Floresa.co – Unggahan oleh akun anonim di Facebook baru-baru ini menuding Floresa dan beberapa lembaga yang terlibat dalam advokasi kasus geotermal di Flores menerima pendanaan “dari kantong para oligarki fosil.”
Pendanaan itu disebut antara lain untuk pelatihan jurnalistik hingga seminar dan kampanye media.
Tudingan tersebut yang diunggah akun Reba Pitak dalam dua gambar infografis disertai takarir “Jejak oligarki global di pusaran konflik kepentingan energi bersih alternatif geotermal vs energi fosil di Poco Leok Manggarai itu nyata.”
Akun itu mengunggahnya di dua grup Facebook, Forum Rakyat Peduli Manggarai-FRPM dan Demokrasi Mabar.
Pada infografis pertama yang diberi judul “Skandal Dana Gelap Anti-Geotermal Flores; Telusuri siapa di balik kampanye lingkungan yang ternyata bersumber dari kantong para oligarki fosil,” akun itu menyebut dana sebesar 250.000 dolar Amerika Serikat diterima Floresa dan Victory News, media berbasis di Kupang, dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTT untuk pelatihan jurnalistik.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) juga disebut menerima dana “advokasi HAM dan kampanye media” dalam bentuk “seminar dan Youtube Netflix” sebesar 150.000 dolar dari dua lembaga internasional. Dua lembaga yang disebut adalah Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat (United States for International Development/USAID) dan SHEL Fondatdion (disertai logo yang merujuk Yayasan SHELL yang berbasis di Inggris dan Wales).
Sementara dana 300.000 dolar disebut mengalir dari OFS (Oil Fossil Syndicate) ke lembaga Gereja Katolik Justice, Peace and the Integrity of Creation (JPIC) SVD Ruteng untuk pembiayaan seminar “Dosa Energia” serta “Youtab dan Netflix”.
Gambar tersebut juga berisi informasi pendapatan iklan pada akun Youtube film “WOCdoc” Rp2,5 miliar dan data PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) pada 2024 bahwa “dana tak wajar mengalir ke rekening beberapa uskup.”
“Greenpeace Jerman dukung geotermal, tapi anak buahnya di NTT malah tolak,” tulis akun Reba Pitak di bagian akhir infografis.
Sementara gambar kedua berisi infografis berjudul “Dana Panas di Balik Aksi Hijau” disertai kutipan “Setiap protes terhadap geotermal di Flores, ada dollar dari industri fosil yang mengalir ke rekening NGO.”
Reba Pitak menyebut JPIC SVD dan Vivat Internasional – lembaga internasional yang berafiliasi dengan Dewan Sosial Ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa beranggotakan 12 kongregasi religius Katolik – mendapat 5.000.000+ dolar AS dari OFS (Fransiscane) untuk pelatihan jurnalistik.
Sementara Walhi dan Jatam dituding menerima 2.000.000+ dolar dari USAID, Greenpeace Southeast Asia menerima 1.500.000 dolar dari Sheil Foundation.
Akun itu juga menyebut “Media Lokal Flores” mendapatkan 3.000.000 dolar AS sebagai media partner dari Exxon Mobil.
Pada bagian akhir infografis, akun itu menuding Vivat Internasional berafiliasi dengan OFM – kemungkinan merujuk pada Ordo Fratrum Minorum, kongregasi yang memiliki komisi JPIC yang aktif mengadvokasi warga di Flores – “menerima dana dari yayasan berbasis minyak AS, tetapi mengkhotbahkan geotermal-dosa di Flores.”
“Greenpeace di Eropa mendukung geotermal, tapi di Asia Tenggara menolak. Double standard?” tulis akun itu.

Penelusuran Fakta
Floresa menelusuri via mesin pencari Google beberapa lembaga yang disebut akun itu. Floresa juga mengontak beberapa petinggi dari lembaga advokasi geotermal yang dituding akun itu.
Dari penelusuran via Google, tidak ditemukan nama lembaga WOCdoc,” OFS (Fransiscane), OFS (Oil Fossil Syndicate), SHEL Fondatdion dan Sheil Foundation.
Sementara itu, Pastor Simon Suban Tukan, Direktur JPIC SVD Ruteng, yang lembaganya ikut dituding oleh akun itu berkata, ia sudah mengecek akun Reba Pitak itu di media sosial lain seperti TikTok serta YouTube.
Dari pengecekan itu, kata dia, pemilik akun Reba Pitak menggunakan foto yang diduga milik seorang penjaga kios di Kampung Pitak, Kelurahan Pitak, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai.
“Saya cek di beberapa teman. Mereka juga heran. Apakah muka dia (pemilik kios itu) yang dipakai atau bagaimana? Kita juga belum tahu,” katanya kepada Floresa pada 13 Mei.
Simon berkata akun itu “menuding tanpa dasar sama sekali.”
Ia mencontohkan soal tudingan JPIC-SVD yang menerima dana dari OFS.
“Kami tidak tahu sama sekali (OFS). Itu dia karang sendiri,” katanya.
Ia berkata, kalau pemilik akun itu mau, “sebaiknya dia datang ke kantor dan periksa seluruh keuangan kami sehingga dia tahu, apakah dananya bersumber dari OFS atau apa.”
Ia juga menyatakan, lembaganya juga tidak pernah membuat seminar “Dosa Energia.”
“Kami tidak tahu siapa yang buat seminar dengan tema itu,” katanya.
JPIC-SVD, kata Simon, juga tidak pernah menyelenggarakan pelatihan jurnalistik.
“Yang kami tahu justru PT PLN yang mengumpulkan jurnalis-jurnalis untuk memberitakan tentang geotermal dan rencana-rencana mereka.”
PLN merupakan perusahaan yang mengerjakan proyek geotermal di Poco Leok.
Ia menambahkan, Vivat Internasional juga tidak pernah terima dana dari lembaga dari manapun, kecuali dari SVD untuk membiayai kegiatannya.
Vivat, kata dia, bukan lembaga yang bekerja di grassroot (akar rumput) melainkan “hanya lobi dan advokasi di tingkat internasional” sehingga “tidak butuh banyak duit.”
Ia berkata, Vivat merupakan lembaga yang didirikan oleh SVD dan kongregasi Para Suster Abdi Roh Kudus atau SSPs yang sekarangnya anggotanya mencapai 12 kongregasi di seluruh dunia.
Simon menduga akun anonim itu merupakan buzzer perusahaan dan “orang yang ngotot agar geotermal di Flores jadi, terutama di Manggarai.”
Sementara itu, Pastor Fridus Derong, Direktur JPIC-OFM Indonesia berkata “ini adalah tuduhan palsu.”
Provinsi OFM Indonesia, kata dia, bertanggung jawab atas seluruh keuangan lembaganya dan “itu hasil kerja dari para saudara,” merujuk pada anggota lembaga religius itu.
“Kalaupun kami dapat dana sedikit-sedikit untuk advokasi, itu dari pusat misi Fransiskan, bukan dari sumbangan perusahaan,” katanya kepada Floresa pada 14 Mei.
Pusat misi Fransiskan, kata dia, berbasis di Roma, Italia dan Jerman yang “sering bantu kami.”
“Tidak ada dari perusahaan minyak. Itu kebohongan dan tuduhan palsu yang tidak berdasar,” katanya.
Sementara itu, Umbu Wulang, Direktur Walhi NTT menyatakan, “saya tidak akan menanggapi tuduhan itu selama bukan lembaga resmi yang menyampaikannya.”
“Kalau mereka mau buat opini, silakan. Tapi, kami tidak akan tanggapi, apalagi kalau akun palsu,” katanya kepada Floresa pada 14 Mei.
Ia berkata, tuduhan semacam ini adalah bagian dari upaya “membunuh karakter dan melemahkan gerakan masyarakat sipil.”
Ia menegaskan “kami tetap berkomitmen untuk menolak proyek geotermal di Flores yang serampangan itu dan sikap kami tidak berubah.”
Ryan Dagur, pemimpin umum Floresa berkata, tudingan akun palsu itu merupakan disinformasi atau informasi keliru yang disebarluaskan, meski orang yang menyebarkannya tahu bahwa itu salah.
“Tuduhannya sama sekali tidak berdasar. Floresa misalnya tidak pernah melakukan pelatihan jurnalistik bersama Victory News dan dibiayai perusahaan asing sebagaimana tudingan itu,” katanya.
Ia menyatakan, tudingan itu merupakan “cara kerja kekanak-kanakan yang tampaknya didesain untuk mendelegitimasi Floresa.”
Ryan berkata, jika serangan terhadap Floresa terkait pemberitaan tentang proyek geotermal Poco Leok ini, “silakan tunjukkan apanya yang salah, bahkan kalau perlu kamu diadukan, karena kami siap mempertanggungjawabkannya.”
“Saya melihat pemilik akun itu sudah dengan sendirinya menunjukkan kualitasnya. Pilihannya bersembunyi di balik akun palsu tentu karena ia sendiri malu dengan tuduhannya yang serampangan atau takut untuk mempertanggungjawabkannya,” katanya.
Ryan berkata, Floresa tetap menerapkan kebijakan editorial yang independen dari pengaruh pihak lain, sembari menaati kode etik jurnalistik.
“Laporan kami tidak atas dasar pesanan siapapun. Karena ingin mempertahankan independensi itu, kami membatasi diri untuk tidak menerima tawaran kerja sama dari pihak-pihak yang mau mengintervensi ruang redaksi,” katanya.
Alasan itu pula, kata Ryan, yang membuat Floresa menolak tawaran kerja sama dari pihak PT PLN yang pada Desember tahun lalu mengirim empat utusannya menemuinya.
“Kami tidak tergoda dengan tawaran semacam itu. Bagi Floresa, melayani kepentingan publik, termasuk memberi ruang bagi kelompok masyarakat rentan untuk terlibat dalam diskursus publik tentang kebijakan yang menyangkut hidup mereka, adalah pilihan yang tidak bisa ditawar,” katanya.
Editor: Anno Susabun