Masih Adakah Polisi yang Melindungi dan Melayani Masyarakat?

Jawabannya adalah ya, kendati tidak mudah menemukannya

Floresa.co – Beberapa waktu lalu, seorang warga di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat membakar motornya di hadapan polisi.

Ia mengaku kesal pada polisi yang menilangnya itu karena dianggap hanya mencari-mencari kesalahan. Dia lebih rela kehilangan motor daripada harus berurusan dengan polisi.

Kejadian ini ramai diperbincangkan di media sosial. Aksi “sumbu pendek” ini mendapat dukungan. Bahkan ada netizen yang mengklaim bakal melakukan hal serupa jika mengalami kondisi seperti itu.

Belum lama ini, publik di Indonesia juga heboh oleh sebuah lagu yang berani dari grup band Sukatani, berjudul ‘Bayar, Bayar, Bayar.’

Lagu yang dinyanyikan dengan lantang oleh vokalis seorang ibu guru sekolah dasar itu berisi lirik yang menyebut harus membayar setiap kali berurusan dengan polisi.

Apresiasi meluas terhadap lagu itu karena dianggap mewakili suara hati, uneg-uneg orang Indonesia tentang bobroknya polisi.

Banyak orang yang menaikkan video lagu itu ke media sosial. Mengunggah lagu itu semacam pelampiasan kekesalan terhadap polisi.

Polisi di Jawa Tengah kemudian melarang peredaran lagu itu. Ada intimidasi terhadap penyanyi, hingga ibu guru itu dikondisikan untuk meminta maaf. 

Tekanan juga mengarah ke pihak sekolah yang berujung pada pemecatan ibu guru itu dengan alasan yang mengada-ada. 

Indonesia pun makin heboh dan dukungan kepada penyanyi itu tak terbendung.

Polisi lagi-lagi mendapat sorotan tajam. Mereka diminta untuk introspeksi diri, alih-alih menghukum penyanyi itu. 

Polisi kemudian main cerdik. Penyanyi dipanggil walaupun sudah dipaksa meminta maaf sebelumnya, menawarkan mereka untuk jadi duta kepolisian, tawaran yang kemudian ditolak.

Lagu ‘Bayar, Bayar, Bayar’ pun dinyatakan bebas dinyanyikan. Beberapa polisi di Jawa Tengah yang terlibat mengintimidasi personel band Sukatani diperiksa internal dan dihukum. Tindakan mereka dianggap salah dan berlebihan dalam menanggapi kritik masyarakat. 

Pada 2022 sebuah kehebohan besar mengguncang Indonesia. Ferdy Sambo, perwira tinggi polisi, jenderal bintang dua, memerintahkan langsung pembunuhan seorang brigadir polisi di rumah dinasnya.

Kasus yang membuat anjloknya citra polisi ini kemudian membuka banyak borok petinggi polisi lainya. Ada perdagangan narkoba yang dibekingi polisi berpangkat jenderal.

Polisi pun dicap sebagai penjahat berseragam yang digaji negara. 

Baru-baru ini, Indonesia juga dihebohkan dengan kasus kekerasan seksual oleh mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja.

Ia mencabuli anak di bawah umur dan menyalahgunakan narkotika, yang membuatnya kemudian diberhentikan tidak dengan hormat dan menjadi tersangka.

Polisi itu juga menjual video rekaman pencabulannya ke situs porno di Australia.

Di tengah litani seperti ini, polisi makin jauh dari amanat tugas pokok mereka sesuai pasal 30 ayat (4) UUD 45, yakni mengayomi, melindungi, melayani serta menegakkan hukum.

Lantas, apakah ada anggota Polri yang masih bisa jadi contoh, berlaku seperti Bhayangkara sejati? 

Jawabannya adalah ya, kendati tentu saja tidak mudah menemukannya.

Saya mengangkat satu contoh polisi di Kabupaten Manggarai Timur, yang ibarat menjadi oase di padang pasir bagi institusi Polri.

Ia adalah Bripka Heribertus Tena, Kepala Seksi Dokter Kesehatan Polres Manggarai Timur.

Warga mengenalnya sebagai Polisi Hery. Ia memulai pendidikan kepolisian pada 2007, lalu sempat bertugas di Papua sebagai tenaga kesehatan untuk tim Operasi damai Cartenz. 

Bujangan ini adalah anak kedua dari empat bersaudara yang lahir di Kupang pada 1988 dari pasangan Arnoldus Tena dan Karolina Kadu, pasangan asal Kabupaten Ngada.

Hery berkali-kali mengorbankan gajinya untuk membantu orang yang kesusahan. Ia juga aktif melakukan menggalang dana di platform daring Kitabisa.com untuk bisa menyalurkan bantuan.

Ia sering membantu keluarga tak mampu menalangi pembayaran meteran ke PLN sehingga bisa nikmati aliran listrik.  

Banyak orang lumpuh yang mendapat bantuan kursi roda yang dibeli dari gajinya sebagai polisi.

Orang jompo yang terlantar, orang cacat yang terpinggirkan, terutama yang berada di pedalaman, akan didatangi. Ia tak peduli jika harus menempuh perjalanan hingga berjam-berjam dengan medan tak bersahabat.

Saking seringnya Polisi Hery membantu orang, ketika ada informasi orang yang kesusahan dan butuh uluran tangan orang lain, maka ia yang dihubungi.  Mereka yakin bahwa dengan segenap upaya, dia akan mencari jalan keluarnya.

Dalam pandangan orang Manggarai Timur, dia adalah Bhayangkar sejati, yang mengayomi, melindungi dan melayani masyarakat. Tidak kurang orang berseloroh, ‘Polisi Hery lebih cocok jadi pastor saja.’

Saya menyebut beberapa contoh warga yang dibantu Polisi Hendry.

Di Kampung Mbuga, Desa Bamo Kecamatan Kota Komba, Elisabeth Jaok yang dapat melihat sehingga putus sekolah sejak lama sudah bisa mengakses pengobatan dan beberapa bantuan dari peme rintah, setelah “sentuhan” Polisi Hery yang memfasilitasi mereka untuk lakukan perekaman KTP dan Kartu Keluarga.

Agustinus Geong, ayah Elisabet  yang membesarkannya  bersama tiga saudaranya sendirian sejak ibu mereka meninggal, tak berhenti mengucapkan terima kasih ketika mendapat kunjungan dari Polisi Hery bersama seorang rekannya Bintara Pembina Desa setempat.

Maria Nida, seorang janda sebatang kara yang hidup di sebuah gubuk kecil berukuran tiga kali empat meter di Dusun Terong, Desa Rengkam, Kecamatan Lambaleda Timur tidak lagi melewati malam-malam gelap seperti sebelumnya setelah PLN memasang sebuah meteran listrik di gubuknya pada Desember tahun lalu. 

Polisi Hery merelakan sebagian gajinya untuk pemasangan meteran itu. Ia juga berhasil melakukan pendekatan kepada pihak PLN, menyampaikan kondisi ekonomi Maria sehingga ia menjadi pelanggan gratis seumur hidup. 

Ibu Maria terus menangis haru, apalagi itu merupakan momen pertama kali dalam hidupnya merayakan Natal tidak dalam gelap gulita.

Kondisi yang sama dialami juga oleh seorang janda lain Martha Idut asal Dusun Marukure Desa Lembur, Kecamatan Kota Komba. Ia hidup sendirian sejak ditinggal anaknya merantau 15 tahun lalu. Rumahnya diterangi meteran listrik atas upaya Polisi Hery Tena.

Andreas Ellino Martines, seorang bocah berlari lincah di halaman rumahnya di Dusun Tambak, Desa  Nangalabang Kecamatan Borong. Putra pasangan Nikolaus Celi Jandu dan Marta Dewi Sartika itu tampak lincah dan normal seperti teman sebayanya.

Tiga tahun lalu, dia menderita higroma colli atau kelainan bawaan berupa kista berisi cairan yang muncul di leher atau kepala bayi, yang butuh pengobatan pada rumah sakit. Kala itu, kedua orang tuanya sudah menyerah dan akan menempuh pengobatan alternatif karena ketiadaan dana. 

Namun, setelah mengunjungi mereka, Polisi Hery kemudian mengadakan penggalangan dana, yang lalu digunakan untuk pengobatan ke rumah sakit.

Masyarakat merindukan lebih banyak sosok polisi seperti ini di tengah citra Polri yang sedang anjlok.

Kapolri mesti mengapresiasi sosok anggota Polri seperti Hery. Jangan lagi kenaikan pangkat harus dengan sogokan, tapi dengan melihat prestasi personil di lapangan, supaya posisi dan jabatan penting diduduki oleh anggota yang diharapkan oleh masyarakat, bukan yang mengejar setoran untuk menumpuk kekayaan.

Sosok seperti Hery Tena ini bisa mengikis citra dan pandangan negatif di mata masyarakat Indonesia.

Doni Parera adalah pegiat sosial yang tinggal di Borong, Manggarai Timur

Editor: Petrus Dabu

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA