Floresa.co – Tim satuan tugas atau Satgas yang dibentuk Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena telah melakukan investigasi atau uji petik di setidaknya enam lokasi proyek geotermal di Flores dan Lembata.
Keenamnya adalah Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat, Ulumbu di Kabupaten Manggarai, Mataloko dan Nage di Kabupaten Ngada, Sokoria di Kabupaten Ende dan Atadei di Kabupaten Lembata.
Investigasi ini merupakan respons atas penolakan dari warga di sejumlah lokasi itu yang didukung oleh sikap tegas Gereja Katolik.
Ide pembentukan Satgas muncul usai Laka Lena bertemu dengan Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden pada 4 April, yang kemudian dilanjutkan dengan pertemuan bersama para bupati dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Satgas tersebut telah menyampaikan laporannya dalam rapat koordinasi pada 4 Juli di Kupang. Rapat digelar secara hybrid yang dihadiri berbagai elemen, termasuk perwakilan dari masyarakat sipil yang mengadvokasi warga di lingkar proyek.
Floresa merangkum temuan Satgas di masing-masing lokasi proyek, yang merupakan hasil kunjungan lapangan pada 20 Mei hingga 13 Juni.
Satgas menemukan sejumlah masalah, mulai dari soal lingkungan, konflik sosial hingga dugaan pelanggaran yang terjadi saat perusahaan berusaha meloloskan proyek.
Berikut adalah penjelasan rincinya, beserta gambaran singkat polemik di setiap titik:
Wae Sano, Manggarai Barat
Proyek geotermal Wae Sano berada sekitar 34 kilometer arah tenggara Labuan Bajo. Lokasi ini disebut-sebut memiliki potensi listrik 30 megawatt (MW).
Awalnya proyek itu dikerjakan oleh PT Sarana Multi Infrastruktur, yang mulai gencar melakukan sosialisasi pada 2018. Belakangan, pengerjaannya beralih ke PT Geo Dipa Energi.
Sementara pendana, semula adalah Bank Dunia dan sebuah lembaga pemerintah Selandia Baru, New Zealand Foreign Affairs and Trade Aid Programme, dengan skema dana dari Geothermal Energy Upstream Development Project (GEUDP).
Pada November 2023, Bank Dunia mengumumkan angkat kaki dari proyek itu, merespons sikap warga yang terus menolak.

Temuan Satgas:
Dalam dokumen bertajuk “Satuan Tugas Penyelesaian Masalah Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat,” Satgas menyatakan pemerintah dan otoritas Gereja Katolik memiliki kesamaan pandangan dalam mendorong pembangunan demi kebaikan bersama (bonum commune).
Dokumen itu juga menyebut pentingnya proses eksplorasi yang berlangsung secara hati-hati, diibaratkan seperti “pesawat yang mendarat secara lembut agar tidak menimbulkan akibat negatif.”
Sejumlah poin yang disorot dalam dokumen tersebut antara lain pentingnya “penggunaan alat-alat canggih untuk meminimalisasi risiko, pelibatan tenaga kerja lokal secara konsisten serta realisasi janji sebelumnya seperti pembukaan akses jalan.”
Dalam hal pengadaan lahan, Satgas menyarankan agar tidak dilakukan dengan skema ganti untung, melainkan masyarakat diminta segera mengurus sertifikat kepemilikan tanah.
Sosialisasi rutin mengenai energi panas bumi dan pengelolaannya juga perlu dilakukan “untuk meningkatkan pemahaman masyarakat.”
Kendati dalam kolom analisis Satgas mengklaim “kedalaman pengeboran eksplorasi panas bumi adalah 1.500–2.500 meter tidak mengganggu sumber mata air”, bagian lain dari laporan itu menyebutkan bahwa eksplorasi di Wae Sano dapat menimbulkan pencemaran mata air yang bisa meracuni manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Masalah kedekatan proyek dengan kawasan permukiman juga menjadi sorotan, yang dikhawatirkan dapat mengganggu bahkan menghilangkan area tempat tinggal dan lahan produktif masyarakat.
Tim itu mencatat bahwa jarak titik bor dari rumah warga terdekat adalah 85 meter, meski tidak dijelaskan lebih lanjut apakah jarak tersebut memenuhi ketentuan standar keamanan dan kenyamanan bagi warga sekitar.
Terkait risiko terhadap kawasan Danau Sano Nggoang, Satgas menyebut pengeboran tidak akan berdampak pada danau vulkanik itu. Alasannya lapisan tanah tempat cadangan panas bumi berada di kedalaman 1.500–2.500 meter.
Sementara terkait kritik yang muncul berkaitan dengan minimnya pelibatan masyarakat lokal dalam tahap perencanaan proyek, Satgas mengklaim berbagai kegiatan telah dilakukan pemerintah dan perusahaan.
Hal itu mencakup penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara pemerintah dan Keuskupan Ruteng, penyusunan Rencana Kerja Tindak Lanjut (RKTL) serta pelaksanaan sejumlah agenda seperti “Kelas Geotermal,” pertemuan di kampung-kampung dan Sekolah Geotermal.
Ulumbu, Manggarai
PLTP Ulumbu berlokasi di Desa Wewo, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai. Usai beroperasi sejak 2011 dengan kapasitas awal 2×2,5 MW, PLTP Ulumbu saat ini berupaya mengembangakan proyek baru untuk Unit 5-6 di wilayah Poco Leok.
Proyek baru ini dikerjakan PT PLN dengan pendanaan dari Bank Pembangunan Jerman atau Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW).
Pada era Presiden Joko Widodo, proyek ini masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional. Bagian dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030, proyek itu menargetkan energi listrik 2×20 MW.
Warga telah melakukan berbagai aksi penolakan, yang beberapa kali direspons dengan tindak kekerasan oleh aparat keamanan. Dalam peristiwa pada 2 Oktober tahun lalu, beberapa warga mengalami penganiayaan.

Temuan Satgas:
Dalam dokumen bertajuk “Satuan Tugas Penyelesaian Masalah Pengembangan PLTP Ulumbu di Kabupaten Manggarai,” Satgas menyebut PLTP Ulumbu memiliki empat sumur produksi dengan kapasitas listrik sekitar 7–8 MW dan menjadi salah satu sumber utama pasokan listrik bagi sekitar 30 ribu rumah tangga di wilayah itu.
Di tengah rencana perluasan, Satgas menyebut muncul sejumlah persoalan PLTP Ulumbu yang belum terselesaikan, seperti belum tersedianya sumur injeksi dan instalasi pengolahan air limbah.
Kondisi ini memunculkan potensi pencemaran terhadap aliran sungai yang berdekatan dengan lokasi PLTP. Warga juga mencium bau belerang dalam radius sekitar 300 meter dari area PLTP dan kawasan kawah Wae Ces.
Selain itu, isu tertutupnya ruang dialog serta kurangnya informasi yang dapat diakses warga menjadi bagian dari hambatan komunikasi antara masyarakat dan pemerintah dalam pengembangan proyek ini.
Dalam ulasan “dukungan policy makers,” Satgas juga menyebut bahwa terdapat sejumlah regulasi perizinan untuk pengembangan PLTP Ulumbu.
Salah satunya pada 2022 Bupati Manggarai Herybertus GL Nabit menerbitkan Surat Keputusan Nomor 347 tentang pembentukan tim persiapan dan sekretariat untuk pengadaan tanah.
Satgas juga mengklaim sosialisasi “Tabe Gendang” sebagai permintaan maaf atas aktivitas survei yang sebelumnya memasuki lahan warga tanpa izin hingga FPIC atau Free, Prior and Informed Consent, terkait konsultasi publik untuk memberikan informasi demi persetujuan bebas warga.
PLN mengklaim bahwa sejak 2022 telah melaksanakan sebanyak 40 pertemuan formal, yang mencakup kegiatan Tabe Gendang, FPIC, sosialisasi, dan penti, dengan melibatkan lebih dari 3.550 warga.
Dalam bagian kesimpulan, Satgas mengklaim PLTP Ulumbu eksisting tidak berdampak negatif terhadap lingkungan alam, sosial, kesehatan, ekonomi, pelayanan publik, maupun kebijakan publik.
Nage, Ngada
Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Nage yang berlokasi di Kecamatan Jerebu’u, Kabupaten Ngada akan dikerjakan oleh PT Daya Anugerah Sejati Utama, anak usaha dari Grup Sinar Mas.
Kementerian ESDM mengumumkan perusahaan tersebut sebagai pengelola proyek pada 17 September 2024.
Proyek ini menargetkan energi listrik dengan kapasitas 40 MW di wilayah seluas 10.410 hektare yang merupakan kawasan hutan.
Ada dua sumur di WKP Nage. Sumur Nage 1 berada di Kampung Tude, Desa Tiworiwu, sementara sumur Nage 2 berlokasi di Kampung Malanage, Desa Dariwali.
Pengeboran sumur di dua desa itu diduga menjadi pemicu terjadinya bencana tanah bergerak di Kampung Adat Nua Olo, Desa Bowaru. Sejak Februari, tanah di tengah kampung itu retak sehingga warga terpaksa mengungsi ke kampung tetangga, Malabowaru dan dua rumah adat telah dibongkar.
Pada 25 Juni, PT Daya Anugerah Sejati Utama melakukan sosialisasi terkait proyek tersebut. Namun, Keuskupan Agung Ende mengecam perusahaan tersebut karena membagikan uang Rp25.000 bersamaan dengan penyebaran kuesioner persetujuan warga terhadap proyek.

Temuan Satgas:
Dalam dokumen bertajuk “Laporan Kunjungan Lapangan (Verifikasi dan Validasi Faktual) Satuan Tugas Penyelesaian Masalah Pengembangan PLTP Nage,” disebutkan bahwa WKP Nage diindikasikan memiliki potensi sumber daya panas bumi yang sangat besar.
Satgas menyebut sumur Nage-1 memiliki kedalaman 1.500 meter dengan estimasi suhu bawah permukaan (reservoir) mencapai 2.800 derajat Celcius berdasarkan hasil interpolasi. Sementara itu, untuk sumur Nage-2, kedalamannya sekitar 500 meter, namun belum tersedia informasi suhu di bawah permukaan.
Pemboran lanjutan untuk sumur eksplorasi disebut dapat dilakukan guna mengetahui lebih lanjut kondisi reservoir di kompleks prospek panas bumi Nage, menurut Satgas.
Laporan kunjungan lapangan Satgas menyebut bahwa sumur Nage-1 masih berstatus sebagai sumur eksplorasi. Kondisi fisik di lokasi dinyatakan normal dan telah dipagari, meski papan informasi proyek tidak terlihat di sekitar area tersebut.
Lahan seluas satu hektare tempat pembangunan sumur yang sebelumnya merupakan kebun milik warga disebut telah melalui proses ganti rugi dan diklaim berjalan baik.
Adapun sumur Nage-2 juga masih dalam tahap eksplorasi, yang dilaporkan berada dalam kondisi tertutup dan telah dipagari. Berbeda dengan sumur pertama, papan informasi proyek disebut telah tersedia.
Sementara itu, keretakan dan gerakan tanah yang timbul di Desa Bowaru, yang diduga disebabkan oleh kegiatan pengeboran telah ditinjau. Berdasarkan hasil wawancara Satgas dengan stakeholder dan pemerintah Kabupaten Ngada, hal itu diklaim telah terjadi sebelum kegiatan pengeboran.
Di sisi lain, informasi mengenai luapan lumpur yang terjadi di sekitar sumur Nage-2 saat pengeboran telah “diatasi dengan baik” dan “saat ini kondisi ini tidak terjadi lagi.”
Satgas juga mengklaim tanaman perkebunan seperti kemiri, kakao dan kelapa serta hewan ternak yang mati karena terkontaminasi oleh material yang berasal dari kedua sumur itu belum dapat dibuktikan kebenarannya.
Bantahan itu, menurut Satgas, muncul karena “sumur Nage-1 dan Nage-2 berada dalam wellpad yang terkunci dan sumur itu sendiri berada dalam keadaan tertutup dan terkunci sehingga sangat kecil kemungkinan matinya tanaman dan hewan.”
Mataloko, Ngada
Proyek geotermal Mataloko yang kini tengah dikerjakan oleh PT PLN menargetkan energi listrik sebesar 2×10 MW.
Proyek tersebut, yang berlokasi di Kecamatan Golewa, sekitar 15 kilometer arah timur dari Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada gagal berulang, yang berujung kemunculan lumpur dan uap panas di kebun milik warga sejak 2006.
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dan PT PLN mengakui kegagalan itu, menyebut dua sumur pengeboran awal “tidak memenuhi syarat sebagai pemasok uap PLTP Mataloko yang menargetkan pasokan uap sekitar 40 ton/jam untuk kapasitas listrik 2,5 MW.”
Kerusakan tersebut, kemudian diperbaiki, yang membuat PLTP Mataloko bisa beroperasi pada 2010. Namun, hal itu tidak berlangsung lama, karena pada tahun berikutnya terjadi kerusakan pada sistem pembangkit.
Pada 2013 hingga 2015, PLTP kemudian kembali beroperasi, sebelum kemudian tidak berfungsi lagi karena uap berkapasitas 5 MW tidak dapat menggerakkan turbin.
Setelah kegagalan itu, pada 2019, pengerjaannya dimulai kembali. Namun, target operasi dari proyek di lokasi yang menyimpan potensi panas bumi 60 MW cadangan terduga tersebut dihentikan pada tahun berikutnya karena kembali memunculkan belerang.
Laporan Floresa pada 15 Desember 2023 mengungkap cerita kegetiran warga di sekitar lokasi tersebut, yang telah merasakan dampak, seperti rusaknya lahan pertanian, keroposnya atap rumah dan munculnya penyakit. Dampak lainnya adalah rasa takut munculnya lubang-lubang semburan lumpur bercampur uap panas di pemukiman mereka.
Pada Desember 2024, sebagaimana dilaporkan Floresa, muncul lagi semburan baru di lahan sekitar proyek Mataloko, yang membuat warga kian takut.

Temuan Satgas:
Laporan kunjungan lapangan Satgas di PLTP Mataloko menyebut “timbulnya manifestasi baru di permukaan setelah pengeboran.”
Hal merupakan penyebab dari “pelepasan tekanan reservoir, perubahan aliran fluida bawah tanah, peningkatan permeabilitas (retakan baru), keluarnya gas H2S (hidrogen sulfida) dan bau belerang serta pencampuran dengan tanah dan lumpur.”
Fenomena korosi pada seng atap rumah warga disebabkan karena H2S dari manifestasi panas bumi yang muncul bersamaan dengan “udara dan uap air yang berpotensi membentuk senyawa asam yang sangat korosit terhadap logam, terutama seng.”
Sementara soal isu penyakit kulit dan gatal pada masyarakat di sekitar PLTP disebabkan karena paparan gas H2S, menurut Satgas.
Hal ini “sangat mungkin menjadi pemicu penyakit kulit dan gatal-gatal pada masyarakat, terutama jika terjadi dalam durasi lama, serta di lingkungan lembab dan tanpa pengelolaan lingkungan yang memadai.”
Satgas juga mengakui bahwa terjadi penurunan hasil pertanian warga karena aktivitas pengeboran yang menyebabkan gas H2S terlepas dalam jumlah signifikan dan tidak ditangani dengan baik.”
Pengambilan air dari Sungai Tiwu Bala, menurut Satgas, juga telah menimbulkan keresahan terjadinya penurunan debit air sungai yang berpotensi pada kurangnya air untuk kepentingan irigasi di daerah hilir dan penurunan kualitas air akibat pencemaran limbah proyek.
Dalam rekomendasinya atas temuan itu, Satgas menyebut pengembang proyek diminta segera merelokasi warga terdampak ke wilayah yang lebih aman.
Menurut Satgas, Pemerintah Kabupaten Ngada juga perlu meninjau ulang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai bentuk respons terhadap perubahan kondisi wilayah akibat dampak eksploitasi.
Di sisi lain, mereka menyarankan agar pengembangan PLTP Mataloko dan Nage diarahkan menjadi bagian dari Geopark Kabupaten Ngada.
Terkait sumur MT-1 yang telah ditutup, Satgas menyebut pengembang perlu melakukan pemeriksaan berkala dan mitigasi terhadap kemungkinan semburan ulang, mengingat masih adanya uap yang keluar dari area tersebut.
Selain itu, menurut Satgas, pengembang harus memantau sumur-sumur lain beserta area sekitarnya dan segera bertindak jika ditemukan indikasi kebocoran.
Sokoria, Ende
PLTP Sokoria yang mencakup WKP seluas 42.570 hektare mulai beroperasi pada tahun 2022, meski target awalnya pada 2020.
Pembangunan PLTP Sokoria dimulai sejak 2010 oleh PT Bakrie Power Corp. Pada 2016, proyek tersebut kemudian diakuisisi oleh KS Orka Renewables Pte. Ltd, yang berbasis di Singapura, induk dari PT Sokoria Geothermal Indonesia yang kini mengelola PLTP tersebut.
KS Orka adalah juga pemilik 95 persen saham PT Sorik Marapi Geothermal Power di Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara yang memiliki rekam jejak beberapa kali mengalami kecelakaan karena kebocoran gas beracun H2S dan menelan korban nyawa.
Kendati telah beroperasi, PLTP ini menjadi sorotan karena dampak kerusakan lingkungan, termasuk matinya salah satu mata air terdekat dan dugaan intimidasi yang melibatkan aparat saat pengadaan tanah.

Temuan Satgas:
Kunjungan lapangan Satgas ke proyek PLTP Sokoria terjadi pada 23–24 Mei. Lokasi yang disasar antara lain Kantor Bupati Ende, Rumah Jabatan Bupati Ende, serta area utama proyek di Desa Sokoria, Kecamatan Ndona Timur.
Dalam dokumen hasil kunjungan lapangan itu, Satgas menjelaskan bahwa PLTP Sokoria berada di jalur gunung api aktif, dengan hasil kajian geosains menunjukkan potensi panas bumi tinggi.
Menurut catatan Satgas, eksplorasi dimulai sejak 2017 dengan pengeboran delapan sumur panas bumi—empat sumur produksi, tiga sumur injeksi, dan satu sumur yang tidak produktif.
Proyek ini dikembangkan secara bertahap, dengan Unit 1 mulai beroperasi pada Maret 2022 (berkapasitas 4,716 MW) dan Unit 2 menyusul pada Juli 2023 (3,086 MW), sehingga total kapasitas mencapai 8 MW. Energi yang dihasilkan telah tersambung ke jaringan PLN dan disalurkan ke Pulau Flores.
Menurut Satgas, lokasinya yang berada di kawasan konservasi Taman Nasional Kelimutu memerlukan pendekatan sangat hati-hati dari sisi ekologis.
Selain itu, keterbatasan akses, minimnya infrastruktur dasar, dan dinamika sosial yang kompleks juga menjadi faktor yang harus dikelola dengan baik.
Dalam hal partisipasi publik, meskipun sosialisasi proyek telah dilakukan, Satgas menyebut bahwa keterlibatan masyarakat pada tahap awal masih terbatas.
Menurut Satgas, proses penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau AMDAL yang sempat tertunda kini sedang berjalan mengikuti regulasi terbaru.
Di sisi lain, terkait isu pencemaran mata air Lowo Tonggo, tulis Satgas, telah ditindaklanjuti oleh PT SGI, meski penyediaan air bersih bagi warga masih belum tuntas. Hasil uji laboratorium menunjukkan penyimpangan fisik, tetapi menurut Satgas dinyatakan tidak membahayakan.
Sejumlah temuan teknis lainnya di lapangan mencakup pemasangan insulasi dan pelindung pada pipa reinjeksi panas, perbaikan infrastruktur jalan pada tujuh titik menggunakan beton bertulang, serta pelaksanaan aktivitas pelepasan uap (compress-discharge) yang mengikuti SOP, disertai pengamanan dan pemberitahuan kepada warga.
Pemantauan kualitas udara, air, tanah, dan emisi, tulis Satgas, masih dalam batas aman.
Program pengelolaan lingkungan, termasuk limbah B3 dan pemantauan rutin, menurut Satgas, telah berjalan sesuai izin. Mereka juga menyebut flora dan fauna lokal tetap sehat, dengan indeks keanekaragaman hayati tergolong sedang hingga tinggi.
Namun demikian, distribusi listrik dari PLTP Sokoria belum merata dan masyarakat setempat masih sering mengalami pemadaman.
Menurut catatan Satgas, sekitar 85% warga disebut mendukung proyek karena adanya akses listrik, peluang kerja, dan manfaat ekonomi lainnya. Sementara itu, sekitar 15% lainnya menyuarakan penolakan dengan alasan dugaan pencemaran air dan kerusakan jalan.
Meski begitu, dugaan tersebut, menurut Satgas, belum terbukti secara signifikan di lapangan.
PT SGI mengklaim telah menjaga kelestarian sumber air dan mempertahankan produktivitas lahan pertanian. Mereka menyebut penurunan hasil tani lebih dipengaruhi oleh usia tanaman ketimbang dampak langsung proyek.
Kendati demikian, menurut Satgas, ketidakpuasan masyarakat tetap muncul, terutama soal distribusi pekerjaan yang tidak merata dan janji infrastruktur yang belum terpenuhi.
Secara legal, Satgas menyatakan bahwa perusahaan mengantongi dokumen upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) untuk tahap eksplorasi (2017) dan eksploitasi (2018), sesuai dengan regulasi saat itu yang tidak mewajibkan AMDAL untuk proyek di bawah 55 MW.
Penyusunan AMDAL baru dimulai pada 2023 berdasarkan Permen LHK No. 4/2021 tentang Daftar Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki AMDAL, UKL-UPL atau Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL).
Terkait status lahan warga diklaim telah bebas dan tidak dalam sengketa, dengan mekanisme ganti untung yang mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kendati demikian, menurut Satgas, prosedur pembebasan lahan mengabaikan hak-hak masyarakat adat, dengan legitimasi yang hanya diperoleh lewat elit lokal. Ada pula indikasi tekanan dari aparat keamanan pada tahap awal pelaksanaan proyek.
Selain itu, isu penurunan kualitas air dan hasil pertanian belum ditangani secara terbuka.
Di sisi lain, fenomena korosi atap seng yang dikeluhkan sebagian warga diduga berkaitan dengan gas H2S alami dan kelembaban tinggi. Namun, menurut Satgas belum ada bukti langsung yang mengaitkannya dengan aktivitas PLTP.
Dugaan penurunan muka air Danau Kelimutu juga mencuat, meskipun belum ada verifikasi ilmiah atas klaim tersebut.
Satgas juga menyampaikan sejumlah rekomendasi untuk ditindaklanjuti. Rekomendasi itu mencakup audit lingkungan independen, pemerataan akses listrik, optimalisasi dana untuk Kabupaten Ende, pembentukan forum multipihak permanen, mekanisme pengaduan terbuka dan peningkatan infrastruktur serta program pemberdayaan masyarakat yang konkret.
Riset dan pengabdian dari perguruan tinggi lokal turut didorong, termasuk pembukaan program studi geologi dan geotermal di Universitas Nusa Cendana Kupang. Produk unggulan lokal seperti kopi Sokoria dinilai potensial untuk dikembangkan. Validasi ilmiah atas dampak lingkungan, terutama terkait Danau Kelimutu, juga dinilai perlu dilakukan.
Pendekatan manajemen berbasis kenyataan lapangan atau best fit management, menurut Satgas, menjadi prinsip penting.
Proyek PLTP Sokoria, sebagai bagian dari agenda energi terbarukan nasional, disarankan dijalankan secara inklusif dan adil. Pelibatan aktif masyarakat, penguatan kapasitas lokal, dan peningkatan layanan publik disebut sebagai syarat mutlak demi keberlanjutan proyek.
Atadei, Lembata
Pemerintah mulai menargetkan proyek geotermal Atadei melalui Surat Direktur Jenderal Mineral, Batu Bara dan Panas Bumi Nomor 1580/06/DJB/2008.
Pada 30 Desember 2008, Kementerian ESDM lalu menetapkan WKP dalam Keputusan Nomor 2966/K/30/MEM/2008.
Pengerjaan proyek itu terus digenjot menyusul langkah pemerintah yang berupaya memaksimalkan potensi geotermal di Flores hingga Lembata.
PT PLN telah mendapat izin prinsip dari Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur pada 27 November 2020, di mana luas lahan yang menjadi lokasi proyek 31.200 hektare, mencakup tiga desa di Kecamatan Atadei yaitu Desa Atakore, Desa Nubahaeraka dan Desa Ile Kimok.
Proyek ini menargetkan energi listrik dengan kapasitas 10 MW yang direncanakan mulai beroperasi pada 2027.
Tak ubahnya di Flores, proyek geotermal di Atadei turut menjadi sorotan Gereja Katolik dan pegiat sosial setempat.

Temuan Satgas:
Menurut Satgas, warga di Desa Nubahaeraka menunjukkan dukungan penuh atas proyek ini. Masyarakat setempat bahkan menyatakan antusiasmenya untuk segera menikmati listrik.
Selain itu, kata Satgas, masyarakat telah merasakan manfaat program tanggung jawab sosial dari PT PLN, berupa pendampingan di sektor pertanian.
Namun, Satgas mencatat bahwa masalah masih muncul, khususnya terkait pembebasan lahan.
Di Desa Nubahaeraka, masih ada satu pemilik lahan yang menolak memberikan tanahnya melalui mekanisme ganti untung dan memilih agar tanahnya disewa saja.
Sementara di Desa Atakore, Satgas mencatat dua kelompok masyarakat dengan pandangan berbeda. Kelompok pro-PLTP menerima rencana pengembangan, namun masih membutuhkan informasi lanjutan dari para ahli geotermal dan lingkungan mengenai dampak eksplorasi. Para pemilik lahan yang mendukung juga berharap dapat melakukan studi banding ke lokasi PLTP lain yang telah berhasil.
Sebaliknya, Satgas mengidentifikasi bahwa kelompok yang kontra menolak proyek dengan berbagai alasan, seperti belum adanya sosialisasi yang melibatkan warga secara menyeluruh.
Selain itu, Satgas mencatat kekhawatiran masyarakat terhadap dampak pembukaan lahan dan pengeboran yang dinilai mengancam keseimbangan lingkungan. Krisis air bersih juga menjadi perhatian, sebab sumber air masyarakat Atakore saat ini terbatas dan sangat bergantung pada sumur bor.
Tak hanya itu, mereka juga menilai adanya tekanan terhadap pemilik lahan, serta potensi pelanggaran terhadap hak adat dan nilai kultural karena lokasi proyek berada di atas tanah ulayat.
Editor: Ryan Dagur