“kehadiran geotermal [panas bumi] akan mengurangi angka pengangguran di Desa Wewo.”
“Tapi, buktinya, sekarang yang bekerja di sana adalah orang dari luar yang berasal dari Ende, Kupang, Bima, dan Jawa. Kami hanya jadi penonton,” katanya.
Hal senada disampaikan TS, inisial warga yang meminta Floresa tak menyebut namanya.
Ia bercerita bahwa empat orang anaknya memilih merantau ke Kalimantan karena tak ada lagi lapangan kerja di desanya.
Warga yang bekerja di PLTP Ulumbu, kata dia, umumnya merupakan “orang-orang yang punya kedekatan dengan PLN.”
“Ini berarti penyerapan tenaga kerja yang dijanjikan PLN tidak terbukti. Kalau benar ada penyerapan tenaga kerja, tidak mungkin anak-anak saya cari kerja di tempat lain,” katanya.
Petrus yang menjadi Kepala Desa Wewo pada 2016-2022 kala itu juga mempertanyakan janji bantuan PLN untuk warga, termasuk beasiswa bagi anak-anak sekolah
“Sampai hari ini tidak ada bantuan yang diberikan PLN kepada warga,” katanya.
Ia berkata, PLN memang pernah membantu pembangunan dua rumah adat di Wewo dan Lale.
Namun, ia menyebut “bantuan itu tidak ada artinya” karena PLN belum membangun dua rumah adat lainnya di Gonggor dan Goling.
“Hanya 10 persen yang kami nikmati dari kehadiran PLTP Ulumbu,” katanya.
Saat mempertanyakan janji beasiswa ketika dirinya masih menjadi kepala desa, Petrus berkata, PLN memintanya menulis semua nama para pelajar di desanya. Ia lalu mengusulkan nama 565 anak calon penerima beasiswa.
“Sampai detik ini, nol. Tidak ada sama sekali yang dapat beasiswa,” katanya.
Ia mempertanyakan “ke mana larinya” dana CSR.
Sementara TS mengaku, pada awal pembangunan PLTP Ulumbu, ia dan kedua saudaranya turut menyerahkan tanah di lahan ulayat atau lingko di Lindang kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai untuk dijadikan tapak pengeboran atau wellpad.
Pemerintah Kabupaten Manggarai, katanya, memberikan sejumlah uang kepada tua teno (tetua adat untuk urusan ulayat) agar menyediakan tanah pengganti untuk warga yang mempunyai lahan di lingko itu.
“Tapi kami tidak pernah menerima tanah pengganti itu. Kami tidak tahu uang itu ke mana,” katanya.
Ia mengaku memang pernah menerima uang tunai Rp700 ribu, “tetapi itu bukan uang sewa tanah” melainkan “uang ganti untung tanaman yang ada di lahan saya.”
Kata Warga Soal Masalah Lingkungan
Dalam sosialisasi yang sama, Sirilus Wangkar, seorang guru di Desa Wewo memprotes brosur yang dibagikan PLN karena menyebut kadar keasamaan atau potential of hidrogen (pH) terukur di wilayah itu kurang lebih 7, “jauh sekali dari indikasi hujan asam.”
Klaim itu disebut berbasis pada hasil kajian Lembaga Afiliasi Peneliti dan Industri di Institut Teknologi Bandung dan Universitas Katolik Indonesia St. Paulus Ruteng pada 2022.
Sirilus berkata klaim itu sangat kontradiktif karena “kenyataannya terjadi pengaratan seng di rumah warga termasuk di sekolah kami.”
Ia mengingat dua tahun sebelumnya, PLN memberikan bantuan kepada 40 kepala keluarga yang seng rumahnya berkarat.
Hal itu, kata dia, menunjukkan “fakta seng cepat berkarat akibat dari proyek geotermal memang benar,” berseberangan dengan klaim dalam brosur itu.
Beragam keluhan warga saat itu direspons Bondan Gustaman, Manajer Perizinan dan Komunikasi PT PLN UIP Nusra.
Ia berkata, proses penyerapan tenaga kerja tidak lagi berbasis pada klaim sebelumnya saat melakukan sosialisasi PLTP Ulumbu tahap satu.
Perekrutan tenaga kerja untuk selanjutnya, kata dia, akan disesuaikan dengan keahlian di bidangnya.
“Untuk program beasiswa, kami akan mengusulkannya ke PLN pusat,” katanya.
Editor: Ryan Dagur