Demo di Pati dan Rakyat yang Berdaulat

Demokrasi hidup ketika rakyat berani bersuara, mengawasi, mengingatkan dan menolak kebijakan yang tidak berpihak pada kebaikan bersama

Oleh: Marselus Natar

“Kedaulatan berada di tangan rakyat.” Kalimat yang sering kita dengar itu tercetak manis dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. 

Ia kerap dikutip dalam pidato pejabat, dalam upacara kenegaraan, diucapkan dengan penuh khidmat untuk menegaskan bahwa negeri ini adalah negara demokrasi.

Namun, mari kita jujur. Sering kali kalimat itu hanya bergaung di ruang-ruang formal, terdengar gagah di podium, tetapi hampa di telinga rakyat. 

Di lapangan, yang sering terjadi adalah rakyat tidak benar-benar dianggap memiliki kedaulatan. 

Rakyat hanya dijadikan komoditas suara lima tahun sekali. Selebihnya, rakyat diperlakukan seperti penonton pasif dari drama kekuasaan yang dimainkan para elit. 

Untunglah, rakyat Pati di Provinsi Jawa Tengah tidak lupa siapa yang seharusnya menjadi pemegang kedaulatan itu.

Demo yang mengguncang Kabupaten Pati pada 13 Agustus tidak lahir dari ruang kosong. 

Ia lahir dari kebijakan pemerintah daerah yang memutuskan menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen. 

Alasan pemerintah sederhana: kenaikan ini masih dalam batas maksimal sesuai regulasi dan tidak berlaku untuk semua objek pajak.

Di atas kertas, kebijakan ini memang sah. Tetapi, di meja makan rakyat, angka itu terasa mencekik. 

Hidup sehari-hari sudah penuh beban, ditambah lagi dengan lonjakan pajak yang terasa tidak manusiawi. 

Maka, wajar bila rakyat menolak. Mereka marah, dan kemarahan itu akhirnya menemukan salurannya: turun ke jalan.

Semula aksi demo berlangsung tertib, rakyat menyuarakan aspirasi dengan lantang. 

Jalanan berubah menjadi ruang sidang paling demokratis, di mana rakyat berdiri sebagai jaksa dan hakim bagi pemerintah daerah.

Namun, sebagaimana sering terjadi, tensi yang meninggi sulit dikendalikan. Kericuhan pecah, bermula dari lemparan botol air mineral ke arah petugas.

Situasi dengan cepat berubah. Massa merusak pagar kantor bupati, memecahkan kaca gedung, bahkan membakar mobil. Polisi pun menembakkan gas air mata. 

Pemerintah yang Pandai Berkilah

Pemerintah Kabupaten Pati berdalih bahwa kenaikan PBB-P2 masih sesuai aturan.

Mereka bilang, tidak semua objek pajak terkena imbas. Mereka juga menganggap angka 250 persen itu “masih dalam batas maksimal.”

Di sinilah letak ironi terbesar. Sebab, pemerintah terlalu sibuk berpegang pada angka dan regulasi, lupa bahwa hidup rakyat tidak diukur dengan persentase. 

Kertas memang tahan menampung angka, tetapi perut rakyat bukan kertas. 

Menyebut kenaikan 250 persen masih wajar adalah logika pejabat yang lebih sibuk berhitung di meja kerja ber-AC ketimbang menengok pasar, sawah atau dapur warga.

Seharusnya pemerintah sadar, bahwa hukum dan regulasi bukanlah kitab suci yang turun dari langit. 

Ia hanyalah alat. Dan, alat itu harus selalu diuji dengan pertanyaan sederhana: apakah ia berpihak pada rakyat atau tidak? 

Kalau jawabannya “tidak,” maka regulasi, betapapun legal, akan selalu terasa zalim.

Kedaulatan Rakyat: antara Hak dan Tanggung Jawab

Peristiwa di Pati mengingatkan kita bahwa demokrasi tidak boleh dipersempit hanya pada momen lima tahunan di bilik suara. 

Demokrasi hidup justru ketika rakyat berani bersuara setiap saat, mengawasi, mengingatkan, bahkan menolak kebijakan yang tidak berpihak pada kebaikan bersama.

Demo adalah salah satu wujud partisipasi politik langsung. Ia sah, ia konstitusional, sehat bagi demokrasi. Negara yang alergi terhadap demo adalah negara yang sedang sakit. 

Namun, penting dicatat bahwa setiap bentuk demo harusnya damai, tidak boleh anarkis.

Rakyat punya hak untuk marah, untuk menolak, untuk menyampaikan pendapat. Hak itu dijamin konstitusi. Ia bukan hadiah dari pemerintah, melainkan hak yang melekat dalam diri setiap orang.

Namun di dalam hak itu juga ada tanggung jawab. Hak untuk bersuara harus dijalankan dengan tanggung jawab agar suara itu tetap didengar.

Menegakkan kedaulatan rakyat tidak boleh dijalankan dengan cara-cara anarkis. Merusak pagar, memecahkan kaca, membakar mobil bukanlah bentuk elegan dari demokrasi.  

Aksi semacam ini justru memberi ruang bagi pemerintah untuk menghindar dari kritik substantif. 

Alih-alih membicarakan soal kenaikan PBB-P2, perbincangan publik bisa bergeser ke soal kerusuhan.

Kita Sudah Merdeka?

Indonesia baru saja merayakan 80 tahun kemerdekaan dengan tema “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju.” 

Sebuah tema yang gagah, tetapi apa artinya kalau di lapangan rakyat masih harus berteriak karena pajak melambung tinggi? 

Apa artinya “berdaulat” jika rakyat merasa kedaulatannya hanya diakui di atas kertas dan pemerintah menutup telinga dan hati terhadap jeritan mereka yang kecil?

Demo di Pati adalah cermin bahwa setelah delapan dekade merdeka, kita masih harus bergelut dengan pertanyaan mendasar: apakah kedaulatan benar-benar berada di tangan rakyat atau hanya menjadi slogan tahunan setiap HUT RI?

Kemerdekaan tidak cukup dirayakan dengan parade, lomba makan kerupuk atau pidato pejabat. 

Kemerdekaan harus diwujudkan dengan kebijakan yang adil, berpihak dan mampu menyejahterakan rakyat. 

Dan, bila rakyat masih harus turun ke jalan karena kebijakan yang mencekik, menyengsarakan, itu artinya kemerdekaan kita masih setengah jalan.

Demo di Pati adalah potret nyata dari kedaulatan rakyat yang “turun ke jalan.” 

Ia adalah teguran keras kepada pemerintah yang terlalu sibuk dengan regulasi dan lupa dengan realitas. 

Pemerintah berhak membuat kebijakan, tetapi kebijakan harus berpihak pada rakyat, bukan sekadar sah di atas kertas.

Di tengah euforia HUT RI ke-80, mari kita ingat: kemerdekaan sejati bukan hanya tentang mengusir penjajah asing, tetapi juga tentang memastikan rakyat tidak dijajah oleh kebijakan yang menindas. 

Marselus Natar adalah rohaniawan katolik pada Kongregasi Frater-Frater Bunda Hati Kudus. Ia tinggal di Oesapa-Kupang, menjadi staf pengajar dan pendamping para frater postulan

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

ARTIKEL PERPEKTIF LAINNYA

TRENDING