Kasus Penganiayaan Sesama Kerabat di Manggarai; Terjadi Saling Tuding soal Mediasi yang Gagal 

Terlapor yang merupakan kepala sekolah mengklaim telah dua kali berupaya untuk mediasi, namun keluarga korban selalu absen. Ia akan mendatangi lagi polisi pada 4 Agustus untuk mediasi lanjutan

Floresa.co – Kasus penganiayaan di Kabupaten Manggarai yang pelapor dan terlapornya masih kerabat dekat berujung saling tuding soal mediasi yang gagal dan ada potensi berlanjut ke proses hukum jika tidak ada titik temu dalam waktu dekat.

Bonifasius “Ofan” Manjur yang berstatus sebagai Kepala SMP Negeri 13 Satar Mese dan adiknya Kristianus Larung dilaporkan menganiaya kerabat mereka.

Ofan menganiaya Silvester Hendi, paman kandungnya atau ema koe (adik sepupu dari ayahnya), sementara Kristianus Larung dilaporkan menganiaya Silvester dan Yoswaldus Habur, sepupu mereka atau anak dari salah satu ema koe, Herman Selamat.

Kasus itu terjadi pada 5 Juli di Kampung Lempa, Desa Golo Ropong, Kecamatan Satar Mese Barat saat pertemuan keluarga besar mereka dari Suku Belang.

Pertemuan itu untuk membahas persiapan acara peringatan malam ketiga meninggalnya Kasmir Din, paman atau ema koe terlapor.

Ofan mengaku datang ke rumah tersebut karena diundang Deden Sangu dan Yolanda Nurdin, kakak-beradik sekaligus anak dari Kasmir.

Di rumah tersebut, ia duduk bersama Deden di sebelah kanan dan Melkior Kui dan Herman Selamat di sebelah kiri. Sama seperti Herman, Melkior juga ema koe dari Ofan. 

Saat itu, kata Ofan, adiknya Kristianus Larung muncul sambil membawa beras. Melihat itu, Melkior menyahut “setan dari mana yang bawa beras di luar?”

Menurut Ofan, Melkior mempersoalkan Kristianus yang baru membawa beras pada 5 Juli, bukan pada 2 Juli saat Kasmir meninggal.

Ofan mengaku beras yang dibawa Kristianus merupakan miliknya.

Ia beralasan, pada hari Kasmir meninggal, terjadi hujan di tempat tinggalnya di Kampung Pongpahar, Desa Hilihintir, Kecamatan Satar Mese Barat. Kampung itu terpaut sekitar 30 kilometer dari Kampung Lempa.

Lantaran tersinggung dengan pernyataan Melkior, Ofan merespons “kalau memang kami dianggap sebagai setan, lebih baik kami pulang.”

“Kalau memang ada masalah dengan ayah saya, itu urusan pribadinya ite (Anda),” katanya, merujuk pada masalah masa lalu antara ayahnya dengan Melkior.

Ofan berkata, Melkior merespons pernyataan itu dengan menyatakan “jangan ungkit lagi hal yang telah berlalu” sambil “berdiri hendak menyerang saya.”

“Saya berdiri secara refleks, bukan karena ingin menyerang dia. Saat itulah terjadi perdebatan di antara kami,” katanya. 

Ofan berkata, Silvester Hendi mengadang ketika saya hendak mundur ke arah pintu. 

“Agar tidak diserang, saya menahan Silvester dengan telapak kaki, bukan menendang. Akhirnya dia jatuh,” katanya.

Melihat hal itu, kata Ofan, Yoswaldus Habur hendak menyerangnya, namun diadang Kristianus.

“Keduanya saling dorong dan mencakar. Yoswaldus luka di kepala, Kristianus luka di tangan,” katanya.

“Setelah itu terjadi keributan besar. Saya dan keluarga mengamankan diri di rumah tetangga. Mereka menyerang dengan batu dan kayu, tetapi diredakan oleh keluarga lain,” tambahnya.

Ofan mempersoalkan pengakuan keluarga pelapor bahwa Silvester pingsan, mengingat Eti Setia — kakak sulungnya — sempat memberikan air minum kepada Silvester.

“Menurut pengakuan kakak saya, air pertama ditelan, tetapi mata masih tertutup. Air kedua tidak ditelan, tetapi dimuntahkan,” katanya.

Setelah peristiwa itu, kata Ofan, Silvester dibawa ke Puskesmas Narang dengan mobil pikap.

Menurut pengakuan Tarsi Gandu — adik kandung Silvester —, katanya, Silvester naik sendiri mobil tersebut saat pulang dari puskesmas.

“Kalau saya dituduh menganiaya Silvester, itu tidak benar. Silvester juga tidak pingsan, dia hanya jatuh,” katanya.

Ofan mengaku saat hendak meninggalkan rumah Kasmir, ia dipukul Herman Selamat, hal yang menyebabkan bagian kiri dahinya lebam.

Kejadian itu, kata dia, disaksikan Kristianus dan telah melaporkannya ke Polsek Satar Mese pada 6 Juli.

Untuk memperkuat klaimnya, Ofan mengirimkan foto kepada Floresa yang memperlihatkan pelipis kirinya yang lebam.  

Informasi yang diperoleh Floresa, polisi sudah meminta keterangan Herman pada 28 Juli.

Ofan juga berencana melaporkan Melkior Kui terkait “pencemaran nama baik keluarga maupun institusi tempat kerja saya SMP Negeri 13 Satar Mese.”

Melkior, katanya, membawa-bawa statusnya sebagai kepala sekolah, kendati peristiwa itu terjadi di luar jam kerja.

“Kalau saja Melkior Kui tidak mengikhtiarkan penyelesaian masalah ini secara kekeluargaan melalui mediasi, maka saya akan tempuh jalur hukum,” katanya.

“Untuk saat ini saya masih bertahan karena saya ingin mengedepankan prinsip kekeluargaan,” tambahnya.

Pengakuan berbeda soal peristiwa pada 5 Juli itu muncul dari Deden Sangu.

Ia berkata, kasus itu terjadi saat korban dan terlapor duduk bersama keluarga besar di rumah milik Sefrianus Ndarung, pada 5 Juli. 

Sefrianus merupakan salah satu anak Kasmir atau saudara Deden dan Yolanda Nurdin.

Di tengah pembicaraan, terjadi perbedaan pendapat antara kedua terlapor dan Melkior Kui hingga hampir berkelahi.

“Beberapa saat kemudian, situasi kembali memanas. Tanpa diduga, Kristianus menendang punggung Silvester,” kata Deden kepada Floresa pada 10 Juli, yang sebelumnya hanya ditulis DS.

Mendengar keributan itu, Yoswaldus bangun dari tidurnya dan “langsung mengadang Kristianus.” 

Merespons hal tersebut, Kristinus langsung memukul Yoswaldus hingga pipi kirinya luka.

Sementara itu, lanjut Deden, Bonifasius menendang perut Silvester, membuatnya “jatuh dan langsung pingsan” lalu diantar ke Puskesmas Narang dengan pikap.

“Ia baru sadar 30 menit kemudian,” katanya.

Deden berkata, Yoswaldus melaporkan kejadian itu ke Polsek Satar Mese pada hari yang sama. 

Merespons, hal itu, Ofan menempuh upaya mediasi.

Ofan dan Kristianus disangkakan Pasal 170 KUHP dan/atau Pasal 351 KUHP dan/atau Pasal 55 KUHP yang mengatur tentang pengeroyokan, penganiayaan dan turut serta melakukan tindak pidana. 

Berbicara kepada Floresa pada 30 Juli, Ofan mengaku “berinisiatif menempuh jalur mediasi karena kami masih memiliki hubungan keluarga.”

Semula ia meminta Polsek Satar Mese menjadi mediator, namun ia diarahkan mencari pihak lain.

Karena itu, ia meminta mediator dari pihak anak rona Nombo — kerabat dari neneknya dan Silvester — yang berasal dari Kampung Nio, Desa Hilihintir.

Viktor Ngamal, salah satu perwakilan anak rona lalu menemui Melkior Kui yang ditunjuk sebagai juru bicara Silvester pada pada 14 Juli.

Dalam pertemuan itu, katanya, disepakati bahwa “saya harus menyiapkan uang Rp10 juta untuk wunis peheng” — biaya untuk pengobatan korban sesuai kebiasaan dalam adat Manggarai.

Syarat lainnya adalah semua anggota keluarga harus hadir dalam mediasi.

Kesepakatan itu dimeteraikan dengan satu botol tuak atau moke dan uang Rp50 ribu.

Ofan bercerita, Viktor pun menemui Yoswaldus Habur pada 20 Juli, menyampaikan bahwa mediasi akan digelar pada malamnya.

Ia juga berkata, “kami hanya mampu menyiapkan Rp7 juta.” Merespons pernyataan itu, Yoswaldus berkata, “kalau begitu, perkara tetap dilanjutkan.”

Mendapat jawaban itu, kata Ofan, malamnya pihaknya bersama anak rona mendatangi rumah lokasi untuk mediasi dengan membawa Rp10 juta.

Ternyata, “rumah itu tertutup dan gelap,” kata Ofan.

Beberapa saat kemudian, kata dia, Stefanus Garus, kakak dari Silvester menemui mereka dan memberitahukan bahwa “kami harus menyiapkan uang Rp50 juta.”

Kendati sempat marah, menurut Ofan, anak rona menawarkan kepada Stefanus agar keluarga korban menemui mereka di rumah Kristianus Larung pada 21 Juli pagi.

Namun, hingga pukul 10.00 Wita, hanya Stefanus yang datang dan menyampaikan hal yang sama yaitu bahwa “kami harus menyiapkan uang Rp50 juta.”

“Saya anggap ini skenario pemerasan karena awalnya sudah disepakati bahwa kami hanya menyiapkan uang sebesar Rp10 juta,” katanya. 

Ofan berkata, ia tetap mendorong agar kasus ini diselesaikan dengan mediasi karena “ini sebenarnya masalah keluarga.”

Ia juga berencana untuk menyampaikan upaya mediasi itu ke Polsek Satar Mese pada 4 Agustus.

Sebelumnya, Deden Sangu atau DS memberi kesaksian berbeda soal mediasi pada pada 20 Juli itu.

Ia berkata, terlapor — Ofan dan Kristianus Larung — memang membawa uang Rp10 juta untuk wunis peheng, namun keduanya tak mengaku bersalah dan meminta maaf.

Padahal, katanya, pemberian wunis peheng harus didahului dengan tegi lecang agu kope — pengakuan bersalah dan permintaan maaf.

“Mediasi tidak berhasil karena pendekatan terlapor dianggap tidak menghargai pelapor. Kami merasa diperlakukan seolah hanya butuh uang, bukan keadilan,” katanya kepada Floresa pada 25 Juli.

Berbicara kepada Floresa pada 25 Juli, Kapolsek Satar Mese, Iptu Kiki Zakia M. Bachsoan berkata masih menangani kasus ini dan belum dilimpahkan ke Polres Manggarai.

“Jika sudah dilimpahkan, pasti kami sampaikan ke pelapor dan terlapor,” katanya.

Editor: Ryan Dagur

Solidaritas untuk Kawan Kami, Mikael Jonaldi

Jonal, salah satu jurnalis Floresa, sedang butuh biaya untuk operasi jantung. Kami mengharapkan solidaritas kawan-kawan untuk ikut membantu Jonal

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA