Oleh: B. Mario Yosryandi Sara
Setiap kali gelombang demonstrasi besar meletus di Indonesia, kita selalu disuguhi pemandangan yang berulang– gas air mata yang menyesakkan, peluru karet menghantam tubuh, sirene meraung. Di sisi lain massa membalas dengan batu, petasan, atau amarah yang menyasar aset-aset negara. Fasilitas negara dirusak dan dilempari, kendaraan milik negara atau aparat dibakar.
Lalu, seakan mengikuti naskah yang sudah lama dipelajari, media, para pejabat, bahkan sebagian besar masyarakat sipil buru-buru mengglorifikasi pelbagai aksi protes dengan moralitas semu. Misalnya: “demonstrasi boleh, tapi jangan anarkis,” “protes sah, tapi jangan merusak fasilitas negara.” Atau lebih tajam lagi; “itu bukan aspirasi rakyat, namun bentuk kriminalitas,” dan sebagainya.
Narasi seperti seperti itu, jika ditelisik lebih jauh bukanlah pernyataan netral, tapi mekanisme ideologis untuk mendisiplinkan rakyat, untuk melucuti legitimasi politik dari mereka yang berani melawan. Ketika orang mengutuk perusakan aset pemerintah dan merambat ke fasilitas publik, tanpa sadar mereka sedang mengukuhkan ilusi jika negara adalah korban yang tak bersalah dan kekerasan hanya datang dari bawah, dari rakyat yang memberontak.
Sejatinya, logika demikian cenderung naif dan berbahaya. Ia menutup mata pada fakta bahwa negara adalah produsen kekerasan yang sistematis. Kekerasan itu dilembagakan lewat aparat bersenjata, hukum yang tumpul ke atas, hingga kebijakan ekonomi-politik yang mematikan ruang hidup rakyat.
Ketika ribuan pelajar STM, mahasiswa dan aktivis dari pelbagai elemen dipukuli di depan Senayan, manakala buruh ditangkap karena menolak upah murah, atau pada saat masyarakat adat diusir dari tanah ulayatnya akibat ekspansi industri ekstraktif dan food estate, mengapa itu tidak disebut anarkis? Mengapa gas air mata yang menembus lingkungan kampus, pemukiman penduduk, dan sekolah-sekolah tidak dianggap mengganggu dan merusak fasilitas publik?
Jelas terlihat bahwa anarkis bukanlah istilah deskriptif, tapi label politis. Istilah ini digunakan untuk membungkam suara perlawanan, untuk menggiring opini publik agar lebih peduli pada rusaknya benda mati daripada pecahnya kepala dan hilangnya nyawa massa aksi di berbagai demonstrasi dan perlawanan rakyat. Kondisi demikian adalah upaya terselubung alat-alat negara untuk membungkam narasi kekerasan–di mana kekerasan negara dianggap wajar–sementara amukan rakyat diposisikan sebagai ancaman serius.
Kekerasan Negara yang Dinormalisasi
Pertama, mari kita bertanya, mengapa ketika rakyat melempar batu dianggap brutal, tetapi ketika aparat menembakkan gas air mata dan peluru karet, bahkan peluru tajam, itu disebut penertiban (demi penegakan hukum)? Mengapa rusak atau terbakarnya gedung parlemen (DPR/DPRD) lebih dipandang berharga ketimbang nyawa demonstran yang terluka atau bahkan tewas di jalanan?
Kekerasan negara telah dinormalisasi melalui bahasa hukum dan media arus utama. Ketika demonstrasi memanas, pemberitaan hampir selalu mengulang frasa: massa anarkis merusak fasilitas umum. Tetapi jarang sekali ditampilkan penderitaan mahasiswa yang dikriminalisasi, buruh yang dipersekusi, atau warga miskin kota dan petani pedesaan yang ruang hidupnya dihancurkan oleh ketamakan negara. Di sini, yang dipertaruhkan tak lain merupakan legitimasi siapa yang berhak menggunakan kekerasan. Negara mengklaim monopoli atas kekerasan, sementara rakyat yang melawan selalu ditempatkan di luar subjek hukum.
Kedua, kita harus memahami bahwa demonstrasi yang berujung tindakan anarkis tidak lahir dalam ruang hampa. Itu adalah produk dari akumulasi frustasi, akumulasi kekecewaan dan kegagalan negara mendengarkan penderitaan rakyat. Di Indonesia, sejarah mencatat, seyogyanya perubahan politik besar justru tidak pernah lahir dari demonstrasi yang rapi, damai dan penuh sopan santun. Misalnya reformasi 1998 bukan lahir dari seminar akademik atau dengar pendapat di ruang parlemen. Ia meletus lewat api, kerusuhan, dan massa yang menabrak batas aturan formal.
Bagi banyak kalangan yang merasa tertindas, tindakan anarkis adalah satu-satunya bahasa yang dapat didengar penguasa. Ketika pintu-pintu formal demokrasi ditutup, ketika suara rakyat diputarbalikkan melalui oligarki politik, maka “parlemen jalanan” yang keras menjadi pilihan tak terelakkan.
Ketiga, seringkali perusakan fasilitas publik dikutuk sebagai tindakan anti-rakyat. Namun mari kita merenungkan pertanyaan mendasar ini: apakah fasilitas publik itu benar-benar dimiliki dan dinikmati rakyat? Jalan tol, gedung parlemen, kantor-kantor pemerintah hingga kepolisian, atau bahkan pabrik-pabrik besar–siapa sebenarnya yang menjadi penerima manfaat utama dari keberadaannya? Bila kita amati lebih dekat, banyak yang disebut fasilitas publik sesungguhnya hanyalah infrastruktur yang menopang akumulasi kapital dan reproduksi kekuasaan negara. Jalan tol misalnya, lebih sering melayani mobil pribadi kalangan menengah-atas dan distribusi logistik korporasi ketimbang transportasi rakyat kecil.
Gedung parlemen adalah simbol perwakilan rakyat yang justru sering melahirkan undang-undang yang merugikan mayoritas rakyat, seperti UU Cipta Kerja hingga UU TNI. Sedangkan bank, lebih banyak menjadi saluran akumulasi finansial yang menguntungkan oligarki, sementara masyarakat miskin tetap tersingkir dari akses kredit yang adil. Di sini, perusakan fasilitas semacam itu dapat dibaca sebagai kritik simbolik terhadap struktur ketidakadilan. Apa yang dirusak bukanlah kepentingan umum dalam arti sejati, melainkan simbol dominasi negara dan kapital.
Dalam perspektif Chantal Mouffe (2000), tindakan semacam ini dapat dilihat sebagai upaya membuka ruang antagonisme di tengah masyarakat yang semakin direduksi ke dalam konsensus palsu. Merusak fasilitas publik yang alih-alih dimanfaatkan publik, padahal secara empiris lebih sering memperkuat ketimpangan, berarti merobek tabir ideologi yang selama ini melindungi simbol-simbol kekuasaan tersebut.
Perlawanan semacam uraian di atas, yakni upaya menginterupsi tatanan hukum yang timpang, bukan sekadar merusak benda mati. Artinya, tindakan yang dicap anarkis memiliki dimensi politik yang lebih dalam. Rakyat sedang menggugat siapa sebenarnya yang berhak mendefinisikan publik dan kepentingan umum. Karenanya, mengutuk perusakan fasilitas publik tanpa menyoal relasi kuasa yang menopangnya hanya akan melanggengkan ilusi. Seolah-olah yang diserang adalah rakyat sendiri, padahal yang ditantang adalah fondasi ketidakadilan yang membingkai dirinya dengan nama kepentingan publik.
Keempat, kita harus mencurigai moralitas yang senjang di balik kecaman terhadap aksi anarkis. Jangan-jangan mereka yang berteriak lantang menolak perusakan fasilitas publik atau kantor pemerintahan adalah orang yang bungkam ketika negara merampas ruang hidup dan sumber-sumber agraria masyarakat–di perkotaan dan pedesaan, ketika aparat menembaki masyarakat di Papua, melakukan represifitas dan kriminalisasi terhadap masyarakat di pelbagai wilayah pembangunan proyek strategis nasional, atau ketika para elit negara melakukan korupsi sampai triliunan. Moralitas semacam ini bukanlah moralitas universal, tapi moralitas selektif; dibentuk oleh kepentingan kelas berkuasa untuk melindungi properti dan simbol kekuasaan mereka.
Kondisi-kondisi demikian, yang oleh Karl Marx (2004) diistilahkan sebagai “fetisisme komoditas,” yakni masyarakat diajari untuk lebih menghargai benda mati–halte, gedung, jalan tol–sebagai representasi dari kemajuan ketimbang manusia yang menderita. Nilai moral publik direduksi pada nilai tukar benda; rusaknya fasilitas dianggap tragedi besar, sementara hancurnya kehidupan buruh tani, nelayan, atau pekerja miskin dianggap hal biasa.
Misalnya, mengapa ketika sebuah halte Transjakarta dibakar semua orang panik, tetapi ketika jutaan hektar hutan di Kalimantan, Maluku Utara, dan Papua digunduli demi sawit dan tambang, kita memilih diam? Mengapa kaca pecah, kendaraan dan gedung parlemen terbakar, lebih membuat kita marah ketimbang nasib buruh yang digilas UU Cipta Kerja? Pertanyaan ini menyingkap kontradiksi moralitas. Pada dasarnya kita lebih peduli terhadap representasi ketertiban ketimbang substansi kemanusiaan.
Mengutip Frankfurt School, ini adalah gejala rasionalitas instrumental (Horkheimer & Adorno, 2002). Rasional semacam itu tampak kala publik diajari untuk menilai peristiwa hanya dalam kerangka teknis–berapa miliar kerugian akibat aset-aset itu terbakar–tanpa menyoal keadilan substantif. Kerusakan fasilitas direpresentasikan sebagai “bencana publik,” sementara kerusakan sistemik akibat kebijakan negara disebut sebagai “pembangunan.”
Pierre Bourdieu (1991) menjelaskan hal ini sebagai bentuk kekerasan simbolik. Media dan negara tak lain memproduksi narasi yang membuat masyarakat menerima hirarki-hirarki nilai secara pasif. Kekerasan simbolik ini begitu halus sehingga orang percaya jika mengutuk kerusuhan adalah tindakan bermoral, padahal mereka sedang memperkuat tatanan yang tidak adil.
Dengan kata lain, moralitas publik kita telah direkayasa agar lebih peduli pada benda mati daripada manusia, pada properti ketimbang keadilan sosial. Persis dalam kerangka ini, kecaman terhadap aksi anarkis bukanlah ekspresi keadilan moral, itu adalah refleksi dari keberhasilan negara dan kapital menundukkan kesadaran rakyat.
Membalikkan Narasi
Labelisasi anarkis bukanlah sekadar deskripsi netral, melainkan strategi politik. Ia bekerja sebagai discursive weapon–senjata wacana–untuk mereduksi gerakan rakyat menjadi kriminalitas belaka, sehingga penguasa lebih leluasa melanggengkan ketidakadilan tanpa perlawanan.
Di sini, dapat disaksikan bagaimana konsep hegemoni bekerja. Dengan menstigma aksi keras sebagai ancaman ketertiban umum, negara dan kelas dominan berhasil memproduksi konsensus; publik diyakinkan bahwa mempertahankan properti negara jauh lebih penting daripada memperjuangkan keadilan substantif. Hasilnya, rakyat diarahkan untuk menaruh simpati pada kaca gedung yang pecah, bukan pada mahasiswa yang kepalanya retak oleh pentungan aparat.
Anarkisme jalanan memang menimbulkan ketidaknyamanan, tetapi justru di situlah letak daya kritisnya. Herbert Marcuse (1964) menekankan masyarakat modern membius warganya dalam “kenyamanan palsu” (false needs). Kenyamanan ini membuat orang lupa bahwa ketertiban formal sering kali hanyalah topeng dari ketidakadilan struktural. Dengan demikian, yang lebih berbahaya bukanlah batu yang dilemparkan massa, melainkan sistem yang korup, otoriter dan menindas yang terus beroperasi tanpa guncangan.
Walter Benjamin (1996) juga menegaskan demonstrasi anarkis dapat dipahami sebagai bentuk law-making violence sebagai bentuk interupsi radikal terhadap tatanan hukum yang timpang. Api-api yang berkobar di jalanan dapat dibaca layaknya alarm keras yang mengguncang kesadaran kolektif, bahwa ada yang salah dalam demokrasi kita, bahwa saluran formal politik tidak lagi memadai, dan bahwa rakyat menagih jawaban dengan cara yang tak bisa diabaikan.
Oleh karena itu, alih-alih sibuk mengecam kerusakan fasilitas publik dan aset negara, kita harus berani membaca “api kecil” di jalanan itu sebagai cerminan dari “api besar” ketidakadilan struktural yang terus menggerogoti republik ini. Logikanya, letupan anarkis tidak boleh direduksi sebagai kriminalitas spontan, sebab itu merupakan gejala historis dari kontroversi tata kelola pemerintahan dan produksi kebijakan yang tidak pro rakyat. Setiap batu yang dilemparkan ke gedung kekuasaan sesungguhnya adalah desakan pertanggungjawaban moral dan politik terhadap negara yang gagal.
Demonstrasi yang dicap anarkis karena merusak fasilitas seharusnya dibaca sebagai bukti bahwa demokrasi formalistik yang dibatasi pada prosedur elektoral dan kanal representasi elitis telah kehilangan maknanya. Demokrasi sejati justru lahir dari agonisme, dari pertarungan terbuka dan keras antara yang berkuasa dan yang ditindas. Dengan kata lain, demonstrasi yang sedang berlangsung di seluruh wilayah Indonesia hari ini merupakan bukti jantung demokrasi masih berdenyut. Karena itu, membalik narasi berarti berani menggeser pusat perhatian, dari kerusakan properti ke kerusakan tatanan sosial-politik; dari anarkisme jalanan ke otoritarianisme negara; dari kerusakan fasilitas ke demokrasi yang retak.
Di sinilah letak urgensinya, rakyat yang melawan–meski dengan cara yang keras dan spontanitas–sedang mengingatkan kita semua, sejatinya demokrasi harus terus diperjuangkan. Tanpa perlawanan berupa aksi massa, demokrasi tereduksi menjadi slogan kosong; tanpa “anarkisme” rakyat, ia hanya tinggal nama, sementara penguasa sibuk dengan kebijakan yang hanya memperhitungkan kepentingan mereka.
B. Mario Yosryandi Sara adalah mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta
Editor: Ryan Dagur