Respons Polemik Fasilitas Pariwisata di Pulau Padar, Apa yang Tidak Terungkap dalam Pernyataan Kementerian Kehutanan?

Kementerian itu merilis pernyataan pada 5 Agustus, mengklaim menghormati perhatian publik pada konservasi komodo dan masa depan Taman Nasional Komodo

Floresa.co – Kementerian Kehutanan merilis pernyataan pada 5 Agustus merespons polemik pembangunan sarana pariwisata di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo, mengklaim “akan terus berkomitmen terhadap rekomendasi UNESCO.”

Sebagaimana dicermati Floresa, pernyataan itu tidak memuat sejumlah informasi penting terkait proyek tersebut yang dinilai berbagai elemen sipil mengancam habitat Komodo dan telah menjadi sorotan UNESCO.

Dalam pernyataannya, Kementerian Kehutanan menyatakan bahwa saat ini rencana proyek tersebut oleh PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) masih pada tahap konsultasi publik atas dokumen Environmental Impact Assessment (EIA) sesuai standar World Heritage Centre (WHC) dan IUCN.

IUCN merujuk pada International Union for Conservation of Nature (IUCN), organisasi internasional yang berfokus pada pelestarian alam dan mendorong pembangunan berkelanjutan. Pada 2021, IUCN telah menetapkan status konservasi satwa Komodo beralih dari sebelumnya “rentan” menjadi “terancam punah.”

Menurut Kementerian, “Pemerintah Indonesia tidak akan mengizinkan pembangunan apapun sebelum dokumen EIA ini disetujui oleh WHC dan IUCN, sebagai bagian dari komitmen terhadap perlindungan Outstanding Universal Value (OUV) Situs Warisan Dunia.”

OUV adalah istilah UNESCO untuk mengidentifikasi Situs Warisan Dunia, baik budaya maupun alam, yang memiliki signifikansi melampaui batas-batas negara dan kepentingan yang luar biasa bagi seluruh dunia.

PT KWE mendapat izin pada 2014 melalui SK No:SK.796/Menhut-II/2014 untuk usaha sarana pariwisata di Pulau Padar dan Pulau Komodo.

Menurut Kementerian Kehutanan, “mengacu pada rencana yang ada, luas pembangunan (PT KWE) sangat terbatas, hanya ±15,375 ha atau 5,64% dari 274,13 hektare total perijinan berusaha di Pulau Padar.”

“Pembangunan dilakukan bertahap dalam lima tahap dan dibagi dalam tujuh blok lokasi.”

Kementerian juga mengklaim “terkait kajian dampak, telah dilakukan secara ilmiah dan partisipatif.”

“Dokumen EIA disusun oleh tim ahli lintas disiplin, dan telah dikonsultasikan secara terbuka bersama para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah, tokoh masyarakat, LSM, pelaku usaha, dan akademisi dalam forum konsultasi publik di Labuan Bajo pada 23 Juli 2025.”

Kementerian juga menyatakan, “pemerintah akan memastikan bahwa setiap pembangunan tidak akan berdampak negatif terhadap kelestarian komodo dan habitatnya.”

“Evaluasi terhadap OUV, baik dari aspek ekologi, lanskap, hingga sosial-budaya menjadi dasar utama dalam seluruh proses penilaian” serta Kementerian “akan terus berkomitmen terhadap rekomendasi UNESCO.”

Menurut Kementerian itu, penyusunan dokumen EIA “merupakan respon terhadap mandat dari hasil Reactive Monitoring Mission Taman Nasional Komodo 2022 serta keputusan resmi Sidang WHC ke-46 (Riyadh, 2023) dan WHC ke-47 (Paris, 2025).”

“Pembangunan hanya dapat dilakukan jika seluruh rekomendasi EIA dipenuhi dan tidak ada risiko terhadap integritas situs warisan dunia.”

Kementerian juga mengklaim menghargai perhatian publik terhadap keberlanjutan dan kelestarian satwa komodo dan Pulau Padar.

“Kami mengajak seluruh pihak untuk menunggu proses penilaian internasional yang tengah berjalan serta menghindari penyebaran informasi yang tidak akurat dan berpotensi menyesatkan publik,” tulis kementerian dalam pernyataan di situs resminya.

Apa yang Tidak Disampaikan dalam Pernyataan Tersebut?

Pernyataan itu muncul di tengah sorotan luas terhadap rencana PT KWE yang akan mendirikan ratusan bangunan di Pulau Padar, salah satu dari tiga pulau besar di Taman Nasional Komodo, selain Pulau Komodo dan Pulau Rinca.

Protes itu membuat tagar #SavePadar kini ramai di media sosial.

Seperti yang disimak Floresa, isi pernyataan Kementerian Kehutanan tidak memuat sejumlah informasi penting yang menjadi sasaran kritik elemen sipil, juga warga adat Ata Modo di Pulau Komodo.

Pernyataan itu misalnya hanya menyebut konsesi PT KWE di Pulau Padar, kendati  perusahaan itu juga memiliki konsesi 151,94 hektare di Loh Liang, Pulau Komodo. Loh Liang merupakan bekas tanah ulayat warga Ata Modo yang kini menjadi pintu masuk utama wisatawan ke Pulau Komodo.

Hal lain yang tidak dijelaskan kementerian itu adalah perusahaan-perusahaan lain yang juga punya konsesi serupa di dalam Taman Nasional Komodo dan berpotensi mengikuti jejak PT KWE untuk mulai melakukan Pembangunan.

Perusahan-perusahaan itu adalah PT Segara Komodo Lestari dengan luas konsesi 22,1 hektare di Pulau Rinca dan PT Synergindo Niagatama seluas 6,490 hektare di Pulau Tatawa. 

Terbaru, ada juga PT Nusa Digital Creative dan PT Pantar Liae Bersaudara yang mendapat konsesi untuk jasa wisata alam seluas 712,12 hektare yang meliputi Pulau Komodo, Pulau Padar dan perairan sekitarnya.

Kedua perusahaan ini menggantikan PT Flobamor, perusahaan milik Pemerintah Provinsi NTT yang angkat kaki setelah hanya dua tahun beroperasi karena sejumlah kebijakan kontroversialnya yang ditentang warga setempat dan elemen sipil.

Selain itu, PT Palma Hijau Cemerlang  (PT PHC) yang terkait dengan taipan Tommy Winata juga telah masuk ke kawasan itu. Perusahaan itu beroperasi di Pulau Padar melalui Perjanjian Kerja Sama dengan Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) di kawasan seluas 5.815,3 hektare.

Sejumlah konsesi ini telah menjadi sorotan UNESCO, lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertanggung jawab terhadap Taman Nasional Komodo sebagai Situs Warisan Dunia.

Hal itu yang juga menjadi alasan UNESCO mengirim Reactive Monitoring Mission pada 2022.

Salah satu sorotan UNESCO dalam rencana bisnis di kawasan konservasi ini adalah potensi dampak buruknya bagi OUV Taman Nasional Komodo.

Dalam pernyataan pada 2023, salah satu catatannya adalah pada langkah Pemerintah Indonesia melakukan perubahan zonasi pada 2012. Perubahan itu mengalihfungsikan zona rimba menjadi zona pemanfaatan, yang kemudian menjadi lokasi konsesi perusahaan. Kebijakan itu tidak dikomunikasikan dengan UNESCO.

Sorotan lain adalah langkah Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan – kini pecah menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan – yang tidak mewajibkan adanya kajian AMDAL bagi pembangunan sarana wisata di Taman Nasional Komodo. Kebijakan itu muncul dalam Surat Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor S.576/KSDAE/KK/KSA.1/7/2020.

Dua hal itu kembali menjadi sorotan UNESCO dalam pernyatan terbaru akhir bulan lalu.

Lembaga itu meminta pemerintah memastikan “semua proyek pengembangan yang diusulkan, termasuk yang terkait dengan lima izin usaha yang telah diterbitkan, dievaluasi secara tepat mengenai dampaknya terhadap OUV sesuai dengan Panduan dan Alat Bantu Penilaian Dampak dalam Konteks Warisan Dunia.”

Evaluasi tersebut, tulis UNESCO, dilakukan “sebelum mengambil keputusan yang sulit untuk ditarik kembali, termasuk melakukan konsultasi dengan pemangku kepentingan dan pemegang hak yang relevan sebelum persetujuan dan konstruksi proyek apa pun.”

UNESCO juga memberi catatan bahwa “penyesuaian zonasi saat ini dan di masa depan tidak akan berdampak negatif pada OUV” dan juga mengulang permintaan sebelumnya agar Indonesia “meninjau apakah zonasi saat ini dan pengembangan pariwisata yang dihasilkan memadai untuk memastikan status perlindungan dan OUV Taman Nasional Komodo serta menyerahkan hasilnya kepada Pusat Warisan Dunia untuk ditinjau oleh IUCN.”

Lembaga tersebut meminta Indonesia menyerahkan laporan terkini mengenai status konservasi Taman Nasional Komodo dan penerapan sejumlah catatannya paling lambat pada 1 Desember 2026. Laporan itu, kata UNESCO, akan diperiksa oleh Komite Warisan Dunia pada sidang ke-49.

Soal lain yang tidak terungkap dalam pernyataan Kementerian Kehutanan adalah rencana rinci PT KWE di Pulau Padar.

Dalam paparan saat pertemuan pada 23 Juli, PT KWE hendak mendirikan pusat bisnis pariwisata dengan 619 bangunan.

Ratusan bangunan itu mencakup 448 villa, 13 restaurant, 7 lounge, 7 gym center, 7 spa center, 67 kolam renang, sebuah bar rakshasas seluas 1.200 m2, sebuah Hilltop Chateau (bangunan kastel/istana bergaya Perancis) dan sebuah wedding chapel (gereja yang dipakai untuk acara pernikahan). 

Sejumlah sarana akan didirikan di sepanjang pesisir utara Pulau Padar, tempat di mana Pink Beach dan Long Beach yang merupakan salah satu ikon utama Taman Nasional Komodo berada.

Editor: Ryan Dagur

Solidaritas untuk Kawan Kami, Mikael Jonaldi

Jonal, salah satu jurnalis Floresa, sedang butuh biaya untuk operasi jantung. Kami mengharapkan solidaritas kawan-kawan untuk ikut membantu Jonal

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA