Floresa.co – Komunitas Niang Gejur, kolektif seni mahasiswa asal Manggarai di Yogyakarta mementaskan Balada Tana Mbate, karya yang mengungkap keresahan sekaligus perlawanan mereka terhadap upaya peminggiran warga dalam proyek-proyek pembangunan.
Karya itu dipentaskan dalam Pagelaran Budaya bertajuk SERENA yang diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Manggarai Raya Yogyakarta atau Ikamaya pada 12 April.
Penampilan ini memadukan berbagai elemen kesenian seperti musik, nyanyian, dan drama sebagai medium untuk mengekspresikan kepedulian sekaligus menyuarakan kritik atas cara kerja kekuasaan yang kerap tampil arogan, intimidatif dan destruktif.
Hal ini membuat posisi masyarakat lokal, khususnya dalam konteks di Manggarai, semakin terpinggirkan.
Mereka merefleksikan hal terjadi karena ambisi proyek-proyek pembangunan negara, seperti proyek geotermal di Poco Leok dan Wae Sano, yang membawa serta ancaman kelestarian ekologis serta keberlanjutan hidup masyarakat.
Balada Tana Mbate mengungkap pertarungan narasi antara penguasa dengan masyarakat lokal mengenai konsep kebijakan negara, ketuhanan dan alam sebagai ruang hidup bersama.
Pertentangan narasi ini tidak hanya memperlihatkan wajah negara dalam kerja-kerja pembangunan, namun juga menyentuh dimensi kehidupan masyarakat yang paling mendasar, yakni spiritualitas, kemanusiaan, dan hak atas tanah sebagai warisan leluhur dan ruang hidup.
Bagi masyarakat lokal, proyek pembangunan negara hadir dengan dalih kesejahteraan, tetapi beroperasi lewat tindakan destruksi ekologis dan eksploitasi. Hal ini merupakan bentuk pembangkangan dan pelecehan terhadap sakralitas Tuhan sebagai pencipta.
Karena itu, sebagaimana diungkap dalam balada ini, bagi masyarakat lokal pembangunan negara menjadi tidak bernilai apapun, ketika mereka kehilangan hak atas tana mbate dise ame, agu widang dise empo (tanah warisan leluhur) yang sudah dianggap sebagai jiwa dan raga.
Kesadaran emosional ini digaungkan dengan begitu kuat melalui beberapa penggalan puisi yang dibacakan oleh Bonifasius Kelvintus Jehabut, salah satu aktor dalam pementasan ini, untuk merepresentasikan perasaan dan suara minor masyarakat lokal;
Ini cerita tentang tanah leluhur, tanah yang begitu luhur.
Tanah mbate dise ame
Tanah widang dise empo
yang dirampas oleh kekuasaan
dengan cara paksaan dan penuh hinaan.
Di mana kemanusiaan?
Ini pertanyaan yang sampai hari ini masih mencari jawaban
Kita sudah tidak punya waktu untuk tunduk pada kesewenangan.
Kita hilang nikmat, atas lelah dan peluh pada tanah leluhur yg mulia ini.
Tanah ini milik nenek moyang, dite morin tanah ho!
Kalaupun hari ini kita mati, kita mati untuk generasi Manggarai di masa depan nanti.
Kita mati demi harga diri yang tak bisa ditukar dengan materi.
”Tanah yang baik tak akan pernah pernah mengkhianati”
Puisi ini menjadi semacam seruan reflektif-provokatif yang menunjukkan sikap resistensi dan militansi warga lokal terhadap cara kerja pembangunan negara.
Merespons sikap kritis, alih-alih membuka ruang dialog yang inklusif dan kondusif, penguasa justru secara otoritatif membungkam daya upaya perlawanan masyarakat lokal lewat tindakan represif serta berbagai pernyataan intimidatif.
Pada suatu cuplikan dialog, penguasa menyampaikan sebuah pernyataan problematik tentang cara ia memandang Tuhan sebagai pencipta dan bagaimana ia menjelaskan nalar yang bekerja di balik kebijakan pembangunan negara.
“Oe roeng bapa bengot, toe manga lelo ata lenggen Mori zaman ho ge. Tuhan yang nyata itu hadir dalam kerja-kerja pembangunan seperti ini. Itu konsep ketuhanan masa kini. Mau sampai kapan kalian mencari, tetapi tidak juga mendapatkan. Sampai kapan? Jadi, jangan bawa-bawa nama Tuhan untuk menolak kerja pembangunan seperti ini. Tuhan tidak miskin, Tuhan kita itu kaya. Jangan buat dia menjadi miskin dalam pikiran kalian yang primitif. Cama leng ata toe sekolah meu tah.”
Pernyataan penguasa ini di satu titik hendak menggambarkan bagaimana cara kerja kekuasaan yang arogan dan superior dalam memproduksi narasi-narasi yang menyesatkan sekaligus mengkerdilkan nalar publik.
Bahasa pada dialog ini tidak hanya memainkan peran sebagai instrumen komunikasi, tetapi juga sebagai simbol dominasi penguasa atas pikiran rakyat.
Lebih jauh lagi, pernyataan ini juga menjadi antitesis terhadap konstruksi terkait konsep ketuhanan yang diyakini masyarakat Manggarai.
Ketuhanan dalam pengalaman spiritual dan eksistensial masyarakat Manggarai hadir melalui relasi kehidupan sehari-hari yang sakral serta tidak materialistis.
Hal ini berbeda dengan nalar oportunis-pragmatis penguasa. Sikap penolakan masyarakat lokal terhadap cacat logika penguasa atas konsep ketuhanan ini tergambar melalui cuplikan dialog berikut: “Tuang, toe nenggitu Mori ata bae agu imbi dami.”
Joy Mangkung, Ketua Komunitas Niang Gejur menyatakan, Balada Tana Mbate bukan sekadar aktivitas kesenian, “tetapi menjadi semacam tanggung jawab moral-sosial dari teman-teman komunitas untuk mengajak dan memprovokasi kesadaran kritis-kolektif dari semua orang yang datang menikmati acara ini agar mereka peka dengan keadaan tanah leluhur saat ini.”
“Balada Tana Mbate adalah upaya kesekian yang kami berikan bagi semua orang khususnya manusia-manusia NTT yang mata, telinga, dan hatinya masih bisa berfungsi dengan baik untuk mencerna secara kritis berbagai persoalan yang terjadi hari-hari ini,” katanya.
Joy menambahkan, “kami percaya bahwa seni selalu punya caranya sendiri untuk mengingatkan sekaligus memprovokasi kesadaran serta keberanian orang-orang untuk melawan segala macam penindasan.
“Selama naluri seni kami masih menyala, kami tidak akan padam di sini,” katanya.
Niang Gejur telah terlibat dalam berbagai aktivitas kesenian seperti musik, teater, fragmen, dan tarian yang semuanya mengangkat persoalan sosial di NTT.
Balada Tana Mbate menjadi penampilan ketiga Niang Gejur yang secara khusus menyoroti problem sosial-budaya.
Sebelumnya, komunitas juga mementaskan teater berjudul Elegi Sebae dan Elegi Perempuan dalam acara Festival Komanta Atmajaya pada 2023 dan 2024.
Editor: Ryan Dagur